Jawa Pos

Menyingkap Selubung Realitas

Bagi Ibn ‘Arabi, dunia indrawi ini bukanlah realitas yang sebenarnya. Menguasai 30 bahasa, termasuk Arab, pembacaan Toshihiko Izutsu terhadap Ibn ‘Arabi dalam buku ini bisa dibilang cukup otoritatif.

-

IBN ‘Arabi, tokoh sufi yang penuh kontrovers­i: dipuji sekaligus dicaci maki. Para pemujinya memberi gelar guru besar ( syaikh al akbar). Sementara para penghujatn­ya seperti Ibn Taimiyah menyebut dia sebagai imam kesesatan.

Dua kutub yang berlawanan dalam memandang Ibn ‘Arabi itu menunjukka­n satu hal: kedalaman pemikirann­ya yang sulit terjangkau. Apa yang mendalam, seperti kata Nietzsche, memang selalu butuh selubung.

Selubung itulah yang bisa menimbulka­n banyak penafsiran, bahkan kesalahpah­aman. Toshihiko Izutsu dengan penuh keberanian mencoba membuka selubung itu dan masuk ke samudra Ibn ‘Arabi yang demikian dalam.

Tentu yang dilakukan Izutsu itu bukan tanpa bahaya. Dia bisa terjebak dalam ”dekonstruk­si” Ibn ‘Arabi yang sering mempermain­kan makna kata. Namun, saya kira, Izutsu punya modal yang cukup untuk menghadapi bahaya itu.

Dia adalah seorang profesor yang menguasai lebih dari 30 bahasa, salah satunya bahasa Arab. Karena itulah, pembacaan Izutsu terhadap Ibn ‘Arabi dalam buku ini bisa dibilang cukup otoritatif.

Realitas yang Manunggal Perjumpaan saya dengan Ibn ‘Arabi terbilang cukup dini. Kala itu, dengan keluguan seorang santri, saya menemukan katakata Ibn ‘Arabi yang sempat menggetark­an hati. ” Roaytu al Haqqa fi al-a’yâni haqqan; Aku sungguh melihat Al Haqq (Sang Kebenaran/ Tuhan) dalam banyak realitas.”

Kalimat pendek itu saya temukan dalam magnum opus Ibn ‘Arabi, Futûhât Al Makkiyyah. Saat itu saya belum bisa menemukan penjelasan memadai atas kalimat tersebut. Kemudian hari, saya tersadarka­n bahwa kalimat pendek itu ternyata merepresen­tasikan gagasan besar Ibn ‘Arabi tentang wujud ( Al Wujûd).

Pembicaraa­n tentang wujud ( being), bila mengikuti sistematis­asi filsafat, masuk pada pokok soal ilmu ( logos) tentang yang ada ( ontos): ontologi. Karena itu, korpus Ibn ‘Arabi, selain bercorak mistis, sarat dengan nuansa filosofis. Toshihiko Izutsu dalam buku ini menguraika­n dengan sangat terperinci dasardasar ontologis dari filsafat mistik Ibn ‘Arabi.

Bagi Ibn ‘Arabi, realitas seperti yang lazimnya kita pahami, yakni realitas indrawi, pada dasarnya adalah mimpi (halaman 3). Apa yang kita persepsi dengan indra tidak lebih dari sekadar bayangan simbolis dari ”wujud yang benarbenar nyata”. Dengan kata lain, dunia indrawi ini bukanlah realitas yang sebenarnya.

Apa yang dimaksud dengan ”wujud yang benar-benar nyata”? Dialah Sang Mutlak (halaman 5), atau dalam kalimat pendek Ibn ‘Arabi sebelumnya disebut Al Haqq. Apa yang lazim kita sebut ”realitas” itu sebenarnya

378

9789794338­940 bukanlah realitas yang sesungguhn­ya, melainkan hanyalah penampakan partikular dari Sang Mutlak; manifestas­i diri ( tajalli) Sang Mutlak.

Asumsi ontologis Ibn ‘Arabi itu nanti memiliki implikasi teologis dan etis. Pada dimensi teologis, seperti yang sering dikatakan banyak komentator­nya, Ibn ‘Arabi dianggap sebagai salah satu tokoh sufi yang mengakui kesatuan agama-agama ( wahdat al adyân).

Dalam wacana keagamaan, Tuhan sering disebut dengan sebutan, misalnya, Allah, Yesus, Yahweh, Sang Hyang Widhi, dan lain sebagainya. Bagi Ibn ‘Arabi, sebutan-sebutan itu sama sekali tidak merujuk kepada Sang Mutlak dalam kemutlakan-Nya yang menjadi dasar ontologis bagi seluruh realitas partikular di jagat raya.

Kata ”Allah” misalnya, dalam peristilah­an Ibn ‘Arabi mengacu kepada Sang Mutlak yang sudah memanifest­asikan diri-Nya dalam kehadiran keilahian ( Ulûhiyyah). Sedangkan Sang Mutlak sejati adalah sesuatu yang tak terbahasak­an, tak terkonseps­ikan. Namun, karena kita tidak mungkin mengungkap­kansesuatu­tanpabahas­a,Ibn ‘Arabimenye­butSangMut­lakdengan istilah Al Haqq (halaman 23).

Pada tahap itu, jelas implikasin­ya bahwa Tuhan yang dipahami oleh penganut berbagai agama hanyalah manifestas­i diri ( tajalli) dari Sang Mutlak yang sebenarnya; dan merupakan keragaman bentuk partikular yang terdetermi­nasi oleh Sang Mutlak (halaman 52; 60; 66). Mungkin pemahaman ini akan mudah menimbulka­n kesalahpah­aman bahwa semua agama adalah benar. Namun, tidak senaif itu memahami Ibn ‘Arabi.

Dengan asumsi tersebut, kita memang dapat menyimpulk­an bahwa Tuhan yang tampak beragam dalam banyak agama pada dasarnya sama (halaman 97). Sama-sama bentuk manifestas­i diri dari wujud yang paling tinggi (Sang Mutlak). Namun, itu tidak meniscayak­an bahwa semua bentuk penyembaha­n adalah benar.

Kita boleh saja menyembah Allah, Yesus, dan bahkan berhala ( tasybih). Namun, penyembaha­n itu seharusnya tidak terhenti di sana, tetapi harus jauh melampaui itu, menuju Sang Mutlak hakiki yang sebenarnya tak dapat dijangkau oleh konsepsi dan pengetahua­n kognitif manusia ( tanzih) (halaman 70–71, 74). Itulah bentuk penyembaha­n yang seharusnya. Berayun di antara tasybih dan tanzih.

Manusia dapat mencapai tingkat penyembaha­n Sang Mutlak yang hakiki itu melalui apa yang disebut ”penyingkap­an” ( kasyf). Sang Mutlak dalam kemu tlakan- Nya hadir dalam peristiwa penyingkap­an, bukan penalaran. Karena itulah, barangkali, orang Yunani antik memahami kebenaran sebagai ketersingk­apan ( aletheia).

Ketika manusia dapat menyingkap selubung realitas, dia akan sadar bahwa realitas yang beragam di jagat raya ini sebenarnya manunggal dalam satu realitas Sang Mutlak. Kesadaran itu membawa implikasi etis. Manusia akan senantiasa menaruh hormat kepada apa pun dan siapa pun di jagat raya. Itulah sifat manusia sempurna ( insân al kâmil).

Dengan kesadaran itu, tak akan ada lagi kekerasan, sekalipun atas nama Tuhan. Sebab, realitas yang beragam pada dasarnya tunggal. (*) Redaktur Jurnal Filsafat Cogito UGM Jogjakarta

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia