Bagi-Bagi Tanah Jokowi
PRESIDEN Joko Widodo menghidupkan ’’langkah besar’’ lagi. Kali ini dia menyebut akan mere distribusikan tanah besar-besaran mulai tahun ini. Kemarin dia menyatakan ada stok 12,7 juta hektare tanah yang akan diberikan kepada masyarakat adat maupun warga di sekitar hutan. Yang sudah benar-benar dilakukan, 12.544 hektare diberikan untuk masyarakat adat dengan 5.712 kepala keluarga.
Sebagai lulusan fakultas kehutanan, Jokowi semestinya paham bahwa masyarakat adat dan warga sekitar hutan kerap disingkirkan. Hukum adat tak cukup memadai untuk melindungi hak mereka. Malahan, orang-orang berduit dari kota dengan bekal secarik surat izin bisa ’’bebas’’ mengusir orang-orang yang sudah lebih lama bermukim di areal-areal hutan itu.
Kisah pilu ketersingkiran mereka makin menyedihkan karena segelintir orang menguasai berjuta-juta hektare hutan. Kalau kali ini Jokowi menjanjikan redistribusi tanah besar-besaran, untuk mewujudkannya, diperlukan eksekusi yang cermat dan adil. Jangan sampai timbul gejolak dan yang menerima malah bukan orang yang seharusnya paling berhak.
Reforma agraria, yang wujud terpentingnya adalah redistribusi tanah, sebenarnya merupakan cita-cita sejak zaman Bung Karno. Yakni, sejak keluarnya UU No 5/1960 tentang Pokok Agraria. Hal itu ditindaklanjuti dengan PP No 224/1961 yang mengatur pembagian tanah negara demi memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat. Yang lebih baru, ada PP No 11/2010 tentang tanah telantar. Secara aturan hukum, misi besar Jokowi itu sudah cukup kuat untuk dijalankan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga memberikan gambaran pelaksanaan redistribusi tanah tersebut. Sasarannya adalah tanah hak guna usaha (HGU) yang masa berlakunya habis dan tidak mengajukan perpanjangan sehingga bisa ditetapkan sebagai tanah telantar dan jadi tanah cadangan negara. Tanah yang diklaim sudah didistribusikan ke masyarakat berpenghasilan rendah pada 2016 mencapai 123.280 hektare (175 ribu bidang), naik dari 107.150 bidang.
Kalau terus menguat, gerakan redistribusi tanah tersebut tentu akan bisa menjadi solusi bagi banyak persoalan. Tanah pun bisa fungsional untuk alat kesejahteraan rakyat banyak, tidak sekadar dikuasai dan ditelantarkan. Tanah yang kian sempit tak hanya untuk orang yang mampu membeli.
Hal itu juga makin bermanfaat kalau janji sertifikasi tanah besar-besaran terlaksana secara simultan. Bukankah sampai akhir 2016 ada 56 persen lahan yang belum bersertifikat? Tanahtanah semacam itu tak bisa menjadi modal karena tidak bankable.
Semoga gerakan besar redistribusi tanah dan sertifikasi itu bukan cuma omong besar. Seperti yang sudah-sudah. (*)