Jawa Pos

Sistem Imun Menyerang Saraf

-

Tujuannya, bibir putrinya itu tidak kering, lalu mengelupas. Sudah sekitar sepuluh hari Fiki tidak merespons. Untuk membasahi bibir, Fiki harus dibantu.

”Ingat Tuhan ya, Nak,” ujar Riyono. Dia lantas mengucapka­n tiga kali takbir. Selesai itu, dia mengecup pipi kanan Fiki. Kecupan tersebut dilakukan berulang-ulang. Riyono berharap putrinya akan bangun.

”Pada 15 Februari, Fiki ulang tahun ke-20,” tuturnya. Itu ulang tahun kedua Fiki di ICU. Tahun lalu pun Fiki berulang tahun di ruang ICU Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr Soetomo. Bedanya, tahun lalu Fiki masih bisa merespons dengan baik.

Senin, 1 Februari 2016, Fiki mulai dirawat di RSUD dr Soetomo. Kondisinya lumpuh. Sebelumnya, dia tidak menunjukka­n gejala apa pun. Bahkan, Sabtu, 30 Januari 2016, dia baru saja dari Pacitan. Minggunya dia masih bercanda dengan keluarga.

”Senin pagi itu janjian sama temannya mau KRS-an. Dia BBM temannya, lalu tiba-tiba teriak,” kenang Riyono. Kakek satu cucu ter sebut waktu itu memang tidak di rumah. Dia sudah berada di kantor. Di rumah hanya ada Yunia –ibu Fiki– dan kakak Fiki. Mahasiswi Universita­s Jember (Unej) tersebut mengeluh kaki dan tangannya tidak bisa digerakkan.

Kemudian, Yunia segera lari ke tetangga yang kebetulan berprofesi dokter. Dia disarankan untuk ke rumah sakit. Sampai akhirnya mendapat rujukan ke RSUD dr Soetomo. Saat di rumah, Yunia menyaksika­n anak keduanya itu pingsan.

Setiap cerita mengenai Fiki, mata Yunia selalu basah. Putrinya yang dulu cuek dan tidak pernah mengeluh sekarang berbaring di ICU.

Fiki didiagnosi­s mengalami GBS. Penyakit tersebut merupakan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf. Biasanya, penyakit itu akan timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggoroka­n. Gejala yang kerap dirasakan adalah menurunnya fungsi gerak, mulai kaki hingga tangan.

Sejak 1 Februari tahun lalu, Fiki menginap di ICU. Fiki tidak bisa bernapas dengan normal. Dia harus dibantu dengan ventilator. Di leher Fiki terdapat trakeostom­i sebagai jalan ventilator. Sesekali memang alat tersebut dilepas. Tujuannya melatih agar Fiki dapat bernapas secara mandiri.

Sejak tanggal itu pula, Yunia jarang pulang ke rumahnya di Mojokerto. Terhitung hanya tiga kali dia pulang, yakni ketika ibunya sakit, saudaranya meninggal, dan anak pertamanya menikah. ”Cucu saya lahir pun saya belum sempat nengok,” kata Yunia. Dia hanya melihat perkembang­an cucunya lewat video call atau foto-foto yang dikirimkan. ”Saya belum tahu rasanya menimang cucu itu bagaimana,” jelasnya.

Yunia memang tidak mau pulang. Bahkan, untuk sekadar mencari kos saja, dia enggan. Yunia lebih senang tinggal di ruang tunggu pasien di belakang GBPT. Ruang tunggu yang berukuran kurang lebih 15 meter x 5 meter itu seperti aula. Dindingnya pun hanya setengah. Atapnya terbuat dari asbes. Hanya ada dua kipas angin. Kalau siang, dapat dipastikan sumuk. Apalagi di sana bukan hanya Riyono dan Yunia yang tinggal. Ada beberapa keluarga.

Untuk tidur, mereka hanya menggunaka­n kasur tipis yang dilapisi perlak. Di kanan-kirinya ada koper dan beberapa dus pakaian. Agar tidak panas, satu kipas angin duduk setia berputar. ”Anak saya di dalam berjuang. Jadi, saya tidak mau enak-enak,” beber Yunia. Dia berkata dengan terbata-bata. Air matanya kembali tumpah. Dia menunduk.

Sementara itu, Riyono harus bolak-balik Surabaya–Mojokerto. Dia tetap menjalanka­n tugas sebagai seorang PNS. Tiap pagi dia berangkat dari GBPT dengan menggunaka­n motor. Kemudian, dia menitipkan motor tersebut di parkiran Terminal Bungurasih. Untuk ke Mojokerto, dia naik bus. Sesampainy­a di Mojokerto, dia ke kantor dengan sepeda motor. ”Dulu pernah dari GBPT ke terminal naik taksi. Tapi, kok mahal. Sedangkan kalau mau naik motor, lama dan capek,” jelasnya.

Sebelum berangkat kerja, dia pasti menyempatk­an ke ICU untuk ketemu Fiki. Jika tidak bertemu, lanjut dia, ada yang mengganjal. Begitu juga ketika malam. Beruntung, pihak rumah sakit mengizinka­n. Riyono yakin putrinya akan kembali sehat. Untuk itu, dia harus selalu datang untuk bertemu Fiki. ”Sekadar ngobrol pasti saya lakukan,” tuturnya.

Dukungan juga mereka rasakan dari keluarga besar dan temanteman Fiki. Dukungan itulah yang menguatkan keduanya. Tidak bisa dimungkiri, keduanya pernah terpuruk. Pada saat seperti itu, keluarga besar dan teman-teman Fiki kembali menguatkan.

Bagi Yunia dan Riyono, tidak ada kata menyerah menanti sang anak kembali sehat. Segala upaya mereka lakukan. Ujian yang datang akan mereka hadapi bersama. Hanya satu yang mereka ingin rasakan, yakni kembali ke rumah bersama Fiki. (Ferlynda/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia