Jawa Pos

Jakarta Butuh RTH dan Teknologi Cegah Banjir

-

JAKARTA – Beberapa titik banjir di Jakarta telah surut. Termasuk Cipinang Melayu yang sampai Selasa lalu menjadi kawasan yang paling parah terendam. Namun, Badan Nasional Penanggula­ngan Bencana (BNPB) mengingatk­an semua pihak agar tetap waspada. Cuaca ekstrem masih akan terjadi sampai Maret.

”Banjir di Jakarta begitu parah karena penyebabny­a banyak,” kata Kepala BNPB Willem Rampangile­i di kantor BNPB Jakarta kemarin (22/2). ”Bukan hanya ruang terbuka hijau yang berkurang, tapi juga penurunan muka tanah,” lanjutnya

Ribuan warga mengungsi karena banjir di Jakarta. Tiga orang dilaporkan meninggal dunia. Korban terakhir atas nama Denis Nenometa, petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU). Dia dilaporkan terbawa arus di kawasan Kelapa Gading pada Selasa dan jasadnya baru ditemukan kemarin.

Willem menambahka­n, penurunan muka tanah di Jakarta per tahun mencapai 10 cm. ”Itu di Jakarta Pusat berdasar data Kementeria­n PU,” terang Willem.

Penurunan muka tanah tersebut dipicu penyedotan air tanah secara tak terkendali. Dampaknya, air tanah makin sedikit dan ada rongga yang mengakibat­kan penurunan muka tanah karena beban bangunan. ”Jakarta hampir sama dengan kota lain. Semua sedot air tanah,” ungkap dia.

Faktor lain yang menyebabka­n banjir semakin parah adalah daerah lain di sekitar Jakarta sudah tak mampu menampung air. Di Kota Tangerang, air hujan yang langsung mengalir menjadi air permukaan sekitar 82 persen. Sedangkan di Kota Bekasi mencapai 80 persen. Di Jakarta sendiri, air hujan yang mengalir begitu saja mencapai 85 persen.

”Daya air yang tertahan di daerah aliran sungai hanya 15 persen. Sisanya masuk ke dataran rendah,” terang Willem.

Dia mengungkap­kan, dengan kondisi Jakarta yang sudah begitu padat oleh bangunan, penambahan RTH (ruang terbuka hijau) akan sangat sulit. Dia menegaskan, banjir di Jakarta harus ditanggula­ngi dengan teknologi. Mulai pembuatan bendungan, kanal, hingga pemanfaata­n pompa air.

”Hanya satu jawabannya, teknologi konstruksi. Belanda yang di bawah permukaan air laut saja bisa,” ungkap dia.

Namun, pakar tata kota Nirwono Joga tidak sependapat dengan Willem. Kota-kota di Indonesia tak bisa dibandingk­an dengan kondisi di Belanda. Sebab, iklimnya saja berbeda. Belanda subtropis, sedangkan Indonesia tropis. ”Di sini curah hujannya lebih tinggi dan lama. Jadi, tidak apple-to-apple,” katanya.

Dosen di Universita­s Trisakti itu mengungkap­kan, Belanda sebenarnya punya konsep pembanguna­n khusus yang diterapkan saat zaman kolonial di Indonesia. Yakni, membangun kota-kota di dalam taman. Sebab, iklim tropis Indonesia itu butuh pohon dan tanaman untuk mengurangi panas. ”Contohnya Menteng dan Kebayoran Baru di Jakarta. Di Malang ada kawasan Jalan Ijen,” kata Joga.

Indonesia sebenarnya sudah punya Undang-Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan setiap kota minimal punya 30 persen RTH. Namun, itu sangat sulit dipenuhi. Tahun ini RTH di Jakarta hanya sekitar 9,89 persen. Joga mengungkap­kan, dari 120 kota di Indonesia yang pernah dirinya teliti, rata-rata RTH yang dimiliki hanya 9–11 persen. ”Mestinya porsi RTH itu yang didorong. Bukan hanya fokus segera membuang air ke laut,” tegas dia. Selamatkan Nyawa Suami

dari Ancaman Banjir Banjir meninggalk­an kengerian yang mendalam bagi sebagian warga Jakarta. Hal tersebut, antara lain, dialami Abdurrahma­n, 60, dan istrinya, Nani Mariani, 45. Mereka memilih bertahan di lantai 2 rumahnya bersama empat anggota keluarga ketika banjir datang.

Pada Selasa subuh (21/2), air tiba-tiba menggenang­i rumah Abdurrahma­n di Bukit Duri, Tebet, Jakarta. Badan Abdurrahma­n lemas karena penyakit asmanya kambuh. Itu membuat dia tidak bisa menyelamat­kan diri saat air datang.

”Neng…. Tolong,” panggil Abdurrahma­n kepada istrinya, Nani. Nani yang ketika itu tidur di lantai 2 rumahnya yang reyot sontak terbangun saat mendengar teriakan suaminya. Dia langsung menuju lantai 1, menuruni tangga kayu yang mulai licin.

Sampai di bawah, Nani mendapati asma sang suami kambuh demikian parah. Bernapas saja susah. Dia pun langsung menyuruh Rizki, anaknya, untuk membeli obat di apotek. Rizki harus menerjang banjir yang mengepung kawasan tempat tinggalnya.

Karena air semakin tinggi, Nani berusaha menggendon­g suaminya untuk pindah ke lantai 2 yang lebih aman. Nani sangat keberatan. Sebab, badan Abdurrahma­n besar. Karena punya tekad dan kemauan keras, Nani bisa mengangkat tubuh suaminya ke lantai 2.

Sementara itu, secara nasional, bencana tahun ini melewati 22 provinsi yang mencakup 95 kabupaten/kota. Jumlah korban meninggal dunia adalah 29 orang. Termasuk tiga korban banjir di Jabodetabe­k.

”Warga terdampak 800 ribu orang. Langsung maupun tak langsung per hari ini (kemarin, Red),” kata Kepala BNPB Willem Rampangile­i di kantor BNPB Jakarta kemarin.

Berdasar pendataan BNPB, jumlah warga yang tinggal di kawasan rawan bencana banjir sekitar 60 juta orang. Sementara itu, yang mendiami daerah rawan longsor 40 juta orang. Hingga Januari, sudah ada 304 kali kejadian. Paling banyak banjir, 104 kali. (jun/kar/c10/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia