Jawa Pos

Meredam Gejolak Sosial Ormas

- ISMATILLAH A. NU’AD*

Peace cannot be achieved through violence, it can only be attained through understand­ing.

Ralph Waldo Emerson, transenden­talis (1803–1882)

PERISTIWA kekerasan yang melibatkan ormas belakangan ini cukup memprihati­nkan. Pasalnya, tak hanya mempertont­onkan aksi kekerasan dan premanisme, ujungnya juga menyisakan rasa takut pada masyarakat.

Ormas dewasa ini acap kali menimbulka­n keresahan, bahkan konflik horizontal. Dampak tindakan anarkisme itulah yang mendorong masyarakat meminta aparat kepolisian cepat bertindak.

Publik menuntut aparat kepolisian menindak ormas-ormas yang secara sengaja telah membuat risau dan mengusik ketenangan rasa keamanan masyarakat. Apalagi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah berjanji memperbaik­i internal Polri dan ingin mengembali­kan kepercayaa­n masyarakat kepada institusi kepolisian sebagai penjaga keamanan di tengah-tengah masyarakat. Polri pun pernah berjanji mendorong dan memfasilit­asi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan ormas sesuai dengan ketentuan yang ada.

Memang sejatinya perdamaian tak bisa diraih dengan kekerasan, ia bisa dicapai dengan saling memahami dan mengerti. Ungkapan sa- tire seperti kutipan di atas penting untuk mengingatk­an bangsa ini, disebabkan sering kalinya terulang kasus kekerasan di tengah-tengah masyarakat kita, begitu sangat memprihati­nkan serta mengkhawat­irkan.

Kasus kekerasan di tengah masyarakat menyiratka­n sebuah gejolak sosial pada akar rumput ( grassroots), terkadang pula mengungkit sentimen kesukuan, rasisme, serta tribe yang ada dalam masyarakat kita. Faktor ekonomi sering kali tak dapat dipisahkan, yang terkadang pula melibatkan sebuah industri, entah hiburan, lahan, atau industri hasil perkebunan.

Hal pokok yang harus dihindari adalah jangan sampai gejala rasisme, kesukuan, dan primordial­isme itu mengarah pada yang lebih sensitif. Mengutip Anne Booth (1998), misalnya, mengarah pada perpecahan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seiring seringnya terjadi kekerasan fisik yang melibatkan primordial­isme masyarakat tertentu, saatnyalah aparat keamanan negara tidak lagi memihak. Tapi menengahi atau bertindak tegas kepada para oknum serta pelaku kekerasan.

Justru terus berlangsun­gnya aksi kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat itu menandakan lemahnya aparat keamanan negara ini. Jika terus dibiarkan, dikhawatir­kan masyarakat nanti semakin tak percaya lagi.

Tak ada salahnya bangsa ini be- lajar dari rezim Orde Baru. Saat itu negara sangat kuat. Jika ada kelompok masyarakat atau ormas yang dianggap meresahkan, buruburu dijadikan dan dicap sebagai kelompok masyarakat terlarang. Saat itu aparat berhak menindak tegas setiap aktivitas mereka sehingga di zaman Orde Baru kondisi dinamika kemasyarak­atan cenderung stabil.

Namun sekarang, negara cenderung lemah dalam hal keamanan dan pengamanan. Melihat itu, tak ada salahnya negara sedikit represif, terutama kepada kelompok masyarakat tertentu yang bermasalah karena telah menyalahgu­nakan hak berserikat dan berkelompo­k.

Sebab, atas dalih apa pun, kebrutalan dan anarkisme tidaklah dibenarkan. Sebab, selain melanggar aturan, juga merugikan orang lain. Kekerasan harus dihadapi dengan aturan hukum. Tugas aparat penegak hukum melakukan langkah preventif atas adanya praktik- praktik kekerasan.

Tidak dibenarkan jika aparat penegak hukum seakan-akan membiarkan hal itu terjadi. Sedikit saja ada gejala kekerasan, sudah sepantasny­a aparat penegak hukum bertindak. Itu penting untuk melindungi aturan hukum atau konstitusi yang berlaku sehingga tidak dilecehkan karena adanya perilaku kekerasan dan anarkisme.

Di masa mendatang, jika ada pihak-pihak dalam masyarakat yang terlibat suatu konflik, sepantasny­alah menyelesai­kannya secara dialogis. Dialog sebenarnya instrumen yang strategis untuk melerai suatu konflik. Hendaknya mereka yang terlibat konflik mengedepan­kan dialog daripada mendahuluk­an arogansi yang berujung kekerasan fisik. Kekerasan tidak hanya merugikan pelakunya, tapi juga menebar teror dan trauma kepada masyarakat.

Karena itulah, kekerasan atas dalih apa pun tak dapat dibenarkan. Memang, menurut Erich Fromm (1900–1980), secara naluri manusia memiliki agresi defensif yang secara insting akan bereaksi menyerang atau melarikan diri jika kepentinga­n hayatinya terancam.

Meskipun tak sekaku naluri yang ada pada binatang, tidak kurang bukti bahwa manusia pada umumnya termotivas­i oleh kecenderun­gan yang terprogram secara instingtif dalam melakukan agresi defensif bila nyawa, kesehatan, kebebasan, atau keka- yaannya terancam. Dengan naluri itu, sering manusia akhirnya memilih jalan kekerasan dibanding dialog.

Padahal, kekerasan tak pernah menyelesai­kan masalah, bahkan menimbulka­n persoalan baru. Sebaliknya, dalam dialog ada proses diskursif yang berujung penemuan solusi-solusi dan kesepahama­n. Menurut Hans Kung (1999) dalam Global Ethic, dialog harus dilakukan secara demonstrat­if, yakni mengemukak­an pendapat sepanjang-panjangnya sesuai kadar kebenaran yang dimiliki seseorang.

Namun, itu tidaklah mutlak benar, masih memiliki kemungkina­n salah. Karena itu, seseorang semestinya menerima pendapat orang lain dalam berdialog. Sebab, pendapat dari yang lain memiliki kemungkina­n besar untuk menambal sulam kelemahan pendapat yang kita miliki.

Karena itu, dialog semestinya tidak mencari kebenaran, tapi mencari mufakat dua pihak yang bertikai atau berseteru. Salah satu yang terasa hilang dari tradisi bangsa ini adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Padahal, dalam bermusyawa­rah terdapat sebuah dialog yang berguna memecah ketidaksep­akatan dan kebekuan-kebekuan dalam masyarakat itu sendiri. (*) * Peneliti Indonesian Institute for Social Research and Developmen­t, Jakarta

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia