AS, Imigran Asia, dan Kemajuan Teknologinya
DISADARI atau tidak oleh para elite Amerika Serikat (AS), jumlah imigran asal Asia di Negeri Paman Sam terus meningkat. Imigran Asia adalah kelompok populasi dengan tingkat pendidikan dan pemasukan tertinggi di AS, negara yang semakin mengandalkan pekerja terampil ( skilled worker).
Laporan survei Pew Research Center tahun ini memperkirakan jumlah populasi keturunan Asia di AS dapat mencapai 41 juta orang pada 2050. Itu berarti dua kali lebih besar daripada saat ini. Separo warga Asia-Amerika memiliki gelar sarjana, sedangkan angkanya untuk total warga AS adalah 30 persen
Sementara itu, angka pemasukan rumah tangga Asia-Amerika adalah USD 66.000, sedangkan untuk keseluruhan AS, angkanya adalah USD 49.000.
Berdasar survei The Rise of Asian Americans yang dilakukan Pew Research Center, sebagian besar orang Asia di AS memiliki asal usul dari enam negara: Tiongkok, India, Jepang, Korea, Filipina, dan Vietnam. Warga keturunan Asia umumnya juga lebih menjunjung tinggi pernikahan, keluarga, kerja keras, dan karir bila dibandingkan dengan orang AS.
Belakangan ini, menurut Vivek Wadhwa, akademisi di Universitas California Berkeley dan Stanford University, AS, dengan kondisi perekonomian AS yang menurun atau bahkan cenderung memburuk di satu sisi dan menguatnya kebangkitan para pesaingnya seperti Tiongkok dan India di sisi lain, AS membutuhkan imigran-imigran berkeahlian tinggi dalam jumlah lebih besar daripada sebelumnya. Bagaimanapun, para imigran itulah yang telah mengisi Amerika dengan ”ledakan kemajuan tek no logi” dan peningkatan ”keuntungan globalnya”. ( Vivek Wadhwa, UC Berkeley, 2012)
Problem Politik Pada era Presiden Barack Obama dewasa ini, sayang sekali bahwa para pemimpin politik AS justru lebih sibuk dalam perdebatanperdebatan mengenai dilema para pekerja berkeahlian rendah yang masuk secara ilegal. Buntutnya, terjadi kemacetan yang nyaris sempurna dalam reformasi imigrasi di AS.
Sementara itu, ironisnya, jumlah imigran berkeahlian tinggi yang menanti untuk mendapat legal permanent residence ( kewarganegaraan tetap) Amerika melebihi 1 juta jiwa.
Waktu tunggu untuk para imigran baru dari India, misalnya, sekarang diperkirakan bisa mencapai 70 tahun. Jelas itu terlalu lama. Akibatnya, sedikit sekali para pekerja berkeahlian tinggi yang masuk ke AS.
Dampaknya, AS mengalami brain drain yang merugikan kepen- tingan nasionalnya. Akibat selanjutnya, pertumbuhan ekonomi yang selayaknya terjadi di AS sekarang justru muncul di India dan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
Perlu digarisbawahi pula, perusahaan-perusahan rekayasa ( engineering) serta teknologi yang dibangun di AS pada 1995 sampai 2005, sebesar 25,3 persen sedikitnya memiliki ”satu orang imigran” Asia sebagai pendiri utama bisnis tersebut.
Di Silicon Valley, angka itu mencapai 52,4 persen. Lebih dari setengahnya, para pendiri tersebut pertama-tama datang ke Amerika untuk belajar. Amat sedikit, sekitar 1,6 persen, datang untuk sematamata memulai usaha.
Secara tipe, mereka mendirikan perusahaan setelah bekerja dan berdiam di Amerika kira-kira 13 tahun. Itu berarti, dengan tumpukan para pekerja ahli yang menunggu menjadi warga negara tetap saat ini, para imigran yang hendak memulai usaha justru tidak terbenam di dalam ”kuburan dan gudang imigrasi”. Visa kerja tem- porer yang dimiliki para imigran itu malah menghalangi mereka untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan di AS.
Berdasar survei Center for Entrepreneurship UC-Berkeley, 2011, para mahasiswa Tiongkok di AS memandang pendidikan meru pakan jalan paling baik un tuk meng atasi kemiskinan menuju kesejahteraan.
Namun, tak seperti generasi mahasiswa Tiongkok era 1990-an dan 2000-an, ada gejala bahwa para mahasiswa Tiongkok di generasi kiwari sama sekali tidak berencana untuk tinggal seterusnya di Amerika. Setelah menyelesaikan pendidikan sana, mereka berniat membawa pulang ilmu itu ke negeri mereka.
Mereka pun sukses memodernkan negeri mereka dengan skala yang sangat dahsyat. Vivek Wadhwa mencatat bahwa sangat sedikit mahasiswa Asia yang kini berencana tinggal di Amerika secara permanen. Persisnya, hanya 6 persen mahasiswa India, 10 persen Tiongkok (dan 15 persen mahasiswa Eropa) yang berniat tinggal setelah menamatkan kuliah. Penyebabnya beragam.
Penyebab pertama, kekhawatiran tidak akan memperoleh pekerjaan di Amerika setelah lulus. Sebuah kecemasan yang dipicu keyakinan bahwa ekonomi Amerika akan tertinggal di belakang rata-rata pertumbuhan global.
Kedua, kebanyakan mahasiswa asing –85 persen India dan Tiong- kok, 72 persen Eropa– sangat memberikan perhatian terhadap kesulitan memperoleh visa kerja.
Ketiga, kebanyakan mahasiswa asing lebih optimistis terhadap masa depan ekonomi negeri mereka sendiri ketimbang Amerika. Dan, keempat, kebanyakan mahasiswa asing mempunyai ambisi usaha di negeri sendiri.
Dengan menyimak gambaran di atas, orang-orang terbaik dan tercerdas kini memandang AS sebagai tempat yang tidak lagi atraktif, bahkan merosot dan meredup untuk hidup dan bekerja.
Karena itu, AS harus mulai bersaing dalam menyerap bakatbakat terbaik dunia. Di sisi lain, Asia seakan memperoleh ”durian runtuh” dari mudiknya para sarjana Tiongkok, India, serta negara Asia lainnya yang ingin berbakti di negeri masing-masing.
Dunia memang sedang berubah. Menengok fakta yang dipaparkan di atas, penulis berharap kaum muda dan masyarakat Indonesia tidak kalah oleh Tiongkok, India, Jepang, dan Korsel. Kuncinya: kreativitas, daya juang, keuletan, kebersamaan, jaringan sosial, dan spirit nasionalisme yang tak pernah lelah dan tak mudah menyerah. (*) *) Dosen filsafat UIN Jakarta dan peneliti PSIK Universitas Paramadina; master dari McGill University, Kanada; serta pernah menjadi mahasiswa tamu di Cornel University, New York