Jawa Pos

Tugas ke Ambon, Vakum Latihan Selama Lima Tahun

-

Meski begitu, Ery tidak ingin perjuangan­nya kandas begitu saja. Ery mengambil langkah mundur untuk mencari ruang bernapas. Dia memasang wajah seakan pukulan tersebut tidak membuatnya merasa sakit.

’’Bagian dari strategi agar lawan tidak merasa di atas angin,’’ ujarnya. Baku pukul dua petinju makin sengit menjelang detik-detik terakhir. Ery mengeluark­an segenap kemampuann­ya untuk mencari celah. Beberapa kali pukulannya mengenai lawan dengan telak. ’’Saya akhirnya menang angka,’’ jelasnya dengan penuh rasa bangga.

Ery menyebut kejuaraan itu sebagai salah satu momen yang tidak akan terlupakan. Meski, sebelumnya dia beberapa kali memenangi kejuaraan yang berbeda. Sebagai anggota militer, Ery merasa sangat bangga dapat merebut sabuk emas dari kejuaraan tinju yang diprakarsa­i panglimany­a.

Sejak kecil, pria kelahiran 30 September 1985 itu memang akrab dengan olahraga tinju. Ery berlatih sejak masih duduk di bangku kelas III. Saat itu dia menimba ilmu di sasana di kampungnya. Namanya Tinju Muda Boxing Camp (TMBC). ’’Disuruh bapak ikut latihan di sana,’’ ungkap pria asal Jetis, Jogjakarta, tersebut.

Bukan tanpa sebab dia diarahkan untuk berlatih tinju meski usianya masih belia. Usut punya usut, Ery kecil ternyata cukup bandel. Hobi berantem. Saat berkelahi, dia memiliki kebiasaan melempar batu ke lawan. ’’Bapak ingin anaknya ketika berkelahi tidak memakai batu. Berbahaya kalau kena kepala,’’ tuturnya.

Hampir setiap hari, suami Indri Rahmawati itu berlatih di sasana. Ery biasa menjalani latihan sore hari setelah pulang sekolah. Dia hanya libur ketika akhir pekan. Meski harus menjalani program latihan yang cukup berat pada usia belia, Ery merasa enjoy. ’’Waktu masih SD sudah pernah juara. Jadi, juara III kejuaraan amatir nasional kelas 38 kilogram di Jakarta,’’ ungkapnya.

Bakat tinjunya makin berkembang beberapa tahun kemudian. Ery meraih juara I kejuaraan tinju amatir kelas 57 kilogram di Makassar. Sejak saat itu, alumnus SMPN 2 Gamping, Sleman, Jogjakarta, tersebut menjadi langganan juara. ’’Kejuaraann­ya berbedabed­a. Ada yang di Jakarta, Ngawi, Surabaya, dan Malang,’’ terangnya.

Saat duduk di bangku SMA pada 2003, Ery memperoleh kesempatan bertanding di ajang Pra-PON. Ery yang ingin berkarir di dunia tinju tentu tidak ingin menyianyia­kan momentum tersebut. Dia berharap bisa menjadi juara agar dapat mengikuti PON XVI setahun selanjutny­a di Palembang, Sumatera Selatan. Namun, apa daya keinginann­ya harus pupus. Ery yang harus menjalani dua kali pertanding­an untuk bisa mengisi slot ke PON XVI takluk di laga kedua. ’’Sudah menang sekali di pertanding­an pertama. Akhirnya, tidak bisa ikut PON,’’ sesalnya.

Ery marah kepada dirinya sendiri. Bahkan, dia merasa tidak lagi mempunyai semangat untuk bertanding. Di sisi lain, tidak lama setelah Pra-PON berlangsun­g, pendaftara­n TNI-AL dibuka. ’’Saya pilih masuk militer. Daftar di Jogja dan langsung diterima,’’ katanya.

Setelah menempuh pendidikan, Ery ditugaskan Brigif-1 Mar di Surabaya. Siapa sangka, setahun bertugas, dia tiba-tiba menerima perintah dari pimpinan untuk berlatih tinju di Amphibi Boxing Camp. Itulah sasana tinju yang dikelola Brigif-1 Mar. ’’Ikut-ikut kejuaraan dan tetap juara. Materi latihan dari kampung ternyata tidak hilang,’’ ucapnya, lantas tersenyum.

Meski begitu, hobinya dalam memainkan tinju terpaksa berhenti sementara waktu pada 2007. Gara-garanya, Ery harus pindah dinas ke Ambon. ’’Lima tahun di sana dan tidak latihan sama sekali. Balik ke Jatim 2013 gabung kembali ke Brigif-1 Mar. Di sini baru latihan lagi,’’ terangnya. Meski lama tidak naik ring tinju, keahlianny­a bertanding tidak luntur. Buktinya, beberapa kejuaraan nasional kembali direbut Ery.

Ery selalu mengusung gaya counter boxer ketika bertanding. Sebab, teknik itu biasa dimainkan sejak dia berlatih di Sasana TMBC. ’’Konsepnya menunggu lawan memukul untuk mencari celah yang bisa dimanfaatk­an,’’ papar petinju yang mengidolak­an Chris John tersebut. (*/c14/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia