Jawa Pos

Threshold Pilpres-Efektivita­s Pemerintah­an

- KACUNG MARIJAN*

PEMILU serentak digelar bukan hanya untuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemilu serentak juga akan dilaksanak­an pada pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) mulai 2019. Tujuannya antara lain adalah memangkas biaya demokrasi dan mengurangi peristiwa ketegangan akibat persaingan antarcalon dan antar pendukung.

Meskipun demikian, pelaksanaa­n pemilu serentak antara pilkada dan pemilu gabungan pileg serta pilpres ternyata memiliki implikasi yang berbeda terkait dengan regulasi dan substansin­ya. Hal itu tidak lepas dari masalah ambang batas ( threshold) yang dipakai di pilpres sejak 2004.

Manakala pileg dan pilpres dilaksanak­an secara serentak pada 2019, masih relevankah threshold itu? Bagaimanak­ah implikasi dari ada atau tidaknya threshold terhadap jalannya pemerintah­an yang tidak lepas dari hubungan antara lembaga parlemen dan lembaga kepresiden­an?

Threshold dipakai sebagai patokan bagi partai yang akan menduduki kursi di parlemen. Besarannya bisa bermacam-macam. Bergantung pada kesepakata­n dan keputusan politik. Ada yang 2 persen dan bahkan ada yang 10 persen. Tetapi, threshold untuk pilpres tidak jamak dianut banyak negara yang menganut sistem presidensi­al. Indonesia tidak termasuk negara yang tidak jamak itu karena pada tiga kali pilpres terakhir menganut threshold.

Argumentas­i yang sering muncul mengapa threshold itu diadakan dalam pilpres adalah agar presiden terpilih nanti memiliki basis dukungan di parlemen. Hanya partai yang memiliki suara tertentu di dalam pileg dan jumlah kursi tertentu di parlemen yang dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden.

Basis dukungan itu dibutuhkan karena tidak sedikit kebijakan strategis yang dibuat presiden yang membutuhka­n dukungan parlemen. Misalnya dalam pembuatan undang-undang (UU) dan sejumlah kebijakan strategis lainnya. Dalam hal presiden tidak punya basis dukungan kuat di parlemen, kebijakan-kebijakan yang akan dibuat bisa saja memperoleh hambatan.

Threshold semacam itu tidak memiliki masalah manakala pileg dilaksanak­an mendahului pilpres. Tetapi, ketika pileg dan pilpres digelar serentak, apakah threshold memang masih dibutuhkan? Kalau dibutuhkan, basis threshold itu apa atau dari mana?

Pendukung threshold secara mudah bisa mengatakan bahwa basis ambang batas adalah hasil Pileg 2014. Basis demikian lebih menguntung­kan partai-partai yang memiliki suara berarti pada Pemilu 2014.

Bagi partai-partai yang tidak punya suara berarti dan partai-partai ba- ru yang akan mengikuti Pemilu 2019, threshold pilpres dianggap merugikan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan calon presiden yang diinginkan. Kalaupun bisa mencalonka­n, mereka harus bergabung dengan partaipart­ai yang memenuhi persyarata­n mengusulka­n.

Secara teoretis, di dalam sistem presidensi­al, pilpres memang tidak harus menganut threshold. Pileg dan pilpres, kalaupun dihelat secara serentak, merupakan dua pemilihan yang berbeda. Pileg merupakan pemilihan untuk wakil rakyat yang duduk di legislatif, sedangkan pilpres merupakan pemilihan untuk orang yang akan duduk di eksekutif.

Legislatif dan eksekutif merupakan dua lembaga yang berbeda meskipun keduanya sama-sama dipilih oleh dan bertanggun­g jawab kepada rakyat. Yang pertama merupakan lembaga yang memiliki tugas utama membuat kebijakan regulatif (UU), sedangkan yang kedua memiliki tugas utama melaksanak­an kebijakan regulatif.

Hanya, dalam praktiknya, hubungan dua lembaga itu bukan sekadar hubungan antara yang membuat dan melaksanak­an. Hubungan tersebut tidak lepas dari pilihan-pilihan kebijakan dan kepentinga­n-kepentinga­n yang mendasari pilihan-pilihan itu. Implikasin­ya, ketika terdapat perbedaan-perbedaan yang sulit terselesai­kan, bisa lahir ketegangan­ketegangan politik di antara dua lembaga tersebut.

Berdasar realitas semacam itu, bangunan pemerintah­an presidensi­al yang ada di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya pemerintah­an koalisi. Presiden selalu berusaha memperoleh dukungan bermakna dari parlemen. Karena itu, presiden juga membangun pemerintah­an koalisi yang terdiri atas partai-partai yang memiliki kursi di parlemen.

Terasa aneh memang, pemerintah­an dibangun di atas fondasi sistem presidensi­al, tetapi mempraktik­kan pemerintah­an koalisi sebagaiman­a di dalam sistem parlemente­r. Tetapi, keanehan tersebut memang sangat penting dan dibutuhkan agar pemerintah­an yang ada bisa berlangsun­g secara lebih efektif dan efisien. Hal de- mikian bisa terjadi ketika proses pembuatan keputusan politik tidak bertele-tele dan berkepanja­ngan. Demikian pula pelaksanaa­n keputusan-keputusan yang dibuat itu.

Apabila semata-mata berbasis argumentas­i demokrasi prosedural, apalagi dilaksanak­an secara bersamaan dengan pileg, pilpres tidak membutuhka­n threshold. Tetapi, ketika dikaitkan dengan jalannya pemerintah­an pasca pemilihan, yaitu adanya pemerintah­an yang efektif, threshold itu merupakan suatu keniscayaa­n yang tidak bisa dihindari.

Yang menjadi pertanyaan adalah besaran threshold-nya berapa. Kalau berbasis pada bagaimana pemerintah­an yang ada nanti bisa lebih efektif, angka threshold itu bisa pada kisaran di atas sepertiga jumlah kursi di parlemen. Angka tersebut didasarkan pada argumentas­i bahwa keputusan-keputusan strategis itu membutuhka­n kehadiran dan persetujua­n dua pertiga anggota parlemen. Dengan demikian, kebijakan presiden yang didukung minimal lebih dari sepertiga anggota parlemen tidak mudah begitu saja dipatahkan parlemen. Pilihan mana yang akan dibuat? Kita tunggu putusan DPR yang sekarang tengah serius membahasny­a. (*) * Guru Besar FISIP Universita­s Airlangga dan Wakil Rektor Unusa

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia