Laporan ASN Tidak Netral Capai 53 Kasus
35 Rekomendasi Sanksi Sudah Diberikan
JAKARTA – Angka dugaan keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) dalam kontestasi pilkada 2017 terus meningkat. Hingga akhir pekan lalu, laporan yang masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencapai 53 laporan.
Komisioner KASN Waluyo menyebutkan, di antara 53 laporan yang masuk, sudah ada 35 aduan yang diselesaikan jajarannya. ’’Sisanya, 18 laporan, masih diverifikasi KASN untuk memastikan kebenarannya,’’ ujar Waluyo saat dihubungi kemarin (16/1).
Dari 35 kasus yang telah dituntaskan, lanjutnya, KASN memberikan rekomendasi yang bermacam-macam kepada pemerintah daerah setempat. Mulai sanksi ringan hingga berat. Namun, dia mengakui bahwa rekomendasi yang diberikan didominasi peringatan.
’’Ada juga yang pelanggaran berat dan kami minta pangkat ataupun jabatannya diturunkan. Dalam kasus itu, yang bersangkutan secara proaktif menyarankan atau mendukung salah satu calon,’’ paparnya.
Dia memprediksi angka laporan terus meningkat hingga hari pencoblosan pada 15 Februari mendatang. Alasannya, peningkatan eskalasi politik terus terjadi hingga hari itu.
Waluyo menyatakan, ASN memang kerap dihadapkan pada pilihan yang sulit saat pilkada. Jika bersikap netral, ada kecenderungan dia dianggap tidak mendukung kepala daerah terpilih nanti. Dampaknya dirasakan pada masa depan karirnya di pemerintahan.
’’PNS netral juga sering dianggap berada di pihak lawan karena tidak membantu saat pemenangan. Mereka (PNS, Red) diam pun kadang salah,’’ jelasnya. Tidak heran, celetukan agar hak pilih ASN seperti TNI-Polri ditiadakan sempat menyeruak.
Meski demikian, pihaknya tetap tidak menoleransi berbagai alasan ASN tidak netral dalam pilkada. Pengawasan maksimal guna meminimalkan politik balas jasa dan dendam setelah pilkada juga diintensifkan. ’’Pada 2015, ada yang kami batalkan perombakan jabatan PNS setelah pilkada,’’ ungkap Waluyo.
Di tempat terpisah, Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi menuturkan, dengan sistem pemilihan seperti sekarang, ASN sulit bersikap netral. ’’Karena ini soal jabatan dan masa depan yang bersangkutan,’’ katanya.
Hal tersebut, lanjutnya, juga diperparah dengan perilaku para kontestan pilkada, khususnya yang memiliki akses ke pemerintahan. Politisasi birokrasi yang dikenal solid kerap digunakan sebagai strategi dalam merebut kemenangan.
Meski begitu, Veri tidak sepakat jika fenomena itu direspons dengan sikap reaktif berupa pencabutan hak pilih ASN. Realitasnya, kasus-kasus tersebut tidak terjadi di semua PNS.
’’Untuk menekan praktik semacam itu, diperlukan optimalisasi implementasi peraturan. Misalnya, mengenai larangan melakukan mutasi jabatan enam bulan sebelum ataupun setelah pilkada,’’ terangnya. (far/ c14/fat)