Bikin Perppu Intip Rekening Nasabah
JAKARTA – Pemerintah bakal mencari cara agar partisipasi Indonesia dalam kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI) tahun depan bisa berjalan mulus. Salah satunya, menyiasati aturan mengenai kerahasiaan data nasabah
Dengan begitu, Ditjen Pajak bisa mendapat akses terhadap datadata nasabah yang diperlukan.
Presiden Joko Widodo kemarin (22/2) menggelar rapat terbatas untuk mempersiapkan pemberlakuan AEoI pada September 2018. Dia meminta jajarannya memanfaatkan betul momen AEoI untuk memperbaiki sistem informasi keuangan. ”Terutama sistem informasi perpajakan,” ujar Jokowi.
Sudah saatnya Indonesia membangun database perpajakan yang lebih baik. Target utamanya tentu saja peningkatan tax ratio. Dengan demikian, masyarakat bisa terdorong untuk lebih rela membayar pajak. Selain itu, mencegah potensi penghindaran maupun penggelapan pajak. ”Saya minta Menkeu dan Menkum HAM menyiapkan regulasi yang diperlukan untuk mendukung implementasi pertukaran informasi ini,” tambahnya.
Menjawab keinginan presiden itu, Menkum HAM Yasonna H. Laoly menyatakan, pihaknya harus membuat regulasi dalam waktu singkat. Bila harus menunggu pembahasan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pajak Penghasilan pada Mei mendatang, waktunya tidak akan cukup. ”Ada pikiran membuat perppu karena ini sangat penting,” ujarnya.
Perppu tersebut nanti mencakup aturan tentang cara mengimplementasikan AEoI secara mulus. Bila tidak dilakukan, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara anggota G20 yang tidak mengimplementasikan AEoI. ”Padahal, menurut OJK, untuk orang asing saja, informasi perbankannya harus terbuka,” lanjut politikus PDIP itu. Rencananya, hari ini pihaknya membahas rancangan perppu tersebut.
Menkeu Sri Mulyani menyatakan, AEoI sudah disepakati 101 negara untuk dilaksanakan. Masing-masing negara akan saling memberikan informasi perpajakan sehingga peluang penghindaran oleh wajib pajak semakin kecil. Indonesia harus mempersiapkan sejumlah hal agar bisa mengambil manfaat dari AEoI. Salah satunya adalah regulasi.
Mengapa regulasi? Dia menyatakan, hal itu disebabkan masih adanya persoalan pelik dalam aturan perbankan Indonesia. ”Pasal kerahasiaan nasabah masih ada,” terangnya. Pihaknya bersama Kemenkum HAM akan berupaya memasukkan sejumlah pasal untuk memudahkan akses terhadap data nasabah tersebut. Dengan demikian, Indonesia bisa dinyatakan memenuhi syarat AEoI.
Sri mengingatkan, tahun depan diharapkan tidak ada lagi cerita nasabah yang menghindari pajak. Di negara mana pun dia berada, baik Eropa maupun Amerika, dia akan menjadi subjek AEoI. Sebab, negara-negara itu saat ini sudah menjadi bagian dari kesepakatan AEoI.
Keterbukaan data nasabah terkait dengan AEoI sebenarnya sudah diantisipasi otoritas di dalam negeri. Meski AEoI baru diterapkan pada 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun ini telah mempermudah Ditjen Pajak mengakses data nasabah melalui platform Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (Akasia). Akasia tersambung dengan sistem pengajuan pembukaan data rekening bank milik OJK. Namanya Aplikasi Buka Rahasia Bank (Akrab).
Dengan Akasia, pengajuan pembukaan data rekening bank lebih singkat, yakni seminggu hingga 30 hari. Sebelum ada Akasia, pengajuan pembukaan data rekening itu memakan waktu sampai 239 hari. Keterbukaan tersebut dilakukan kepada nasabah bank yang bermasalah dengan urusan perpajakan. Karena itu, bagi nasabah bank yang seharusnya mengikuti tax amnesty tapi tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, data rekening simpanannya akan diintip Ditjen Pajak.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo menegaskan, pihaknya mendukung keterbukaan dan kemudahan akses informasi nasabah itu. Menurut dia, keterbukaan informasi merupakan bentuk aksi riil pemerintah sebagai tindak lanjut tax amnesty.
”Kami mendukung karena itu menunjukkan bahwa reformasi di Indonesia terus berjalan. Ini yang jadi ukuran dunia, apakah suatu negara berkomitmen untuk melakukan reformasi atau tidak,” katanya. (byu/rin/c5/oki)