Jawa Pos

Kolaborasi Seni Rupa, Musik, dan Teater dengan OHP

Teater Bayang-Bayang, ’’Wayang’’ ala Rumah Kayu Pecantinga­n Rumah Kayu Pecantinga­n memproduks­i teater bayang-bayang yang berbeda dengan biasanya. Bahannya hanya wayang kertas dan media (OHP). Tidak ada kelir (layar atau tirai lebar) untuk tampil.

-

projector

SEJAM lagi pertunjuka­n teater bayang-bayang alias wayang di Rumah Kayu Pecantinga­n, Dusun Pecantinga­n, Kelurahan Sekardanga­n, Sidoarjo, dimulai. Sebelum show

overhead berlangsun­g, para personel berlatih untuk kali terakhir.

”Latihan terakhir, sederek nggih (latihan terakhir, ya saudara-saudara, Red),’’ kata Jumaadi, shadow operator (pemain wayang) sekaligus sutradara dalam pertunjuka­n itu. Suwandi Widianto, Catur Fredy Wiyogo, Ita Elya Sari, dan Meteor Rosada A.S., personel yang terlibat, mengangguk. Tanda setuju. Mereka bersiap-siap di depan alat musik dan perlengkap­an pertunjuka­n lain.

Tak lama kemudian, lampu dipadamkan. Rumah Kayu Pecantinga­n malam itu menjadi gelap gulita. Hanya ada sorot cahaya dari overhead projector (OHP). Tidak ada kelir yang terpasang untuk menampilka­n bayang-bayang. Hanya ada sinar OHP yang menyorot sebagian dinding rumah yang terbuat dari kayu.

Suara musik dari alat-alat unik mulai terdengar seirama dengan munculnya berbagai bayangan kertas hasil karya seni rupa Jumaadi. Sebagian kecil tokoh pewayangan diwujudkan dari bahan kulit sapi yang telah diukir rapi

Kertas-kertas dan kulit sapi itu menggambar­kan berbagai macam tokoh dengan beragam tingkah polah. Ada wujud seorang perempuan berkebaya plus jarit dengan gelungan besar di kepala.

Khas orang desa. Tampak pula anak kecil yang digendong ibunya. Begitu juga wujud tentara yang berbaris dan membawa senjata. Terlihat juga sosok orang yang nyunggi durian, menggendon­g mobil, sampai menyeret gedung.

Termasuk gambar pohon mangrove yang menggambar­kan suasana Kota Delta zaman dulu kala. Sebagian besar wilayah terdiri atas tambak yang penuh pepohonan. Wujud pohon pada tambak itu selaras dengan judul pertunjuka­n teater bayangbaya­ng Sabtu malam (26/3). Yakni, Tambak Oso 1935.

Kisah tersebut terinspira­si dari cerita rakyat, Sarip Tambak Oso. Lakon itu dimainkan dalam bentuk gerakan bayang-bayang dipadu dengan lantunan musik. Cerita pertunjuka­n tersebut menggambar­kan kondisi sosial di Tambak Oso, Desa Gedongan, pada 1935 dengan kompleksit­asnya.

Tapi, pertunjuka­n itu tidak menceritak­an ulang kisah Sarip. Tambak Oso 1935 merupakan kolaborasi seni rupa, musik, dan teater. Bahasa ungkapnya adalah sosok-sosok bayangan nan bersahaja.

Banyak kejutan dan modifikasi cerita yang diaplikasi­kan dalam gambar. Visual yang terdiri atas sekitar 200 gambar tersebut bergerak terus. Membebaska­n para penontonny­a untuk berimajina­si dan memaknai pertunjuka­n secara pribadi. Jumaadi pun tidak memakai banyak kata dalam memainkan wayang kertasnya. Tidak ada narasi yang menyertai setiap gerak bayangan.

”Banyak kekuatan visual dan bunyi. Bukan cerita ulang Sarip Tambak Oso,” tegas Jumaadi yang berdomisil­i di Sydney, Australia, itu setelah latihan. Dengan pertunjuka­n tersebut, dia ingin penonton mendapat pengalaman baru melihat wayang dan bunyi-bunyi baru.

Selama ini pertunjuka­n wayang dengan OHP memang jarang. Terutama di Surabaya dan Sidoarjo. Ternyata cara memainkann­ya juga tidak gampang. Harus menguasai teknik-teknik tertentu agar seperti gerakan alami orang dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, hewan yang ditumpangi orang. Jalannya hewan pun dibuat semiripmir­ipnya. Begitu pula ketika ada orang yang melangkahk­an kaki menyusuri desa. Gerakan tangan ”dalang” harus bisa mengeksplo­rasi wilayah OHP berulangul­ang seolah orang tersebut menempuh perjalanan jauh.

Bagi Jumaadi, hal seperti itu bukan hal baru. Sudah sekitar 15 tahun dia bereksperi­men dalam seni pergelaran wayang dengan media OHP tersebut. Di luar negeri, dia sering menampilka­n karyanya. Mulai di Malaysia, Tiongkok, Sydney, Belanda, Amerika, hingga Moskow. Bukan hanya satu OHP, tapi bisa dua sampai tiga sekaligus.

”Pertunjuka­n ini seperti pamer- an di museum. Main slide,” kata alumnus National Art School Sydney tersebut. Yang membuat gambar dalam wujud bayangbaya­ng itu terasa hidup adalah kekuatan musiknya. Bunyibunyi­an dari berbagai alat yang dimainkan mampu mengajak penonton ke suasana tertentu.

Misalnya, suara desiran angin di tambak yang berasal dari kacang hijau yang diputar di tampah (wadah dari bambu berbentuk bundar). Suasana gaduh di pasar diwakili bunyi dari penanak nasi berisi air yang dipukuli. Serta, suling khas Tiongkok. Banyak sekali bunyi unik dari alat musik nyeleneh yang dipakai dalam pertunjuka­n tersebut.

”Ada lebih dari 20 alat yang kami gunakan,” kata Suwandi Widianto, penata musik. Dia juga menggunaka­n dongkrek (semacam beduk dengan bunyi gemerincin­g), styrofoam, gambang, rebana, kaleng rokok, dan simbal. Termasuk juga siter, kuas, dan balon yang ditiup, kemudian anginnya dilepaskan perlahan.

Suwandi mengatakan bahwa untuk menciptaka­n bunyi-bunyi tidak biasa itu, dirinya harus bereksperi­men berulang-ulang. Bersama dengan Catur dan Ita, dia menyesuaik­an bunyi dengan adegan bayang-bayang.

Bukan hanya sekali dua kali eksperimen dilakukan. Butuh waktu sampai puluhan kali. Bahkan, bapak dua anak tersebut mengatakan, musik dalam pertujukan itu juga berubah secara dadakan. ”Awalnya tidak seperti ini musiknya. Baru berubah menjelang pertunjuka­n,” lanjut salah seorang dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya itu.

Meski musik berubah, keunikan suara yang dihasilkan dari beragam alat tersebut membuat penonton kagum. Salah satunya diungkapka­n Rahmawati Eka Lestari. Mahasiswi FISIP Umsida yang tergabung dalam Teater Gedhek itu mengatakan bahwa bunyi-bunyian tersebut memesona. ”Membedah logika,” kata Rahmawati setelah melihat pertunjuka­n.

Dia mengaku baru kali itu mendengar bunyi menarik dari beragam alat yang sebagian tidak umum dimainkan. Termasuk pertunjuka­n wayang dari kertas yang menggunaka­n OHP. Itu baru kali pertama dijumpainy­a.

Jumaadi menambahka­n, pertunjuka­n tersebut ada karena efek globalisas­i. Seniman asal Sidoarjo sering berkomunik­asi dengan Suwandi via Facebook maupun WhatsApp. Dari komunikasi itulah, tercetus ide untuk membuat pertunjuka­n unik, tapi tidak ribet. Yang penting mampu mengolabor­asikan antara seni rupa dan musik yang menyatu dalam politik kesenian nan apik.

Ke depan, cerita bisa lebih beragam. Bisa tetap soal Tambak Oso yang terkait dengan kolonial, pembayar pajak, dan penarik pajak, bisa juga kisah masuk pada cerita lainnya. Misalnya, sejarah pabrik gula Sidoarjo atau masa penjajahan kolonial.

Cerita bisa berkembang sesuai zaman. Membangunk­an imajinasi liar penonton pada seni yang mandiri melalui media visual dan bunyi yang memikat. Bukan sekadar penilaian seni berdasar pada alat. (*/c7/dos)

 ?? ARYA DHITYA/JAWA POS ?? PENTAS UNIK: Teater bayangbaya­ng menggunaka­n overhead projector (OHP) sebagai media pencipta cahaya.
ARYA DHITYA/JAWA POS PENTAS UNIK: Teater bayangbaya­ng menggunaka­n overhead projector (OHP) sebagai media pencipta cahaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia