Harapan dan Doa lewat Kaligrafi
SURABAYA – Seni menulis indah menjadi budaya Tiongkok. Namun, semakin sedikit yang menekuni dunia menulis seni kaligrafi itu. Umumnya yang masih melakukannya adalah orang-orang tua. Boby Chen, 29, termasuk segelintir anak muda yang aktif melestarikan seni menulis kaligrafi.
Pemandangan berbeda tampak di pintu masuk The Grand Palace Department Store Grand City Mall kemarin (17/1). Para pengunjung mengantre untuk memesan dibuatkan tulisan kaligrafi berbagai macam bentuk kata yang diinginkan. Tulisan kaligrafi tersebut merupakan doa dan harapan dalam tahun baru Imlek.
Salah satunya, Arni Mamesah. Dia datang bersama dua sahabatnya, Kavelda Yunda dan Pegi Pakiti. ’’ Tadi lihat langsung tertarik,’’ katanya. Arni memesan kaligrafi yang bertulisan Shen Ti Jian Kang. Kalimat tersebut merupakan doa agar selalu diberi kesehatan. ’’Ini untuk saya dan keluarga,’’ ujarnya.
Boby dengan lihai menggerakkan tangannya. Pandangannya fokus ke kertas beras yang digunakan untuk membuat tulisan kaligrafi. Di sampingnya sudah tersedia alat-alat. Antara lain, dua kuas maobi, yakni kuas khusus dari bulu ekor rubah; tinta; dan stempel. Tangan kirinya memastikan letak kertas tertata dengan benar.
Kalau diperhatikan sekilas, menulis kaligrafi tampak mudah. Apalagi bagi orang yang sudah mempelajari huruf Tiongkok dengan baik.
Hal tersebut langsung ditepis Boby. Dia mengungkapkan, dirinya membutuhkan waktu 6 tahun untuk mempelajari seni menulis shufa. Menurut dia, kaligrafi tidak sekadar menuliskan huruf Tiongkok ke kertas. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Keindahan huruf harus menjadi perhatian.
’’Apalagi, ini biasanya untuk doa dan harapan. Jadi, setiap warga Tionghoa memperhatikan dengan baik,’’ ujar pria kelahiran 30 September 1987 tersebut. Salah satunya soal tebal tipisnya huruf. Dalam satu kata maupun huruf, ketebalan garis bisa berbeda-beda. (bri/c5/jan)