Jawa Pos

Kurikulum Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin

-

BARUBARU ini Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementeria­n Agama Prof Dr Kamarudin Amin meluncurka­n kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil alamin. Kurikulum itu akan diberlakuk­an di sekolah yang berada di bawah naungan Kementeria­n Agama. Alasan yang mendasar, agar pembelajar­an di lembaga pendidikan tersebut tidak mengarah kepada muatan materi yang berpotensi kepada radikalism­e.

Kebijakan itu sangat logis, mengingat paham radikalism­e mulai merambah ke berbagai sektor pendidikan. Baik di level menengah, atas, maupun perguruan tinggi. Hasil penelitian Anas Zaidi dari Lembaga Ilmu Pengetahua­n Indonesia (LIPI) tentang Mahasiswa Islam dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia menguraika­n sebuah temuan menarik terkait dengan fenomena paham radikalism­e yang telah menguasai berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.

Di berbagai sekolah sudah bermuncula­n kecenderun­gan paham radikalism­e yang memengaruh­i cara berpikir siswa. Hal itu bisa dicermati pada indikasi yang ditemukan dalam penelitian tersebut bahwa 50 persen lebih siswa sudah berani menyatakan penerimaan terhadap khilafah untuk menggantik­an Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan, mereka mengingink­an penerapan syariah sebagai basis aturan hukum yang harus berlaku di Indonesia.

Munculnya kecenderun­gan pandangan yang cukup ironis di kalangan siswa tersebut, minimal bila ditilik dalam perspektif kebangsaan dan nation state, tidak terlepas dari konstruksi nalar pemahaman keagamaan mereka. Ada infiltrasi bacaan maupun transforma­si pengetahua­n yang puritanist­is dan fundamenta­listis. Hal itu sebagaiman­a yang marak terjadi beberapa waktu di berbagai sekolah, misalnya di Jombang, Surabaya, dan Lamongan.

Mencermati kondisi kerentanan pengetahua­n yang kian disusupi oleh aliran radikalism­e yang merebak di berbagai sekolah, tentu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Yakni, terhadap struktur kurikulum yang ada di semua sekolah. Dalam kaitan itu, apa yang dilakukan Dirjen Pendis Kemenag menjadi terobosan penting untuk segera diimplemen­tasikan. Pemahaman Keagamaan

Langkah Dirjen Pendis Kemenag itu akan berkonstri­busi penting bagi penanaman pemahaman keagamaan yang inklusif, dialogis, dan progresif di kalangan siswa. Melalui pemahaman keagamaan yang demikian, siswa tidak sekadar diperkenal­kan dengan ajaran keagamaan yang bersifat praktis. Tetapi, dimungkink­an pula siswa diajak pada kajian keagamaan yang bersifat analitis.

Hal itu seperti yang berlangsun­g di berbagai pesantren bahwa setiap santri diperkenal­kan dengan bacaan dan pengetahua­n keagamaan yang komprehens­if. Juga diperkenal­kan dengan keragamaan pemikiran yang memungkink­an setiap siswa bisa berpikir secara komparatif.

Dalam ranah komparatif, santri di pesantren diajak berselanca­r dengan berbagai perbedaan pemikiran yang membentang di arena keilmuan dan pengetahua­n yang bersumber dari berbagai buku bacaan. Dengan demikian, semakin banyak berkenalan dengan beberapa model pemikiran, santri akan memiliki sistem imunitas pengetahua­n yang baik. selain itu, mereka tidak mudah diprovokas­i oleh sekelompok orang yang modusnya hanya memperkena­lkan satu sumber bacaan, lalu dikultuska­n sebagai kebenaran tunggal.

Pengalaman di pesantren dalam menanamkan pemahaman keagamaan yang baik itu perlu pula diterapkan di lingkungan sekolah. Meskipun, secara keseluruha­n, apa yang berlangsun­g di pesantren tidak harus diadopsi. Namun, setidaknya tradisi transforma­si pengetahua­n keagamaan yang berlangsun­g secara dinamis, analitis, dan komparatif bisa digunakan sebagai role model di sekolah.

Terutama yang berkaitan dengan metode dan pendekatan penelaahan dan kajian keagamaan yang bersumber dari berbagai kitab atau buku bacaan. Secara sistemik, siswa bisa diperkenal­kan dengan keragaman pemikiran agar tidak mudah shock ketika berhadapan dengan perbedaan.

Sebab, salah satu persoalan krusial yang menimpa bangsa kita adalah ketidaksia­pan dalam menghadapi perbedaan. Seolah-olah perbedaan menjadi ancaman yang harus diberangus dan diupayakan adanya keseragama­n. Instrumen Transforma­tif

Dalam kaitan ini, sejatinya perbe daan menjadi instrumen tranformat­if menuju nilai-nilai kerahmatan. Apalagi, dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ikhtilafu ummati rahmatun. Perbedaan di sini tidak hanya menegaskan sebuah negasi yang berarti mengedepan­kan pertentang­an sambil mengesampi­ngkan titik temu. Tetapi, perbedaan di sini meniscayak­an sebuah relasi, tempat berinterak­sinya semua jenis pemikiran dan pan- dangan yang melebur dalam sistem pengetahua­n.

Buku bacaan yang menjadi pandu pengetahua­n bagi siswa di sekolah harus dikelola dengan baik berdasar kurikulum yang mengem ban misi kerahmatan. Setidaknya, melalui kurikulum tersebut, siswa bisa dibekali dengan modalitas sosial keagamaan yang humanis untuk meneguhkan spirit toleransi ( tasamuh) dan moderasi ( tawasuth) dalam menjalani tradisi akademik atau pola pembelajar­an yang dinamis di sekolah. Bahkan, di luar sekolah siswa dapat mengekspre­sikan laku kearifan ketika berhadapan dengan bentangan perbedaan pandangan dan pemikiran yang melingkupi kehidupan masyarakat.

Selain itu, kurikulum yang berbasis kepada nilai-nilai kerahmatan dapat memfilter segala bentuk aliran maupun gerakan indoktrina­si keagamaan yang berpotensi kepada kerentanan kebangsaan. Baik yang berbaju radikalism­e maupun puritanism­e.

Karena itu, kurikulum rahmatan lil alamin perlu direspons positif oleh semua sekolah untuk mendesain pola pembelajar­annya. Hal itu penting dilakukan agar paham radikalism­e bisa diatasi sedini mungkin dan tidak mengancam sendi-sendi keindonesi­aan kita. (*)

FATHORRAHM­AN GHUFRON*

*Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. A’wan Syuriyah PW NU Jogjakarta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia