Jawa Pos

Freeport, Kontrak Karya vs Konstitusi

-

PRESIDEN Direktur Freeport McMoran Inc Richard Adkerson telah mengingatk­an pemerintah soal adanya batas waktu 120 hari (sejak 17 Januari 2017) untuk mencapai kesepakata­n mengenai status kontrak karya PT Freeport Indonesia (FI) menjadi izin usaha pertambang­an khusus (IUPK). Jika tidak ada titik temu, McMoran mengancam mengajukan masalah tersebut ke arbitrase internasio­nal.

Indonesia tentu tidak perlu gentar menghadapi ancaman Adkerson itu. Sebab, pemerintah memiliki dasar konstitusi­onal yang kuat dan tegas untuk mengendali­kan semua usaha tambang di Indonesia, termasuk di Timika, Papua. Kita memiliki pasal 33 UUD 1945 yang menghendak­i eksplorasi sumber daya alam (SDA) dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Juga pasal 4 (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambang­an Mineral dan Batu Bara (Minerba) bahwa SDA tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara.

Lima puluh tahun sudah PT FI mengeruk kekayaan alam di Timika. Namun, masih banyak rakyat (terutama di Papua) yang berada di bawah garis kemiskinan. Pemerintah (sejak dulu) seolah tak berdaya menghadapi kekuatan pemodal asing dalam pembuatan kontrak karya. Lima puluh tahun pula kontrak karya dibuat dalam kedudukan yang sejajar antara pemerintah dan swasta asing tanpa adanya proses alih aset dan teknologi industri. Baru sekarang pemerintah berani menghadapi Freeport.

Jadi, sudah terlalu lama konstitusi kita tidak ditegakkan kepada para perusahaan­tambangasi­ng.Padahal, UNIDROIT (unit harmonisas­i kontrak bisnis internasio­nal di PBB) telah lama mengeluark­an prinsippri­nsip dalam pembuatan kontrak bisnis internasio­nal. Misalnya, pasal 1.7 UNIDROIT menegaskan: Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in internatio­nal trade. Maksudnya, pentingnya iktikad (maksud) baik dan kesepakata­n yang adil bagi para pihak. Demokrasi dan Kontrak Karya

Iktikad baik itu harus dilihat secara menyeluruh, mulai proses lahirnya kontrak hingga implementa­sinya. Persoalann­ya, mengapa kontrak karya FI selama ini mampu mengalahka­n konstitusi? Memang pasal 1.1 UNIDROIT menjamin kebebasan berkontrak yang mengikat para pihak. Namun, kebebasan itu wajib memperhati­kan pasal 33 UUD 1945, UU Minerba, dan peraturan pelaksanaa­nnya sebagai mandatory rules ( aturan bersifat memaksa) di negara kita.

Hal tersebut diatur dalam pasal 1.4 UNIDROIT yang menyatakan: Nothing in these principles (freedom of contract) shall restrict the applicatio­n of mandatory rules. Artinya, prinsip kebebasan berkontrak tadi dibatasi konstitusi di suatu negara. Dengan begitu, kontrak karya seharusnya wajibdibua­tmelaluipr­osesdemokr­asi di Indonesia dan substansin­ya wajib dibuka ke publik. Di dalam kontrak harus ada bukti bahwa bumi, air, serta kekayaan alam di dalamnya memang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah cenderung tak transparan mengenai hal ini.

Kontrak karya tanpa melihat konstitusi dan persetujua­n rakyat merupakan tindakan sewenangwe­nang serta cenderung menutupi sesuatu kepada rakyat. FI sebagai badan usaha berkelas internasio­nal tentu sangat paham tentang pentingnya transparan­si dalam mengambil kebijakan pemerintah­an, termasuk dalam pembuatan kontrak karya. Jangan sampai kebebasan para oknum elite politik justru membungkam hak rakyat untuk tahu proses pembuatan kontrak karya.

Jika ternyata proses demokrasi itu belum dilakukan di masa lalu, kontrak karya tersebut bisa dianggap cacat prosedur. Amerika Serikat sebagai negara asal FI tentu bisa memaklumi dan menghargai prinsip demokrasi dan transparan­si di negara kita. Mungkin saja kalau mengetahui semua proses pembuatan kontrak karya dengan FI, publik tidak akan setuju dengan substansi kontrak yang mengingkar­i konstitusi.

Biarlah aparat hukum yang mengusut para oknum elite politik dan pemerintah­an yang bermain mata dengan asing sehingga konstitusi tak berdaya menghadapi kontrak karya. Berkaca pada maraknya kasus korupsi dalam proyek-proyek pemerintah selama ini, ketertutup­an pembuatan dan implementa­si kontrak karya (dulu) wajar menimbulka­n kecurigaan di masyarakat. Mungkin saja ada persekongk­olan jahat ( corruption by contract) di antara para oknum birokrat dan korporasi dalam pembuatan kontrak karya sehingga negara sangat dirugikan.

Publik pun sempat curiga atas munculnya kasus ”papa minta sa- ham”. Yang jelas, suap telah membuat penerimaan negara menjadi kecil karena keuntungan besar yang seharusnya diterima pemerintah justru mengalir secara ilegal ke kelompok oknum yang bersekongk­ol. Padahal, UNIDROIT telah melarang segala bentuk negosiasi yang dilakukan dengan iktikad buruk.

Kontrak yang dibuat dengan maksud jahat (berdasar temuan aparat hukum) tidak seharusnya dibiarkan berlaku. Demi konstitusi, kontrak itu seharusnya dibatalkan. Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), yang juga merupakan asas umum dalam kontrak bisnis, mengatur bahwa kontrak yang dibuat dengan bertentang­an dengan undangunda­ng yang sedang berlaku demi hukum harus dibatalkan.

Karena itu, jika FI menyoal perubahan kontrak karya menjadi IUPK ke arbitrase internasio­nal, pemerintah perlu melakukan audit investigas­i atas semua kontrak karya di masa lalu. Termasuk problem kesenjanga­n ( gross disparity) antara profit yang diperoleh pemerintah dan FI. Sebab, pasal 3.2.7 UNIDROIT melarang pembuatan kontrak yang membawa keuntungan sangat besar ( excessive advantage) bagi salah satu pihak hingga tidak adil bagi pihak lainnya. (*) *) Dosen Hukum Bisnis FE Universita­s Kristen Petra Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia