Jokowi Anggap Demokrasi Indonesia Kebablasan
MUI Khawatirkan Ketidakadilan Hukum
BOGOR – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengomentari tensi politik nasional yang belakangan memanas. Dia beranggapan demokrasi yang berkembang akhir-akhir ini sudah tidak pada tempatnya. Akibatnya, banyak hal yang berpotensi merusak nilai-nilai demokrasi tersebut.
Jokowi lantas memberikan solusi berupa penegakan hukum yang tegas sehingga tidak ada yang berani menyimpang dari tatanan demokrasi. Pernyataan itu disampaikan Jokowi saat menghadiri pengukuhan pengurus DPP Partai Hanura di Sentul International Convention Center (SICC), Sentul, Bogor, kemarin (22/2).
Dia mengaku dalam beberapa hari ini telah menerima banyak pernyataan serupa yang intinya menanyakan apakah demokrasi Indonesia sudah terlalu bebas. ’’Saya jawab, iya. Demokrasi kita sudah terlalu kebablasan,’’ ujarnya
Kebencian, fitnah, kabar bohong, saling memaki, saling menghujat, ini kalau kita terusteruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita.” JOKO WIDODO Presiden RI
Ketika mengucapkan kalimat ”demokrasi yang kebablasan” itu, nada bicara Jokowi langsung menurun. Padahal, beberapa saat sebelumnya, dia dengan bersemangat meyakinkan bahwa bangsa Indonesia masih bersatu.
Bahkan, awalnya dia sempat memuji gaya pidato Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang yang segar dan diselingi canda sehingga membuat dirinya tertawa lepas saat mendengarnya. Nada bicara yang menurun itu cukup khas karena sering muncul saat Jokowi mengungkapkan kekecewaannya.
Meski demikian, Jokowi tampak berupaya menutupi nada kecewa tersebut. Setelah mengambil jeda sesaat, dia menyampaikan solusi untuk mengimbangi demokrasi yang kebablasan melalui penegakan hukum.
Menurut dia, praktik demokrasi yang dilaksanakan Indonesia saat ini membuka peluang munculnya artikulasi politik yang ekstrem. Misalnya, liberalisme, fundamentalisme, sektarianisme, radikalisme, hingga terorisme. Praktik-praktik politik itu jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Dia memberikan contoh nyata yang terjadi belakangan ini. Salah satunya politisasi isu SARA. ”Ke- bencian, fitnah, kabar bohong, saling memaki, saling menghujat, ini kalau kita terus-teruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita,” lanjut mantan wali kota Solo itu. Perilaku-perilaku tersebut, kata dia, bisa membuat tenaga dan pikiran seluruh elemen bangsa terbuang sia-sia.
Akibatnya, lanjut Jokowi, kewajiban untuk menyejahterakan rakyat berpotensi dilupakan karena sibuk mengurusi hal-hal tersebut. Karena itu, untuk mengimbangi demokrasi yang kebablasan, satu-satunya cara adalah penegakan hukum. Aparat hukum harus tegas dan tidak boleh ragu dalam menangani persoalan.
Meski demikian, Jokowi juga meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia masih utuh. ”Bangsa kita masih bersatu,” tegas presiden 55 tahun itu.
Dia mengingatkan, Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk. Kemajemukan itu sudah lama menjadi ciri khas serta identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan tidak akan hilang.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) menilai, saat ini ruang demokrasi cenderung disalahgunakan. Imbasnya, keberagaman mengalami tantangan kuat. ”Akhir-akhir ini muncul sumpah serapah, saling fitnah disertai rasa amarah,” ungkapnya. Menurut dia, sikap semacam itu perlu segera disudahi.
Pada bagian lain, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) membahas ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka menilai, selain komunisme, ketidakadilan ekonomi dan hukum patut menjadi perhatian pemerintah. Menurut mereka, dua permasalahan itu menjadi ancaman lantaran bisa memutus eksistensi bangsa.
Ketua Wantim MUI Din Syamsuddin mengungkapkan, komunisme serta ketidakadilan ekonomi dan hukum menjadi ancaman nyata. Dia sangat berharap ancaman tersebut tidak dianggap remeh. ”Karena ancaman itu bukan ilusi, tapi fakta. Bukan wacana, tapi realitas,” ungkap Din setelah memimpin rapat pleno ke-15 Wantim MUI di gedung MUI, Jakarta, kemarin.
Wakil Ketua Wantim MUI Didin Hafidhuddin berpendapat sama. Menurut dia, dua poin hasil rapat pleno Wantim MUI patut menjadi perhatian pemerintah. Soal ke tidak adilan ekonomi dan hukum, misalnya. Sangkaan yang dituduhkan penegak hukum kepada beberapa ulama menjadi bukti. ”Masih ada ketidakadilan hukum,” ungkapnya. (byu/bay/syn/c5/agm)