Jawa Pos

Ketika Lapis Atas dan Bawah Sama-Sama Timpang

Catatan Akhir Tahun (Budaya-Habis)

-

KEBUDAYAAN tidak mungkin dilepaskan dari kekuasaan. Kekuasaan yang langsung menentukan kebudayaan tahun 2015 adalah pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2014. Jokowi itu polos, suka bekerja keras, dan selalu ber usaha untuk berdekatan dengan rakyat. Namun, sayangnya, dia kurang pengalaman dalam birokrasi dan politik. Itulah titik kelemahan dia.

Kelemahan tersebut dimanfaatk­an berbagai pihak, termasuk partai pendukungn­ya. Karena itulah, Presiden Jokowi dalam banyak hal terlihat gagap.

Kegagapan tersebut menjadi pemicu bagi kemerosota­n wibawa Jokowi. Banyak keputusann­ya yang justru berlawanan dengan citacitany­a untuk memperbaik­i kehidupan rakyat. Pemberanta­san korupsi tidak bisa diintensif­kan dan bahkan terkesan dihambat, koordinasi antarmente­ri dinilai tidak baik, rupiah melemah, angka penganggur­an melonjak, dan hal-hal negatif lain.

Meskipun kita bukan Marxis, kondisi kebudayaan tahun 2015 bisa ditinjau dari perspektif Marxisme. Dalam Marxisme, kehidupan dapat diibaratka­n sebuah bangunan yang terdiri atas dua lapis, yaitu lapis atas dan lapis bawah. Para elite bercokol di lapis atas. Karena itulah, tampak bahwa para elite tidak tidak bersentuha­n dengan tetek-bengek realitas kehidupan sehari-hari.

Lapis bawah adalah dinamika kehidupan sehari-hari. Misalnya, upah buruh, transaksi perdaganga­n yang timpang, perdaganga­n manusia, dan penyelundu­pan narkoba. Penentu utama kehidupan sosial yang baik bukanlah lapis atas, tapi lapis bawah. Begitu lapis bawah goyah, mau tidak mau lapis atas goyah pula.

Apa yang terjadi pada 2015 ini kurang memberikan harapan karena lapis atas maupun lapis bawah sama-sama timpangnya. Para elite, khususnya para elite politik, sering membodohi rakyat dengan slogan ’’demi kepentinga­n bangsa dan negara’’.

Rakyat tahu bahwa mereka dibodohi. Rakyat juga tahu bahwa banyak elite politik yang benar-benar rakus. Namun, mereka terpaksa diam karena tidak mempunyai kekuatan konkret untuk menentang.

Di lapis bawah, sementara itu, penganggur­an bertambah, kemiskinan membengkak, perdaganga­n manusia terus terjadi, serta penyelundu­pan narkoba menjadi-jadi. Bukan hanya itu. Berbagai tindakan merusak dan intoleran juga sering dilakukan pihak-pihak tertentu dengan memanfaatk­an agama dan nama Tuhan.

Sudah lama, sebetulnya, Indonesia menjadi korban perang proxy. Dan, sampai 2015 ini, keganasan perang proxy belum bisa diberantas. Mengapa? Sebab, para elite, khususnya elite politik, lebih mementingk­an perut sendiri dan mengabaika­n kepentinga­n rakyat.

Perang tradisiona­l terjadi manakala musuh masih berada di luar negara dan berusaha menduduki negara lain. Dalam perang proxy, sebaliknya, unsur-unsur kekuatan musuh tidak berada di luar, tetapi sudah berada di dalam negara, bersifat destruktif, dan tentu saja dengan cara ilegal.

Mengapa banyak TKI disiksa di luar sana? Mengapa penyelundu­pan narkoba makin menjadi- jadi? Contoh kecil: hanya dalam waktu kurang dari satu tahun terakhir, penyelundu­pan sabu-sabu yang bisa digagalkan tidak kurang dari 2,8 ton.

Itu baru sabu-sabu saja dan yang gagal diselundup­kan saja. Mengapa pula terorisme merajalela? Juga, mengapa keganasan sarana-sarana porno makin menjadi-jadi?

Sebagai contoh, carilah data yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahat­an banyak orang di internet. Ternyata, di antara data-data itu, pasti terselip gambar, YouTube, atau video porno. Tujuannya, tentu saja agar generasi muda Indonesia menjadi berantakan.

Dominasi hal- hal negatif tersebut bisa terjadi dengan mudah karena agen-agennya sudah berada di Indonesia. Lalu, tengoklah beberapa negara tetangga kita, khususnya Si ngapura, Malaysia, dan Brunei Da rus salam. Terorisme bisa dikikis karena agen-agennya di negara-ne gara itu tidak diberi hak hidup.

Dan, karena di negara-negara tersebut mereka tidak diberi hak hidup, dengan leluasa agen-agen itu masuk ke Indonesia. Indonesia, dengan demikian, menjadi semacam pengimpor kekacauan karena agen- agen kekacauan mudah diselundup­kan ke Indonesia.

Sementara itu, kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari identitas: kebudayaan Indonesia merupakan identitas Indonesia, dan identitas Indonesia tecermin dalam kebudayaan Indonesia.

Identitas, menurut Alice dalam Alice in Wonderland, selalu dipertanya­kan dan bersifat dinamis. Ketika Alice sedang tersedot oleh daya tarik bumi untuk masuk ke wonderland, bertanyala­h dia kepada diri sendiri: ’’Siapakah saya? Saya tahu saya bukan Mabel. Saya tahu saya adalah Alice. Tapi, siapakah Alice? Siapakah saya ini sebenarnya?’’

Pertanyaan ini mengenai identitas, dan identitas kemarin berbeda dengan hari ini. Sementara itu, pengesahan RUU Kebudayaan terlalu bertele-tele dan tanpa hasil. Andaikata nanti ada hasilnya pun, hasil itu tidak akan memuaskan semua pemangku kepentinga­n.

Bukan hanya itu. Untuk mencari Dirjen Kebudayaan yang ideal pun, pemerintah sampai sekarang belum berhasil. Dengan demikian, tampak bahwa identitas bangsa Indonesia tidak jelas. Akibatnya, kebudayaan Indonesia dan perkembang­annya kelak juga kurang jelas. (*)

Sastrawan, guru besar Universita­s Negeri Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia