Sempat Tenggelam, Kini Kian Eksis
Sejarah Panjang Batik Sidoarjo
SENI batik masuk ke Sidoarjo sekitar 1675 di sekitar Masjid Al-Abrur. Pembawanya adalah Mbah Mulyadi, anggota keluarga Kerajaan Kediri yang melarikan diri ke Pasar Jetis untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Mbah Mulyadi mengajarkan seni batik kepada santrisantri di lingkungan masjid sehingga mendorong kemunculan pembatik di sekitar Pasar Jetis.
Pada abad ke-12, Sidoarjo sangat terkenal karena merupakan daerah delta, tempat favorit bagi kapal-kapal niaga yang berlabuh (kini tepat berada di seputar mal Sidoarjo/Ramayana). Jarak pelabuhan dan Pasar Jetis hanya ratusan meter sehingga berdampak positif untuk perkembangan perniagaan di Pasar Jetis.
Setelah sempat vakum, pada awal 1950-an batik Jetis mulai muncul kembali. Kemudian, muncul Nya Wida alias Widiarsih, warga Jetis keturunan Tionghoa, pengusaha batik terbesar di Jetis saat itu.
”Usaha batik Nya Wida sukses karena hampir seluruh kampung Jetis bekerja sebagai pembatik untuk Nya Wida” ungkap Dwitjahjo, generasi ketiga penerus usaha Nya Wida.
Nya Wida jeli membaca peluang pasar. Dia menampilkan desain batik pesisir mengikuti selera pasar. Saat itu konsumennya kebanyakan pedagang dari Madura.
Ciri khas batik Jetis adalah menampilkan potensi lingkungan, yakni beras utah yang terkait dengan melimpahnya hasil bumi, terutama padi. Kembang bayem, terkait dengan hasil bumi berupa sayuran. Kebun tebu, terkait dengan Sidoarjo yang dulu dikenal sebagai penghasil gula terbesar.
Batik Sidoarjo asli cenderung berwarna kecokelatan dan tidak menggunakan motif binatang. Namun, karena permintaan konsumen mayoritas masyarakat Madura, muncullah warna merah, biru, hijau, kuning, hitam, dan lain-lain. Dari segi gambar, batik Sidoarjo mengalami perkembangan dengan adanya motif burung merak dari samping dengan sayap menutup, bunga kenongo, cecekan, dan sunduk kentang.
Tahun 1970-an, pengusaha batik kelas UKM mulai bermunculan. Batik jadi mata pencaharian utama.
”Perjalanan perbatikan di Jetis sudah berjalan sekitar 340-an tahun, tidak terlepas dari pasang surut. Namun, kampung batik Jetis masih terus bertahan sebagai kawasan penghasil batik kebanggaan Kota Sidoarjo,” kata H.M. Amri Zaenal Arifin.
Era 1970–1980-an, permintaan batik Jetis sangat luar biasa. Kemudian, era 1990-an muncul batik sablon. Banyak pengrajin dan usaha batik gulung tikar. Tak lama kemudian, muncul batik cetak ( Meskipun coraknya bagus, ternyata sekali cuci langsung luntur. Dengan demikian, keberadaan batik tulis Jetis masih mampu bertahan.
Perjalanan panjang pembatik itulah yang membuat angkatan muda pembatik Jetis membentuk Paguyuban Batik Sidoarjo pada 16 April 2008. Anggotanya adalah H Ach Saichu (Barro), H Nur Wahyudi (Azizah), Mursidi (Murni), Hj M Thoha (Daun), dan Hj Musyhafa’ah (Namiroh). Selain itu, Nurul Tholiah (Yassyaroh), Ahyar (Barokah), M. Yazid (Rachmad), Ibrahim (Brahim Salam), Maryam Sujono (Dunia Wanita), dan H Ishak (HI).
Ada juga Zainal Affandi (Kamsatun), Zainul Qodim (Amall CH), Nurul Huda (Al-Huda), Musafa’ah (Amali CH), Isbachillah (Kamsatun), dan Zainal Arifin (Amri Jaya). Juga Karyastutik R (Roemah Batik Loe-wesan), H Miftah (Dahlia), Adnan (Adam), Hj Jauhariyati (Ananda), Hj Mariyam (Amri), dan Kusnan (Barokah). Anggota lain adalah Muhammad (Salam), Bakar (Abu Bakar), Tito Oesman (Kenongo), Astri Kuntho (Shaffamarceau), H Hartono (Sari Kenongo), dan Budi Seniawan (Patran Kencana).
Pada 3 Mei 2008, Kampoeng Batik Jetis sejak 1675 diresmikan. Lalu, pada 31 Desember 2008 diresmikan Koperasi Batik Tulis Sidoarjo.
Berbagai upaya telah dilakukan para juragan batik. Ada yang bertahan dengan batik pesisir, ada yang muncul dengan desain kontemporer namun tetap memunculkan kembang bayem, pecah kopi, beras utah, dan kembang tebu dengan style yang berbeda. Namun, ada yang memunculkan produk alternatif berupa sprei, taplak meja, sarung bantal, guling, sandal, sepatu, dan lain-lain agar batik Sidoarjo tetap eksis. (ran)