Ketika sang Guru Besar Menangkar Realitas Cinta
Puisi-puisi dalam Arung Cinta mewakili pergulatan batin anak manusia yang tengah disergap ekstase kenikmatan yang memuncak, kesepian yang menyakit- kan, kerinduan yang mencekam, atau keter- asingan tanpa batas.
’’BILA ingin menjadi penyair, bercintalah berkali-kali dan patah hatilah berkali-kali.’’ Begitu kelakar W.S. Rendra. Benarkah sindiran penyair Si Burung Merak itu? Hal yang pasti, lantunan kata yang diuntai seorang penyair berdasar motivasi tertentu, dari sebatas sambilan, penyaluran potensi diri, atau sekadar hobi.
Tujuannya bisa bermacammacam. Ada yang cuma mencari status sosial, aktualitas diri, tambahan penghasilan, sarana curahan hati, sampai yang benarbenar bertujuan kultural.
Djoko Saryono, guru besar di bidang ilmu pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, mengakui bahwa karya ciptanya ini untuk sekadar mengusir sepi (hal v). Tak heran, lontaran kata-kata dalam antologi puisi ini sepintas tak mengandung dimensi apaapa. Tapi, bila direnung dengan seksama, ungkapan penyair kelahiran Madiun itu sarat nilai. Djoko paham betul bagaimana menangkar realitas cinta dalam ragam dimensinya, lalu disuling sedemikian rupa dalam rakitan kata yang memukau.
Dengan kemampuan kontrol bahasa yang cukup baik, ia menampilkan renungan cinta tanpa harus disertai gelegak berahi. Namun, tetap mengandung letupan asosiatif yang memesona ihwal silang sengkarut relung cinta yang telah dan mungkin dialami oleh siapa pun. Karena itu, antologi puisi ketiganya ini diberi tajuk Arung Cinta.
Puisi-puisi dalam Arung Cinta mewakili pergulatan batin anak manusia yang tengah disergap ekstase kenikmatan yang memuncak, kesepian yang menyakitkan, kerinduan yang mencekam, atau keterasingan tanpa batas.
Aneka pergulatan itu muncul dan merayap hingga ke bilik-bilik rohani yang kemudian memilih jalan-jalan sunyi. Pergulatan batin yang intens dengan kesunyian itu mewujud ke dalam salah satu puisi Djoko, ’’Menanti’’: tegak aku di pantai: tanpa gagal/menatap perahu belum sampai/adakah kemesraan melambai?/kau kirim saat mendarat di pasir landai!/tak kuhitung waktu: tanpa tahu/berapa lama menanti di pantai itu...(hlm 9).
Dalam menghadapi realitas, Djoko yang sehari-hari serius dengan teori-teori ilmu pendidikan rupanya serius pula dalam menciptakan ruang yang memungkinkannya melakukan pergulatan intens dengan cinta yang kompleks.
Arung Cinta
Djoko Saryono
Pelangi Sastra, Malang
I, November 2015
146 halaman
Dalam konteks ini, peran seorang penyair tidak sekadar mengabarkan realitas cinta yang dihadapinya. Melainkan ingin mewujudkannya sebagai ruang yang konkret. Sebuah ruang pergulatan yang tidak semua orang mampu menerobosnya.
Saya mengintimi puisi-puisi yang ditulis Djoko sedikit banyak menguar nilai kreativitas dan intensitas yang sangat tinggi. Satu hal yang perlu dicatat, penyair ini telah berusaha sekuat tenaga mengolah realitas yang dialaminya. Dan usaha kerasnya tersebut berhasil melahirkan realitas baru, juga tafsir baru, yang lantas memperkaya rancang bangun puisinya secara utuh.
Sekadar contoh, saya kutipkan bagian akhir dari puisi ’’Kebaikan Sepi’’: sepi seperti sangat menguasai makna hati/maka diusung tembang renungan diri/biar tarian waktu menganggukkan kaki/dan meliukkan tubuh yang kaku sekali. (hlm 8).
Melalui puisi itu, seolah-olah Djoko hendak mendefinisikan kesepian sebagai sesuatu yang menyakitkan. Namun, ia tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan pengertian kesepian dengan pemahaman yang lebih mengusik, yaitu jalan sunyi untuk merenung diri. Di sini, Djoko memasuki ruang-ruang kesyahduan dalam kesunyian itu.
Puisi-puisi Djoko dalam buku ini juga memperlihatkan atmosfer yang mewakili krisis kejiwaan yang disebabkan oleh cinta yang pupus. Krisis kejiwaan tersebut juga mungkin disebabkan oleh kesalahan menafsir cinta, sebagaimana tergambar dari puisi ’’Rasa Cinta’’: Hunjam tatapmu luluhkan lubuk rasa/sihir kepala hati yang dahaga cinta/sedang dirajam kemarau makna...(hlm 55).
Kesalahan dalam memaknai cinta juga terlukis dalam puisi ’’Maaf’’: cintaku, maafkan, diriku meracik nafsu keliru/mengubah dirimu tiap waktu sesuai mauku/ padahal dunia tiada memberi restu...(hlm 54).
Terlepas dari proses penulisan yang tampak matang, baik secara teknis maupun dari segi bahasa dan makna, antologi puisi ini menjadi bukti bagaimana seorang guru besar yang sehari-hari disibukkan dengan tugas-tugas akademik dan teoriteori ilmiah masih sempat mengabdikan sebagian besar waktunya untuk dunia kebudayaan dan kesusastraan.
Kerja keras penyair-guru besar sekelas Profesor Djoko Saryono senyatanya dapat menginspirasi kaum muda, selain guna mengakrabi kata-kata dalam puisi, juga untuk mereguk indahnya kehidupan, dan dari sana bisa belajar ihwal kehidupan itu sendiri.
Dalam himpunan puisi ini banyak sekali kandungan kata-kata mutiara, selain tentang kompleksitas cinta dengan segenap teka-tekinya, juga mengajarkan intisari kebijakan dan isyaratisyarat kemuliaan yang dapat menguatkan seseorang dalam mengarungi ganasnya ombak kehidupan. (*)
Pengajar PBA-FAI UMM