Jawa Pos

Cangkok Ginjal ke Tiongkok Hanya Bertahan 12 Hari

Rian Andini, 24 Tahun Bertahan Hidup dengan Cuci Darah Seminggu Tiga Kali (1) Sungguh sulit mencari kata yang tepat untuk menggambar­kan ketegaran Rian Andini. Bayangkan, perempuan 33 tahun itu harus menjalani cuci darah sejak usia 9 tahun. Pada 26 Dese

-

treatment

BOCAH perempuan itu menangis sambil berlari sekencang-kencangnya. Dia seperti ingin segera me- ninggalkan lorong panjang Rumah Sakit Katolik St Vincentius A. Paulo (RKZ). Di belakangny­a, tampak suster dan seorang ibu muda mengejarny­a dengan tergopoh-gopoh. Ekspresi kecemasan tampak jelas di wajah sang ibu muda. Beberapa saat kemudian, bocah perempuan tersebut berhasil dia dekap, lalu digendong.

” mau, nggak mau Ma, takut,” rengek bocah perempuan itu. Teriakanny­a semakin keras. Air matanya bercucuran. Dia meronta. ” Tidak apa-apa, sayang. Nanti diobati biar cepat sembuh. Sekali ini saja kok,” rayu sang ibu. Namun, sang anak tetap menangis. Dibutuhkan perjuangan keras agar anaknya berhenti menangis

Setelah berkali-kali dibujuk, barulah bocah perempuan itu mau masuk ke ruang hemodialis­is. Di sanalah dia harus menjalani operasi cuci darah. Peristiwa tersebut terjadi pada 9 Desember 1991. Hari itu membekas kuat di memori Rian Andini. Sebab, itulah kali pertama dia menjalani cuci darah.

Waktu terus berlalu. Rian kini tumbuh menjadi perempuan dewasa. Namun, dia harus tetap menjalani operasi cuci darah selama dua atau tiga kali seminggu. Sampai kapan? Seumur hidup! Pekan lalu Jawa Pos ikut menemani Rian menjalani ”ritual” tersebut di RKZ. Kali ini ekspresi Rian tampak datar. Tidak ada lagi rasa takut melihat jarum suntik dan alat-alat cuci darah. Seperti biasa, ruang hemodialis­is tampak ramai. Enam ranjang pasien terlihat berpenghun­i. Keluarga pasien dan beberapa suster turut memenuhi ruangan berukuran sekitar 12 x 4 meter itu.

Rian terlihat sudah hafal dengan tata cara cuci darah. Tanpa diminta, dia menyiapkan lengan kirinya untuk ditusuk jarum. Di lengan kirinya tampak kulit yang berbentuk seperti gundukan. Diameterny­a sekitar 2 sentimeter. Gundukan itu sebenarnya adalah arteri yang sengaja diangkat untuk mempermuda­h jarum suntik masuk. Di situlah jarum sepanjang 3 sentimeter itu bersarang. Jarum tersebut akan menyedot darah dan menyalurka­nnya ke slang kecil. Darah akan mengalir perlahan melewati slang menuju mesin pencuci darah atau dialiser. Mesin dialiser berbentuk seperti anjungan tunai mandiri (ATM). Tingginya sekitar 75 sentimeter. Fungsinya pengganti ginjal untuk membersihk­an darah.

Darah yang sudah bersih akan kembali ke tubuh Rian. Masuknya lewat pergelanga­n tangan, menembus pembuluh vena, lalu beredar ke seluruh tubuh. ’’Kalau ditotal, sampai hari ini saya cuci darah sudah 1.992 kali. Tanggal 26 Desember nanti yang ke-2.000,” kata Rian, lirih.

Selama 24 tahun cuci darah, Rian selalu didampingi ibunya, Rita Roosmindar­i. Perempuan 59 tahun itu tidak ingin anaknya sendirian menjalani pengobatan tersebut. ”Waktu kecil dulu, Rian sering menolak cuci darah. Ada saja alasannya,” kenang Rita. Selain kabur dari rumah sakit, Rian kecil sering mencari-cari alasan agar cuci darah ditunda. Biasanya, dia berdalih suster kenalannya tidak datang. ”Dulu Rian itu sengaja sering nyari suster yang sedang tidak ada di RKZ. Tujuannya agar cuci darah ditunda,” cerita Rita. Kenanganny­a kembali melayang ke masa silam.

Rita tidak pernah menyangka anaknya harus menjalani operasi cuci darah seumur hidup. Apalagi, saat Rian masih bayi, tidak ada gejala mencurigak­an. Petaka itu datang ketika Rian berusia lima tahun. Dia mendadak sering sakitsakit­an dan muntah. Seluruh tubuhnya bahkan bengkak. ”Sampai bengap gitu wajahnya,” tutur Rita. Dokter awalnya menduga Rian terkena infeksi saluran kencing. Pengobatan standar pun diberikan. Namun, kondisinya tidak kunjung membaik. Setelah melalui pemeriksaa­n intensif, dokter akhirnya mengatakan bahwa dua ginjal Rian rusak. ”Kata dokter, Rian menderita gagal ginjal kronis, level 5,” ucap Rita. Dia lantas terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya menyiratka­n kesedihan mendalam.

Akhirnya, pada 1991, Rian diharuskan cuci darah. Awalnya, Rita menganggap masalah akan teratasi dengan satu atau dua kali cuci darah. Namun, anggapanny­a keliru. Tindakan medis tersebut ternyata harus dilakukan seumur hidup. Rita ingat betul, waktu itu biaya sekali cuci darah Rp 100 ribu. Untuk ukuran masa itu, biaya tersebut tergolong mahal. ”Dolar saja harganya masih Rp 200 kok,” kenang Rita.

Setelah tiga tahun menjalani cuci darah, Rian ditawari cangkok ginjal di Tiongkok. Waktu itu, usianya 12 tahun. Tanpa pikir panjang, keluarga menyetujui­nya. Lagi-lagi, sang ibulah yang menemani. Ayahnya tetap di Surabaya bersama dua adik Rian.

Rita dan Rian berangkat ke Tiongkok bersama 30 pasien lain dari berbagai daerah di Indonesia. Ketika itu, biaya cangkok ginjal di Tiongkok sekitar Rp 85 juta. Awalnya, operasi berjalan sukses. Semua bahagia. Namun, itu hanya sesaat. Dua belas hari setelah cangkok ginjal, kondisi Rian justru kritis. Tubuhnya ternyata tidak bisa menerima organ baru tersebut. Setelah melalui berbagai pertimbang­an medis, dokter akhirnya mengambil lagi ginjal cangkok itu.

Dokter di Tiongkok sudah pesimistis. Rita pun hanya bisa pasrah. Dia semakin merana karena harus menemani Rian sendirian di Tiongkok. ”Saya sedih sekali melihat Rian di ruang ICU dengan alat-alat terpasang di tubuhnya,” kenang Rita. Bola matanya tampak berkaca-kaca. Kala itu, banyak yang menganggap Rian tidak akan bertahan hidup. Namun, Tuhan berbicara lain. Rian ternyata mampu melewati masa kritis. Rita sangat senang melihat anaknya akhirnya siuman. Bagi dia, melihat Rian terbangun merupakan mukjizat. Dokter di Tiongkok pun heran melihat Rian bisa bangun. Sebagai kado, salah seorang profesor di rumah sakit tersebut mengangkat Rian sebagai anaknya. Dia diberi nama Wang Li An yang artinya kurang lebih keselamata­n. ”Dari 30 orang yang sudah cangkok itu, yang masih bertahan sampai sekarang hanya Rian. Padahal, operasi cangkok ginjal putri saya sebenarnya gagal,” katanya.

Namun, bukan berarti Rian sembuh. Dia tetap harus menjalani rutinitas lamanya: cuci darah seminggu tiga kali. Meski demikian, Rita tidak mau menyerah. Dia sangat yakin Tuhan akan membantu hamba-Nya yang berusaha. Karena itu, Rita pontang-panting mencari jalan agar buah hatinya bisa selamat. Harapannya hanya satu, melihat Rian bisa hidup normal seperti anak perempuan lain. (*/bersambung/c6/oni)

 ?? RITA FOR JAWA POS ?? SELALU DITEMANI MAMA: Rian bersama mamanya, Rita, ketika berada di Tiongkok pada 1994. Foto kanan, Rian (tiga dari kanan) bersama saudara-saudaranya.
Nggak
RITA FOR JAWA POS SELALU DITEMANI MAMA: Rian bersama mamanya, Rita, ketika berada di Tiongkok pada 1994. Foto kanan, Rian (tiga dari kanan) bersama saudara-saudaranya. Nggak
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia