Raih Cita-Cita Dosen yang Bebas
Bagi Prof Abd. A’la, ilmu sudah menjadi candu. Setiap lulus satu tingkatan, dia ingin meraih tingkatan berikutnya. Gelar guru besar dan rektor tak memupuskan hasratnya menuntut ilmu. Dia berharap langkahnya itu diikuti anak-anak dan keturunannya.
di lingkungan pesantren membuat keinginan Prof Abd. A’la tidak mulukmuluk. Lulus SMA, dia masuk ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang, selama 1,5 tahun. Setelah itu, pada 1979, dia melanjutkan ke program sarjana sastra Arab UIN Sunan Ampel Surabaya.
Memasuki tahun-tahun terakhir studinya sebagai seorang mahasiswa, keinginan A’la untuk mengembangkan ilmu semakin kuat. Untuk itu, dia berkeinginan melanjutkan S-2. Namun, dia juga tidak ingin membebani orang tua dengan biaya kuliah.
A’la memantapkan diri untuk menjadi dosen. Mengapa dosen? Sebab, dalam pemikiran A’la kala itu, peluang dosen untuk mendapatkan beasiswa studi lanjutan lebih besar. Karena itu, dia berupaya mengejar cita-cita tersebut.
Namun, pada waktu yang sama, dia juga mulai tertarik mengikuti kegiatan lembaga pemberdayaan masyarakat. Cukup lama dia disibukkan oleh kegiatan sebagai aktivis. Hingga akhirnya, pada 1987, A’la baru menyelesaikan pendidikan S-1.
Upaya untuk menjadi dosen dilakoninya. Pada 1988, pria kelahiran Sumenep, 5 September 1957, itu mengikuti tes sebagai PNS. Dia dinyatakan lolos. Namun, kesempatan tersebut tidak diambilnya. Alasannya, A’la tidak suka terikat regulasi. ”Jadi dosen harus memenuhi jam kantor dan sebagainya, sedangkan saya suka kegiatan yang bebas,” ungkapnya.
Akhirnya, dia pulang kampung dan menikah dengan Nihayatus Sa’adah yang kala itu sedang menyelesaikan kuliah psikologi di Universitas Airlangga. Satu tahun terpisah jarak, A’la di kampung dan istri di Surabaya. Akhirnya, pada 1990, dia memutuskan pindah ke Surabaya dan menjadi dosen UINSA. ”Alasannya ya ingin menemani istri,” ujarnya.
Satu tahapan kehidupan terlewati. A’la masih berhasrat melanjutkan S-2. Pada 1994, dia mengikuti tes pascasarjana di Surabaya. Namun, dia mendapat penempatan di Jakarta. Yakni, IAIN Syarif Hidayatullah. Jenjang S-3 dituntaskannya di kampus yang sama.
Sebagai mahasiswa S-2 di Jakarta ditambah harus menghidupi keluarga, kondisi ekonomi A’la cukup sulit. Dimanfaatkannya kemampuan menulis untuk mengisi kolom di beberapa surat kabar.
Satu momen yang paling berkesan bagi A’la adalah ketika putri pertamanya masuk TK. Sebagai ayah, dia ingin memasukkan buah hatinya ke sekolah terbaik. Namun, lagi-lagi, masalah biaya menjadi hambatan. Akhirnya, dia dan istrinya menjual gelang sang anak. Itu semua dilakukan demi pendidikan terbaik.
Sekembali ke Surabaya, dia menjadi dosen. A’la tetap bebas melakukan aktivitas yang dia suka. Bahkan, dia juga aktif di Wahid Institute. Sampai akhirnya, pada Mei 2008 dia dikukuhkan sebagai profesor. Dan pada 2012, dia menjabat rektor UINSA.