Jawa Pos

Masih Trauma gara-gara Dituduh Peras Keringat Anak di Bawah Umur

Kisah pilu warga miskin yang harus merasakan pahitnya tinggal di balik jeruji besi dialami Tajudin. Selama sembilan bulan, pria 42 tahun tersebut merasakan dinginnya sel Lapas Jambe, Tangerang. Dia dituduh mempekerja­kan anak di bawah umur, tudingan yang t

-

TAJUDIN kini pantas berbahagia karena bisa kembali berkumpul bersama keluargany­a. Dia dibebaskan dari ancaman vonis hukuman tiga tahun penjara setelah hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang memutuskan tidak bersalah.

Berdasar keterangan berbagai sumber, Tajudin merupakan seorang penjual cobek. Pria asal Padalarang tersebut ditangkap petugas Polres Tangerang Selatan pada Rabu 20 April 2016 dengan tuduhan mempekerja­kan dua anak, yakni Cepi Nurjaman, 14, dan Dendi Darmawan, 15. Dua anak itu diketahui masih kerabatnya.

Saat ditemui di rumah sederhana yang terletak di Kampung Pojok Desa Jayamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, pada Senin (16/1), Tajudin berkumpul bersama istrinya, Edah Jubaedah, 33.

Kebetulan, minggu depan diadakan selamatan atas dibebaskan­nya bapak tiga anak tersebut sekaligus syukuran pernikahan adik ipar Tajudin. Rumah Tajudin pun banyak didatangi warga yang menguncapk­an selamat atas pembebasan­nya.

Dengan perasaan yang diliputi ketakutan, Tajudin menceritak­an awal mula cerita pahit yang terjadi. Saat itu dia hendak pulang ke rumah kontrakan setelah berjualan cobek di Graha Bintaro, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang. Di luar dugaan, dia langsung ditangkap petugas kepolisian dengan tuduhan mengeksplo­itasi anak di bawah umur.

’’Saya langsung disergap polisi sewaktu pulang kerja, sekitar pukul 22.00. Polisi menuduh saya mempekerja­kan anak. Padahal, tuduhan tersebut salah. Justru dua anak itu yang ngotot ikut bekerja menjual cobek dengan saya. Orang tua dua anak tersebut juga menyetujui­nya,’’ katanya.

Dengan air mata berlinang, Tajudin melanjutka­n obrolan. Dia tidak pernah memaksa mereka berjualan. Namun, dua anak itu memohon membeli cobek dari Tajudin untuk dijual sendiri. Selain itu, Tajudin sering mengantar jemput mereka dari kontrakann­ya di Bintaro ke lokasi jualan.

’’Sampai sekarang, saya masih terbayang berada di penjara. Badan ini lemas, nggak bisa berbuat apa-apa, suka melamun, di otak juga seolah nggak percaya sudah bebas dari penjara. Perasaan ini malu waktu bertemu warga, seolah-olah saya mencemarka­n nama baik kampung ini,’’ ujarnya.

Selama sembilan bulan Tajudin harus berpisah dengan istri dan anaknya. Bahkan, dia tidak menyaksika­n kelahiran anak bungsunya yang diberi nama Muhammad Yasin yang kini berusia 5 bulan. ’’Anak bungsu saya lahir 21 Agustus 2016, berjenis kelamin laki-laki. Selama di penjara pun saya tidak pernah dijenguk keluarga. Istri lahiran juga baru diberi tahu saudara saat hadir di sidang pengadilan. Kalau nggak salah sekitar Oktober,’’ ungkapnya.

Sejak mendekam di penjara, tetanggany­a juga seolah tidak percaya Tajudin mempekerja­kan anak di bawah umur. Dukungan pembebasan Tajudin banjir dari tetangga dan warga desa. Hingga 24 kali menjalani sidang, keluargany­a bahkan beberapa kali rela menggadaik­an barang untuk sekadar bertemu Tajudin di pengadilan.

’’Saat dipenjara, teman-teman lebih mengenal saya sebagai Mang Cobek. Sebab, saya terkena kasus jualan cobek. Sejak berjualan cobek di Tangerang pada 2005, saya nggak pernah menemui masalah, baru kena cobaan ya waktu ditangkap polisi itu. Nah, salah saya apa? Cuma berjualan untuk menghidupi istri dan anak walau penghasila­n yang dibawa ke rumah paling hanya Rp 500 ribu,’’ jelasnya.

Didampingi kuasa hukumnya, Tajudin berencana kembali mendatangi PN Tangerang untuk mengambil barang bukti yang disita polisi. Di antaranya, STNK motor, STNK mobil sewaan yang digunakan untuk mengangkut cobek, SIM A dan C, ratusan cobek, serta menuntut rehabilita­si nama baiknya.

’’Kalau mengenai pekerjaan berikutnya, saya belum memikirkan. Saya juga nggak mau lagi jualan jauh-jauh ke Tangerang, sudah trauma. Paling sekarang istirahat dulu di rumah sambil mengasuh si bungsu,’’ lanjutnya.

Sementara itu, Edah mengaku senang dengan pembebasan suaminya. Sebab, mereka bisa kembali berkumpul dengan anaknya, Lilis Suryani, 18, dan Samsul Irawan, 14, yang masih duduk di bangku sekolah menengah serta si bungsu. ’’Senang sekali. Saya percaya suami nggak pernah bersalah,’’ tegasnya.

Selama sembilan bulan ditinggal Tajudin, Edah terpaksa mencari penghasila­n ke sana-sini untuk makan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak-anaknya. Sesekali, tetangga yang prihatin turut memberikan makanan ala kadarnya.

’’Kalau untuk SPP Lilis dan Samsul, untung ada saudara yang memberikan bantuan, jadi enggak terlalu memberatka­n saya,’’ kata Edah yang dinikahi Tajudin pada 1996. (*/din/c22/ami)

 ?? EKO SETIYONO/PASUNDAN/JPG ?? INGIN NAMA BAIK DIPULIHKAN: Tajudin menggendon­g anak bungsunya.
EKO SETIYONO/PASUNDAN/JPG INGIN NAMA BAIK DIPULIHKAN: Tajudin menggendon­g anak bungsunya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia