Jawa Pos

Kumpulkan Fakta dari Saksi Sejarah

-

DEMI meracik dialog dan membentuk karakter setiap tokoh, Yosep Anggi Noen dan timnya menelusuri perjalanan Wiji Thukul. Mereka mencari tahu kebiasaan Wiji saat bersama keluarga hingga sikapnya dalam melontarka­n puisi-puisinya di berbagai gerakan massa. Riset itu berjalan selama 1,5 tahun.

Berawal dari literasi karya Wiji Thukul, Anggi melihat bahwa puisi Wiji Thukul bukan hanya puisi protes untuk pemerintah­an masa itu. Puisi sastrawan tersebut juga berisi tentang keseharian­nya. Baginya, membaca puisi-puisi Wiji Thukul seperti membaca catatan harian seseorang tentang rumah sederhana, nasi, roti yang nggak terbeli, dan cerita-cerita tetangga.

Pendekatan bersama keluargany­a memberikan gambaran beberapa hal yang diwariskan sastrawan tersebut kepada anak-anak dan istrinya. Misalnya, sosok Fajar Merah, si bungsu yang menekuni dunia musik bersama Merah Bercerita dan lantangnya suara si sulung Fitri Nganthi Wani. Selain itu, kemandiria­n Sipon –sang istri– terasa saat menunjukka­n benda bergambar suaminya sebagai ingatan bersama.

Selanjutny­a, pencarian berlanjut dengan menelusuri sahabat seperjuang­an Wiji ketika masih di Solo. Termasuk orang yang dikenal Wiji saat melakukan pelarian ke Pontianak. Kawankawan­nya di Partai Rakyat Demokratik seperti Danial Indra Kusuma, Raharja Waluya Jati, Nur Widiatmaka, dan banyak lagi senantiasa menggambar­kan pemikiran Wiji yang lugu tapi kuat.

Lebih menarik lagi, cerita dari Jaap Erkelens, direktur Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkund­e (KITLV). Dialah teman Wiji yang berkebangs­aan Belanda yang kali pertama mengingatk­an publik bahwa Wiji masih hilang. ’’Mereka benar-benar memberikan materi sejarah Indonesia yang tidak akan diberikan siapa pun,’’ terang Yulia Evina Bhara, produser

Setelah mereka mendengar jejak hidup Wiji secara menyeluruh, masa Wiji Thukul yang melarikan diri ke Pontianak dipilih untuk diangkat ke dalam film. Masa itu dipilih karena saat itu merupakan situasi paling krusial yang harus dihadapi Wiji Thukul.

Nggak mau membuang waktu, Anggi dan timnya juga menyusuri Kalimantan Barat untuk mencari orang yang pernah bertemu dengan Wiji. Ada kenalan Wiji, yaitu Stephanus Djueng, Martin Siregar, dan Idawaty, yang bersedia menampung Wiji selama masa buron.

Hingga terkuak fakta menarik bahwa meninggalk­an keluarga bukanlah keinginan seorang Wiji. Dia lari menuju Pontianak bukan karena takut, melainkan demi menyelamat­kan keluargany­a. Dia paham, keluargany­a makin susah jika dirinya masih menetap di Solo pada situasi seperti itu. Tapi, sekitar Januari 1997, Wiji kembali ke Solo untuk menjenguk keluargany­a dan kembali lagi ke Pontianak hingga pergi Jakarta untuk kembali melakukan gerakan. ’’Dari Solo, Jakarta, hingga pedalaman Sanggau di Kalimantan sana, kami beruntung bisa bertemu dengan pelaku-pelaku kunci sejarah ini,’’ tutur Yulia. (pew/c14/ivm)

 ??  ?? Kata-Kata. Istirahatl­ah MEMPERKUAT KARAKTER: Foto atas, Marissa Anita bermain sangat meyakinkan. Dia berhasil menggambar­kan rasa takut Sipon pada masa itu. Kanan, Gunawan Maryanto saat memerankan Wiji Thukul.
Kata-Kata. Istirahatl­ah MEMPERKUAT KARAKTER: Foto atas, Marissa Anita bermain sangat meyakinkan. Dia berhasil menggambar­kan rasa takut Sipon pada masa itu. Kanan, Gunawan Maryanto saat memerankan Wiji Thukul.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia