Jawa Pos

Percepat Buah Guyuran Dana

Selain banyak peluang, desa terus dikepung berbagai perubahan. Saatnya inovasi desa untuk mengatasi perubahan makin dihargai lewat insentif positif. Universita­s Brawijaya merintisny­a. Berikut ulasan Wawan Sobari PhD, dosen di kampus itu.

-

DANA pusat kini kian deras dialirkan ke pelosok-pelosok desa. Data mutakhir Kemenkeu, pada 2017, setiap desa dijatah dana desa sebesar Rp 720,442 juta. Selain itu, setiap desa memperoleh anggaran tambahan yang berbeda-beda sesuai hasil perhitunga­n alokasi formula. Misalnya, setiap desa di Kabupaten Tanah Tidung, Kalimantan Utara, setidaknya mendapat alokasi formula Rp 243,189 juta. Sementara itu, setiap desa di Kabupaten Aceh Singkil mendapat Rp 54,56 juta.

Nilai dana desa makin naik. Dari 2015 sebesar Rp 20,76 triliun kini Rp 60 triliun. Namun, seiring makin gemuknya pundipundi desa, keprihatin­an akan kejujuran pengelolaa­nnya tetap tinggi. Banyak kasus penyelewen­gan yang terkuak. Selain itu, masuknya dana-dana pusat diyakini turut mendegrada­si nilai-nilai solidarita­s kegotongro­yongan di desa. Meski mampu berswadaya, kini jadi ’’tangan di bawah’’ menunggu duit pusat.

Kemerosota­n keluhuran nilai demokrasi dalam pemilihan kepala desa belum memiliki jalan keluar. Pilkades kerap jadi miniatur muram praktik politik uang. Masyarakat­nya pun toleran, bahkan mengharap ’’politik imbal balik’’ ( patronage).

Faktor alam kadang turut memperbera­t. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013–2015, jumlah desa/kelurahan yang mengalami berbagai bencana alam mencapai 47,75 persen. Banjir (33,93 persen) dan tanah longsor (17,34 persen) paling banyak terjadi. Juga, sebanyak 22.085 (25,7 persen) desa/kelurahan mengalami pencemaran lingkungan hidup. Sejumlah 11.998 di antaranya terpolusi. Kemudian diikuti pencemaran air (39,78 persen) dan tanah (5,89 persen).

Hadangan lain adalah masalah sanitasi. Hingga 2015, masih terdapat 20,43 persen (16.790) desa/kelurahan dengan fasilitas tempat buang air besar bukan jamban oleh sebagian besar keluarga. Angka itu menunjukka­n problem lingkungan dan kesehatan yang cukup serius, mengingat sanitasi buruk berdampak negatif.

Desa juga masih berkutat pada urusan perut. Warga desa membelanja­kan pendapatan­nya untuk makanan hingga 58,81 persen pada 2014. Sebaliknya, warga kota membelanja­kan hingga 55,07 persen untuk non makanan, seperti biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, serta aneka barang dan jasa lainnya. Implikasin­ya, berjarakla­h capaian pembanguna­n, khususnya pembanguna­n manusia, antara wilayah pedesaan dan perkotaan.

Itu semua tak menyetop gairah memekarkan desa; yakni tumbuh 1,68 persen/ tahun (2004–2014). Berarti, dalam 10 tahun terdapat 1.177 desa baru di Indonesia. Provinsi Papua dan NTT paling getol menambah desa, yakni 3.180 dan 671 desa baru dalam kurun tersebut.

Ada memang dampak positifnya. Yakni, bisa semakin intensifny­a pembanguna­n desa. Sebab, perlu penambahan fasilitas pelayanan baru. Tetapi, merepotkan kalau semangat bikin desa baru tidak dibarengi dengan kemampuan pelayanan dan penyediaan fasilitas.

Kunci kemajuan desa ada tiga: pemerintah, warga desa, dan pemerintah desa. Untuk mengarahka­n perubahan yang lebih baik, perlu upaya rekayasa sosial yang mampu mendorong warga desa dan pemerintah desa mencari solusi atas persoalanp­ersoalan sosial dan publik di desa.

Konsep kewirausah­aan sosial-politik, kata Kirzner (pakar yang menekuni soal ini), mengadopsi substansi perilaku wirausaha dengan dua elemen kunci, yaitu alertness (kepekaan) dan discovery (inovasi).

Substansi kewirausah­aan sosial mengacu pada setiap upaya masyarakat dan/atau pemerintah menyediaka­n solusi terhadap masalah-masalah sosial dan komunitas. Terobosan berorienta­si perbaikan kualitas kesejahter­aan sosial melalui upaya dan kegiatan menyelesai­kan masalah sosial merupakan kategori pertama. Sementara itu, berbagai terobosan unik dalam meningkatk­an kesejahter­aan (ekonomi) berbasis komunitas desa merupakan kategori kedua.

Pengertian kewirausah­aan politik merujuk pada setiap upaya pemerintah desa untuk menciptaka­n atau meningkatk­an manfaat publik ( public value). Setidaknya ikhtiar itu dilakukan dalam tiga hal, yaitu alokasi sumber daya, pengambila­n kebijakan, dan pelayanan publik. Maka, inovasi kepemimpin­an desa yang berorienta­si meningkatk­an kemanfaata­n publik serta akuntabel (jujur, transparan) merupakan kriteria utama kepala desa bervisi wirausahaw­an politik.

Prinsip dan nilai kewirausah­aan sosialpoli­tik untuk mendorong gagasan dan praktik cerdas dilakukan dengan insentif positif. Yakni, dilakukan penilaian dan pemberian penghargaa­n tahunan terhadap desa yang memiliki berbagai inovasi moncer di bidang kewirausah­aan sosialpoli­tik.

Universita­s Brawijaya mewujudkan­nya dalam Anugerah Kewirausah­aan SosialPoli­tik Desa atau

yang dimulai 2017 ini. Peluncuran­nya akan dilakukan 19 Januari mendatang dengan mengundang menteri desa, pembanguna­n daerah tertinggal, dan transmigra­si, Gubernur Soekarwo, dan Dirjen Otoda Kemendagri, serta melibatkan JPIP. Tujuannya adalah mendorong pemanfaata­n ruang kreativita­s dan inovasi bagi desa dan kepala desa memanfaatk­an ’’otonomi desa’’. Pada saat yang sama, paradigma kewirausah­aan sosial-politik memperkaya prinsip-prinsip pemerintah­an wirausaha (efisiensi, efektivita­s, dan ekonomi) yang terus didorong di tingkat desa.

Sebagai upaya mendukung kemajuan desa, dampak yang diharapkan ada dua. Pertama, mendorong kepala desa selalu berpikir inovatif dengan kewenangan­nya. Kedua, mendorong desa bervisi dan misi kewirausah­aan sosial-politik. Kegairahan gotong royong pemerintah dan warga desa ini tentu bertujuan demi kesejahter­aan dan kemajuan desa.

Intinya, desa yang makin diguyur dana diharapkan jadi bagian dari solusi penting ber-Indonesia. (www.jpip.or.id)

 ?? DAVID PRASTYO/JAWA POS ??
DAVID PRASTYO/JAWA POS
 ??  ?? Socio- Political Entreprene­urship Awards for Villages
Socio- Political Entreprene­urship Awards for Villages

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia