Bukan Piala Dunia untuk Semua
PERNYATAAN menarik dilontarkan Gianni Infantino sepekan lalu (10/1). ’’Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita hidup di abad ke-21 dan kita harus membuat format Piala Dunia abad ke-21.’’ Masalahnya, apakah Piala Dunia 2026 yang akan melibatkan 48 kontestan adalah format Piala Dunia yang cocok untuk masa depan?
Infantino yang belum genap setahun memimpin FIFA itu seolah melakukan apa yang tidak dilakukan selama 17 tahun 122 hari di era Sepp Blatter, pendahulunya. Setelah upaya membuktikan bahwa Piala Dunia bisa dihelat di tempat yang ekstradingin (Rusia 2018) maupun superpanas (Qatar 2022), kini sasarannya adalah ekspansi kontestan.
Mengeruk uang, khususnya pemasukan berlipat dari hak siar televisi, memang sempat dituding sebagai motif. Tapi, bagi sebuah otoritas cabor paling populer sejagat yang markasnya belum lama ini diobok-obok polisi federal Swiss karena skandal korupsi, alasan uang mungkin bisa dikesampingkan.
Track record Infantino sebenarnya sudah bisa memberikan gambaran. Pria yang mengaku Interisti –fans Inter Milan– itu bukan hanya pernah berjanji melakukan ekspansi kontestan Piala Dunia dalam kampanye presiden FIFA pada 26 Oktober 2015.
Ketika masih bekerja di UEFA, Infantino adalah inisiator dalam penambahan jumlah kontestan Euro. Dari 16 menjadi 24 tim pada Euro di Prancis tahun lalu yang menjadikan negeri pemain terbaik dunia, Cristiano Ronaldo, sebagai kampiun. Lawyer alumnus Universitas Fribourg itu juga menjadi bagian dari ide Euro 2020 berlangsung dengan 13 negara menjadi host.
Piala Dunia 2026 pun tak luput dari tuduhan konspirasi terkait status tuan rumah. Amerika Serikat (AS) disebut sebagai pihak yang bakal diuntungkan karena kesempatan menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2026. Terlepas ada kebijakan FIFA untuk menggilir jatah host (untuk Piala Dunia 2026 memang mengarah ke CONCACAF setelah Eropa/UEFA dan Asia/AFC tidak boleh mengikuti bidding).
Okelah AS sudah sepakat maju bersama dua negeri jiran mereka, Kanada dan Meksiko. Tapi, Presiden Federasi Sepak Bola AS (USSF) Sunil Gulati juga menyatakan bahwa negerinya Donald Trump itu siap sekalipun maju sebagai single host. Gulati bahkan menyombongkan diri bahwa tidak banyak negara yang memiliki infrastruktur memadai untuk menghelat paket 80 pertandingan selevel Piala Dunia seorang diri. Sebab, bukan hanya stadion bagus dan besar, melainkan stadion pendamping sebagai venue latihan plus akomodasinya.
Piala Dunia 2010 Afsel, misalnya. Tim selebriti macam Inggris dipaksa bermarkas di kota tambang nan kecil, Rustenburg. ’’Apakah di Rustenburg ada hotel?’’ tanya salah seorang jurnalis televisi Inggris kepada saya di tempat hotel kami menginap di Johannesburg. Steven Gerrard yang menjadi kapten Three Lions di Afsel dalam bukunya, My Story, juga mengungkapkan keluhan rekan setimnya karena harus berjalan 50 yard untuk sekadar massage.
Jika berpikirnya secara pragmatis, AS tentu lebih suka lolos ke Piala Dunia dengan cara instan (sebagai host). Infrastruktur sudah tersedia dan komplet. Buat apa capek-capek berjuang dari kualifikasi yang menyita waktu dan melelahkan. Meski, CONCACAF sebenarnya juga bukan zona dengan persaingan ketat kalau dibandingkan dengan Asia dan Eropa.
Bersama Meksiko dan Kosta Rika, USMNT –sebutan timnas AS– adalah langganan lolos dan selalu menjadi peserta Hexagonal (fase terakhir kualifikasi zona CONCACAF). Bahkan, mengacu proyeksi format kualifikasi untuk Piala Dunia 2026, CONCACAF bisa mengirim enam atau tujuh tim ke putaran final. Itu artinya, semua yang lolos ke He- xagonal bakal otomatis lolos.
Itu juga berarti buruk bagi USMNT karena mereka tidak akan tertempa dalam kualitas kompetisi yang bagus. Sempat mengemuka ide bahwa FIFA akan melakukan merger kualifikasi Piala Dunia antara CONCACAF dan Conmebol sehingga yang lolos nantinya 12– 13 tim. Bukan sesuatu yang asing mengingat AS malah dipercaya sebagai tuan rumah Copa America Centenario tahun lalu. Meksiko malah jadi undangan tetap Copa America dalam sepuluh edisi terakhir (sejak 1993).
Bukan hanya level timnas, ide merger juga mulai merambah level klub. Liga Champions CONCACAF bakal dilebur dengan Copa Libertadores atau Copa Sudamericana. Kalau itu akhirnya terjadi, FIFA bakal makin menunjukkan ketidakkonsistenan mereka.
Perlu dicatat, ’’alasan sepak bola’’ yang dikemukakan Infantino dalam Piala Dunia 2026 diikuti 48 negara adalah bahwa olahraga yang diklaim bisa meningkatkan hormon testosteron sebesar 29 persen saat menontonnya itu harus lebih global dan tidak seharusnya menjadi milik Eropa dan Amerika Latin. Alasan yang tidak klik kalau melihat format yang diterapkan FIFA dalam ajang FIFA Club World Cup atau Piala Dunia Antarklub.
Di ajang yang biasanya dihelat setiap akhir tahun itu, wakil dari Eropa dan Amerika Latin mendapatkan privilege. Pada edisi pertama (2000) di Brasil, semua kontestan masih dipo- sisikan sama karena setiap wakil dari enam konfederasi memulai turnamen di fase grup.
Tapi, pada edisi kedua (2005) sampai edisi terakhir yang dimenangi Real Madrid akhir tahun lalu, FIFA menggunakan format yang memanjakan klub Eropa dan Amerika Latin. Klub dari dua konfederasi itu lolos otomatis ke semifinal. Artinya, hanya dua kali tanding, mereka sudah bisa mengangkat trofi.
Yang tidak enak wakil Oseania seperti Auckland City. Klub Selandia Baru itu adalah partisipan tersering. Delapan kali lolos, termasuk enam edisi terakhir. Tapi, hanya sekali mereka menembus semifinal atau pada edisi 2014. Itu pun mereka sudah melakoni sampai laga ketiga.
FIFA Club World Club tak ubahnya hanya format baru dari Intercontinental Cup. Yakni, single match antarjuara Liga Champions Eropa dan Copa Libertadores pada periode 1980 sampai 2004.
Piala Dunia memang kompetisi tertinggi yang menjadi tujuan setiap timnas di kolong jagat ini. Tapi, dengan kontestan lebih banyak di putaran final, persaingan sejak akar rumput semakin ketat. Di Asia Tenggara, misalnya, persaingan semakin rata. Kamboja saja sudah dua ranking di atas Indonesia. Kalau tidak ada pembenahan serius dan program jangka panjang, bukan tidak mungkin Indonesia adalah negara yang dalam hajatan Piala Dunia lebih sibuk mengirim medianya meski timnas mereka tidak berpartisipasi. (*)