Sempat Minder karena Kalah Jangkung
Semangat Aditya David Wirawan dalam berkompetisi patut diapresiasi. Bocah 14 tahun peraih medali emas International Junior Science Olympiad (IJSO) itu tidak pernah berpuas diri. Aditya malah seperti ’’ketagihan’’ berlomba di ajang internasional.
ADITYA David Wirawan masih ingat betul perjuangan kerasnya dalam meraih medali emas di ajang International Junior Science Olympiad (IJSO). Prestasi tersebut merupakan kado terindah tutup tahun yang dia persembahkan untuk orang tua, sekolah, dan negerinya. Sampai saat ini pun, siswa kelahiran Surabaya itu masih bisa merasakan kebahagiaan atas prestasi yang diraihnya.
Sering kali Aditya tersenyum sendiri mengenang masa karantina yang dijalani. Kekompakan dengan tim yang dilalui sampai dengan usaha kuatnya untuk bisa hidup mandiri. Jauh dari orang tua yang selama ini mendampinginya. ”Biasanya tidak pernah pisah. Apalagi jauh dari rumah,” ucap Aditya seraya memandang ibunya, Yulinda Wirianta.
Aditya begitu dekat dengan keluarga. Terutama Yulinda. Sebagai seorang ibu, Yulinda pun paham dengan segala perkembangan dan aktivitas anaknya. Termasuk jadwal belajar dan target Aditya ke depan
Yulinda-lah yang senantiasa menjemput dan mengantar Aditya ke sekolah.
”Sekarang Aditya mempersiapkan diri untuk Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat SMA di bidang biologi,” ucap Yulinda saat menjemput Aditya di sekolah kemarin ( 16/ 1). Rangkaian kegiatan OSN tersebut dimulai pada Februari. Diawali perlombaan Olimpiade Sains Kota (OSK). Yang lolos akan maju ke Olimpiade Sains Provinsi (OSP) dan puncaknya bertarung kembali di OSN pada Mei.
Aditya begitu semangat mempersiapkan diri. Siswa kelas IX SMP Kristen Petra I Surabaya itu berharap menang dalam kompetisi tersebut. ”Targetnya ingin kembali dipercaya mewakili Indonesia dan mendapat medali di International Biology Olympiad (IBO),” kata anak kedua dari dua bersaudara itu terus terang.
Untuk bisa mencapai target dalam kompetisi sains internasional tersebut, Aditya harus mendapat medali dari OSN SMA bidang biologi. Sebab, hanya yang juara yang bisa memperoleh tiket mengikuti pelatihan dari Kemendikbud dalam mempersiapkan kompetisi IBO. Mulai sekarang, dia mempersiapkan amunisi dalam ”perang” ilmu pengetahuan tersebut.
Setidaknya, ada lebih dari sepuluh buku yang harus dipelajari. Mulai biologi umum, anatomi dan fisiologi hewan, hingga biosistematika. Buku-buku tersebut senantiasa menemani hari-hari Aditya. Selama sekitar dua bulan, dia harus melahap semua materi itu.
Bocah berkacamata tersebut tidak pernah merasa terbebani dengan banyaknya materi yang harus dipelajari. Sebaliknya, dia begitu bersemangat. Apalagi, dia dipercaya mewakili sekolah untuk berkompetisi dengan kakak kelas yang sudah SMA.
Aditya memilih ikut OSN bidang biologi di SMA karena selaras dengan cita-citanya. Siswa yang gemar membaca itu ingin menjadi dokter. Setelah lulus SMA, dia berencana menempuh pendidikan di fakultas kedokteran. Dia ingin menimba ilmu di Universitas Airlangga (Unair) atau Universitas Indonesia (UI).
Aditya mengaku senang bisa berpartisipasi dalam beragam kompetisi. Bagi dia, berlomba merupakan hal yang nagihi. Ilmu, bagi dia, adalah candu yang terusmenerus harus dipelajari. Meski, pelajaran yang harus dicermati tidaklah mudah. ”Waktu di IJSO, harus belajar semua. Fisika dan kimia juga. Bukan hanya biologi,” ucap Aditya bersemangat.
Perjalanan Aditya untuk bisa meraih prestasi di ajang tersebut memang membutuhkan perjuangan keras. Sebelum bisa menjadi peserta IJSO yang mewakili Indonesia, dia harus berkompetisi di tingkat OSK, lalu OSP, dan terakhir di OSN bidang IPA. Pada Mei 2016, Aditya berhasil meraih medali perak dalam kompetisi OSN di Palembang.
Atas prestasi tersebut, dia berhak masuk tim yang akan maju di perlombaan IJSO. Ada 30 anak peraih medali emas, perak, dan perunggu. Selama dua pekan mereka harus menjalani pelatihan pertama di Bandung. Dalam kurun waktu tersebut, Aditya dan rekanrekan diberi materi pelajaran.
Pada akhir pelatihan, mereka juga sering diminta menjawab pertanyaan. Kemampuan masing-masing peserta tiap minggu dievaluasi. Tiap pekan peringkat mereka dipasang di papan pengumuman. ”Setelah pelatihan dua minggu, dari 30 anak dieliminasi menjadi 15 anak,” lanjut bocah yang senang mengonsumsi buah itu.
Aditya pun sempat sedih. Sebab, dia harus berpisah dengan sebagian tim yang sudah dekat dengannya seperti keluarga sendiri. Namun, kesedihan tersebut tidak berlarut. Aditya tetap berfokus pada ajang yang diikuti. Dia terus melaju ke tahap pelatihan kedua di kota yang sama sampai pada pelatihan ketiga yang diadakan di Depok.
Setiap hari Aditya dan peserta lain mengerjakan tes. Yang paling melelahkan adalah pelatihan tahap ketiga. ”Mengerjakan empat tes dalam waktu sehari,” ucap Aditya sambil membetulkan letak kacamatanya. Meski melelahkan, Aditya sangat puas. Apalagi, dia selalu mendapat peringkat tinggi.
Sampai akhirnya, dia lolos menjadi salah seorang peserta IJSO yang mewakili Indonesia. Juga, bisa menyumbangkan medali emas dalam kompetisi tersebut. Total peserta IJSO dari Indonesia sebanyak 12 orang. Kompetisi yang berlangsung pada 2–11 Desember di Bali itu merupakan penyelenggaraan ke-13 kalinya. Jumlah pesertanya sebanyak 276 orang dari 48 negara.
Aditya mendapat medali emas dengan perolehan skor 94,33. Selain Aditya, ada empat peserta yang memperoleh medali emas. Yakni, Nixon Wijaya (skor 95,35), Epafroditus Kristiadi Susetyo (skor 95,05), Winston Cahya (skor 94,25), dan Albert Sutiono (skor 92,53).
Bagi Aditya, pelatihan telah membuat mentalnya sangat kuat. Dia terbiasa bersaing dengan sehat antar sesama peserta yang merupakan siswa dan siswi terbaik dari Indonesia. Dia juga merasa kemandiriannya meningkat. Bukan saja jauh dari orang tua yang membuatnya kuat. Tapi, juga kemandirian dalam belajar.
Aditya paham kapan waktu belajar yang nyaman untuknya. Dia tidak pernah memforsir diri atau ngoyo dalam belajar. Saat berada di tempat training center, Aditya belajar tanpa beban. Dia tidak pernah melekan sampai dini hari. Paling malam, pukul 23.00 dia sudah beristirahat.
Aditya benar-benar mempertimbangkan kemampuan otak dan kekuatan badan. Tidak sekadar menguras kemampuan tanpa memikirkan kesehatan. ”Biasa saja belajarnya,” ucap siswa yang pernah menjadi ketua OSIS 1 SMP Kristen Petra I periode 2015–2016 itu.
Meski sudah mempersiapkan mental, Aditya mengaku sempat kaget saat bertemu dengan peserta IJSO dari negara lain. Dia merasa kurang percaya diri dengan tinggi badannya yang tidak sebanding dengan peserta dari Eropa yang menjulang tinggi. Bahkan, Aditya mengira, anak seusianya itu sudah mahasiswa.
”Waktu ketemu di lift, saya tingginya segini,” katanya, lantas tertawa sambil meletakkan tangan kanannya di pundak kiri. Menunjukkan tinggi badannya sepundak peserta dari negara lain dengan ukuran sangat tinggi. Tapi, lamakelamaan Aditnya tidak terpengaruh dengan kondisi fisik tersebut. Apalagi, banyak peserta dari Asia yang tinggi badannya tidak berbeda jauh dengannya.
Justru Aditya ingin membuktikan bahwa kemampuan seseorang tidak bisa diukur dari luar. Apalagi hanya berdasar tinggi badan. Yang penting adalah isi otak dan semangat berkompetisi yang mumpuni. Dengan begitu, mereka bisa menjadi juara sejati.
Pengalaman dalam IJSO itu bakal digunakan Aditya dalam menghadapi IBO. Bahkan, sebagai pemanasan, dia telah mengikuti Brilliant Competition yang diadakan SMAK Penabur Gading Serpong pada 12–14 Januari lalu. Dalam kompetisi tersebut, Aditya maju bersama adik kelasnya, Steven William. Mereka bertarung dengan peserta lain dalam kompetisi bidang fisika dan biologi.
Aditya memang ingin mempersiapkan adik kelasnya untuk berkompetisi dalam berbagai perlombaan. Terutama di tingkat internasional. Dia ingin adik kelasnya memiliki pengalaman berkompetisi seperti dirinya. Hasilnya, mereka berdua keluar sebagai juara pertama.
Langkah Aditya tidak hanya berhenti di situ. Dia masih memiliki banyak mimpi berkompetisi. Citacita untuk berbagi ilmu dengan sesama juga terpatri di hati. Bagi Aditya, ilmu tidak hanya harus dimiliki. Tapi, juga dibagi untuk tujuan mulia. (*/c7/dos)