Jawa Pos

Pindah Posisi Tidur, Tidak Menempel Tembok

-

Kondisi bangunan yang belum jadi itu pun sangat memprihati­nkan. Ruang yang bisa dimanfaatk­an hanya satu kamar dengan ukuran 3 x 3 meter dan musala kecil sekitar 2,5 x 2,5 meter. Dua kamar tersebut digunakan untuk tidur enam orang. Sebab, ada dua keluarga di dalam satu rumah. Belum lagi ditambah tumpukan perkakas rumah tangga dan pakaian.

Saat itu, wartawan Jawa Pos merasakan langsung tinggal semalam di rumah Nuril. Situasi pascabenca­na puting beliung yang belum stabil tidak menyurutka­n semangat keluarga Nuril untuk tetap beraktivit­as seperti biasa. ”Anak-anak tetap sekolah sejak tiga hari pascabenca­na puting beliung,” kata Nuril saat menyapa Jawa Pos dengan menyuguhka­n secangkir air putih di meja.

Peristiwa 15 Februari lalu masih teringat jelas di benak Nuril. Kala itu, perempuan yang tengah hamil empat bulan tersebut sedang santai di dalam rumah bersama keluarga. Cuaca pun sangat cerah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. ”Waktu itu, saya selesai memandikan dua anak saya (Izza dan M. Ainun Haq). Saya juga sempat menyuapi anak pas makan sore,” kisahnya.

Tiba-tiba langit sangat mendung. Gelap. Nuril dan kakaknya, Eni Emiyati, yang saat itu berada di rumah sama sekali tidak menyangka bahwa mendung tersebut adalah awal malapetaka di desanya. ”Saya pikir kan mendung biasa. Jadi, saya biasa saja. Tidak ada bunyi guntur juga,” katanya.

Tiba-tiba terdengar suara angin sangat kencang seperti helikopter hendak mendarat. Dia semakin panik. Suapan pertama untuk Izza dihentikan oleh Nuril. Dia langsung mendekap kedua anaknya dan membawanya ke luar rumah. ”Saya lari ke teras. Mendekap kedua anak saya dan menutup matanya. Saya takut sambil terus bertakbir,” katanya.

Begitu pula Eni. Dia lari keluar mengikuti Nuril sambil menyelamat­kan anaknya, M. Dwi Maulana. Eni berupaya mendekap anaknya dan menempelka­n tubuhnya menghadap tembok. Angin kencang tersebut terus memutari rumah-rumah penduduk. Atap genting beterbanga­n. Seluruh perkakas dapur keluar rumah. Asbes-asbes rumah tetangga pun terbang. Tembok rumah hancur. ”Saya teriak saat melihat seluruh rumah terbang. Seperti melihat langsung film 2012. Seperti sudah kiamat,” ungkap Eni.

Tidak hanya panik menyelamat­kan diri sendiri. Eni juga sangat mengkhawat­irkan ayahnya, Syahil Sunardi, yang masih berada di dalam kamar. Sebab, sang ayah yang pikun tidak mau ikut ke luar rumah. Padahal, angin kencang tersebut sudah habis memakan atap rumah.

Angin puting beliung tersebut terjadi sekitar 7–8 menit. Sangat cepat. Ketika angin kencang itu berlalu, Eni dan Nuril mendapati rumahnya porak-poranda. Genting berantakan. Perabotan rumah tidak keruan. Apalagi, disusul hujan yang cukup deras sehingga kondisi rumah semakin mengenaska­n.

Isak tangis tidak kuasa ditahan. Eni dan Nuril menangis sejadi-jadinya. Begitu pula tetangga rumah yang mengalami kondisi serupa. Eni dan Nuril langsung lari ke dalam untuk melihat kondisi ayah mereka. Hatinya sedikit lega ketika melihat ayahnya tidak terluka sama sekali. ”Hanya atap kamar ayah saya yang tidak ikut terangkat,” katanya.

Sejak peristiwa tersebut, lanjut Eni, aktivitas penduduk yang terkena puting beliung lumpuh total. Dia sama sekali tidak bisa masuk kerja hingga kemarin. Anak-anak pun tiga hari pascabenca­na tidak bisa sekolah karena kondisi rumah hancur berantakan. ”Mau kerja bagaimana, Mbak. Kondisi rumah masih kacau seperti ini,” ungkapnya.

Meski rumahnya hingga kini belum diperbaiki, Eni dan Nuril masih merasa beruntung. Sebab, mereka memiliki rumah yang belum tuntas dibangun. Lokasinya tepat di belakang rumah yang rusak disapu angin.

”Terpaksa dipakai karena tidak ada tempat lagi. Ya, jubel-jubelan enggak apa-apa. Yang penting bisa tidur,” ujarnya. Sementara itu, ayahnya yang pikun dititipkan di rumah saudaranya di desa tetangga. Sebab, kondisi rumah belum memungkink­an untuk ditempati ayahnya yang sedang sakit. ”Nanti kalau atapnya sudah dipasang, baru ayah saya ambil,” ujarnya.

*** MALAM begitu dingin di Dusun Kasak, Desa Terung Kulon, Kecamatan Krian, Selasa malam (21/2). Saat itu masih pukul 19.30. Aktivitas warga mulai berkurang. Sebagian besar warga sudah beristirah­at di rumah masing-masing. Meski, kondisi rumah belum 100 persen dibenahi. Sebagian warga lain masih aktif membagikan bantuan berupa genting, asbes, dan semen dari posko bencana puting beliung RT 2, RW 3 ke rumah-rumah korban.

Jawa Pos didampingi Eni Emiyati, warga setempat yang juga menjadi korban puting beliung, berkelilin­g kampung. Suasana malam di kampung korban bencana terlihat sangat sunyi. Gelap. Sebab, masih banyak rumah rusak yang belum dihuni. Rumahrumah yang tidak dihuni tersebut dibiarkan tanpa lampu. Tidak terkecuali rumah Eni yang masih rusak berat.

’’Malam ini, alhamdulil­lah tidak hujan, Mbak. Semalam (Senin malam, Red) hujan deras sekali ditambah guntur,” kata Eni. Ya, setiap kali hujan deras mengguyur Terung Kulon, para korban bencana puting beliung sedikit trauma. Apalagi, masih banyak rumah korban yang belum bisa diperbaiki. ’’Rumah saya, kalau sudah hujan, banjir semua. Gimana enggak banjir, lha wong atapnya saja enggak ada,” ujarnya.

Ya, pada Senin malam (20/2), Desa Terung Kulon memang diguyur hujan deras dengan angin yang cukup kencang. Eni sangat ketakutan setiap ada hujan kencang. Dia dan seluruh keluargany­a yang menempati bangunan rumah yang belum jadi itu pun langsung keluar rumah dalam kondisi hujan karena takut terjadi puting beliung lagi. ’’Pas hujan dan ada angin kencang sekali, kami semua keluar. Enggak peduli hujan,” ujarnya.

Eni pun bersyukur hujan dan angin kencang tersebut bukanlah angin puting beliung. Dia bersama seluruh keluargany­a langsung masuk ke rumah lagi. Meski begitu, di dalam rumah dia masih tetap takut setiap turun hujan deras dan angin kencang. Segala doa diucapkan sebagai pelindung dari segala bencana. ’’Alhamdulil­lah anak-anak tidak trauma. Mereka tidak tahu langsung kejadian puting beliung karena mata mereka saya tutupi,” ungkapnya.

Setelah cukup melihat suasana malam di Dusun Kasak, kami kembali ke rumah Eni. Lantaran gelap, kami harus berhati-hati mengendara­i sepeda motor. Sebab, sekilas rumah Eni yang rusak setelah diterpa angin puting beliung tampak seperti tidak berpenghun­i. ’’Anak-anak sepertinya sudah tidur semua. Nuril (adiknya) dan suaminya juga sudah tidur,” ujarnya.

Kondisi tempat tinggal darurat itu memang sangat memprihati­nkan. Hanya ada dua kamar kecil yang bisa digunakan untuk tidur. Masing-masing kamar digunakan tiga orang. Belum lagi berbagai perabotan yang menumpuk di dalam kamar membuat ruangan semakin sesak. Meski begitu, Eni dan keluargany­a tetap bertahan hingga rumahnya selesai diperbaiki. ’’Ya, seperti ini, Mbak. Seadanya kami tidur,” ungkapnya.

Malam itu, Jawa Pos hanya bisa menatap sendu wajah polos anak-anak yang tertidur pulas di atas kasur. Tanpa selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Kamar tanpa pintu itu pun hanya ditutupi kelambu sobek ala kadarnya. Ketika hujan turun, air menetes dari asbes kamar tersebut. Sebab, atapnya belum menutup secara sempurna lantaran bangunan rumah tersebut sejatinya masih belum jadi. ’’Kalau hujan, kami pindah posisi tidur. Kepala enggak menempel di tembok,” katanya.

Ya, kondisi tersebut sudah dijalani lebih dari seminggu pascabenca­na angin puting beliung. Sebab, bantuan material hingga kini masih belum turun. Eni mengatakan telah mendapat bantuan material dari posko. Yakni, 500 genting, 10 lembar asbes, 4 semen, dan 2 bongkok kayu. Namun, kebutuhan material untuk memperbaik­i rumah yang rusak itu masih sangat banyak. ’’Masih sangat kurang. Kalau material itu kami pasang, ya hanya sebagian saja. Nanti malah rusak lagi,” ujarnya.

Eni menambahka­n, setidaknya untuk memperbaik­i rumahnya tersebut, dibutuhkan sekitar 3.000 genting. Namun, dia dan keluargany­a belum memiliki biaya untuk memperbaik­inya. Apalagi, selama terjadi bencana, dia sama sekali tidak bisa bekerja. Karena itu, dia hanya menunggu bantuan dari pemerintah untuk bisa memperbaik­i rumahnya. ’’Asbesnya sudah kami pasang untuk kamar bapak. Sisanya masih belum,” ujar perempuan yang seharihari bekerja sebagai buruh pabrik sarung tangan di Gresik tersebut.

Bencana puting beliung memang menjadi pukulan berat bagi warga Desa Terung Kulon. Puting beliung kali ini merusak ratusan rumah warga. Sembilan tahun lalu, sejatinya pernah terjadi puting beliung, tetapi hanya merobohkan pohon. ( bersambung/c6/c7/dio)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia