Membidik dan Memanusiakan Wisatawan Lansia
TULISAN Suyoto Rais di media ini (16/1) menarik untuk dikembangkan. Dalam tulisannya, Rais memaparkan data lansia di Jepang. Negara tetangga Malaysia, Thailand, dan Filipina memang menjadi pilihan utama lansia Jepang untuk berwisata, bahkan menjadi semipermanen. Indonesia saat ini tengah memulai untuk menarik minat warga lansia Jepang datang ke sini.
Keterkaitan sejarah dengan Jepang dan telah dilewatinya kurun waktu selama hampir 60 tahun persahabatan RI-Jepang seharusnya meningkatkan minat kunjungan wisman Jepang ke Indonesia.
Mereka berasal dari dua kalangan dan generasi yang berbeda. Target pertama adalah kategori office ladies, generasi muda Jepang yang biasanya pelesiran pada akhir pekan ke Bali. Target kedua adalah silver tourism, berusia di atas 60 tahun, yang merupakan pensiunan.
Membidik potensi wisatawan lansia juga dapat dimaknai sebagai kinerja konkret menindaklanjuti komitmen ASEAN Tourism Forum (ATF) yang dirancang pada 2002. Saat itu, hasil ATF merumuskan lima agenda penting bagi kepariwisataan. Pertama, penyediaan fasilitas perjalanan dan menghilangkan ham- batan-hambatan bagi wisatawan negara-negara anggota ASEAN dan tiga negara mitranya (Tiongkok, Jepang, dan Korsel).
Kedua, melakukan program promosi tujuan-tujuan wisata di ASEAN dan tiga mitra negara. Ketiga, menciptakan program untuk bisa mengembangkan sektor pariwisata di negara masing-masing. Keempat, kesepakatan untuk melakukan kerja sama di bidang riset dan pembinaan SDM serta informasi teknologi. Kelima, melakukan kerja sama di bidang promosi investasi usaha di bidang kepariwisataan.
Dalam konteks turisme, memang tidak mudah menarik minat kalangan lansia ( senior traveler) untuk datang ke suatu negara. Namun, kisah sukses Thailand yang menjadi pilihan utama lansia Jepang dapat menjadi pelajaran bagi kita. Peneliti dari National Institute of Development Administration (NIDA) Bangkok mengidentifikasi, di Thailand, senior traveler asal Austria, Jerman, dan Swiss telah mengubah posisi menjadi long stay tourist atau warga permanen, berniat tinggal di Thailand sampai akhir hayat. Mereka tinggal di Chiangmai, Samui, Chonburi, dan Chantaburi (Ashton & Choosri, 2016).
Konteks penting yang menjadi tolok ukur keberhasilan turisme sebuah negara adalah kemampuan mengakomodasi kalangan lansia dalam berwisata hingga mereka merasa aman, nyaman, dan mau datang kembali.
Wajah Indonesia yang ramah dan manusiawi di pentas dunia dapat di representasi kan salah satunya dari sejauh mana kesiapan memanusiakan kaum lansia dan penyandang cacat dalam penyediaan fasilitas publik yang layak dan ramah. Di ranah ini, membidik wisatawan lansia sama halnya dengan perhatian dan penanganan yang serius pada pembangunan fasilitas umum yang semakin ramah bagi mereka.
Di ranah turisme, isu yang sama juga diangkat oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO). Pada perayaan Hari Pariwisata Sedunia 2016, UNWTO mengangkat isu ’’ Tourism Promoting Universal Accessibility”. Sekjen PBB Ban Ki-moon menegaskan, hakhak mendasar dalam berwisata di seluruh dunia harus dipastikan terpenuhi bagi tiga kalangan ini: penyandang disabilitas, kalangan lanjut usia (lansia), dan wisatawan keluarga yang membawa anak kecil. Penegasan itu sekaligus menjadi desakan kepada otoritas di tanah air, khususnya stakeholder industri pariwisata, untuk mengindahkan aspek infrastruktur untuk tiga kalangan wisatawan.
Di Indonesia, implementasi fasilitas publik yang ramah bagi semua kalangan, khususnya yang memiliki keterbatasan fisik dan lanjut usia, diatur dalam U U Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Selain itu, secara umum, regulasi yang mengatur keselamatan pejalan kaki telah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 45 dan 46, misalnya, mengatur tentang fasilitas pendukung seperti trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, serta fasilitas pendukung bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Pa- sal 106 ayat 2 menyatakan, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. Serta, pasal 131 dan 132 berbicara tentang hak dan kewajiban pejalan kaki dalam berlalu lintas.
Di Bandung, ada taman lansia yang digunakan kalangan lanjut usia untuk joging dan berbincang. Di kabupaten/kota lainnya, fasilitas umum untuk lansia juga mendesak untuk diadakan. Aspek detail perlu diperhatikan di tempat-tempat wisata agar benar-benar terasa ’’ at home’’ bagi kalangan lansia. Misalnya, penyediaan fasilitas seperti golf car, shuttle car yang dikhususkan bagi kalangan lansia, termasuk pula untuk penyandang disabilitas, di area objek wisata. Ketersediaan toilet duduk dengan beberapa penyangga di sekelilingnya untuk menopang tubuh penyandang disabilitas, dan kalangan lansia, juga menjadi keniscayaan di setiap objek wisata. Dengan demikian, membidik wisatawan lansia berarti pula memanusiakan mereka dan wisatawan pada umumnya. (*) * Dosen Hotel & Tourism Business Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya