Jawa Pos

Sempat Kesulitan Cari Pesawat

-

Pasutri tersebut harus menunggui anak bungsunya yang sedang berjuang melawan penyakit. Selama empat bulan, mereka tidur di emperan rumah sakit.

Pasutri itu memang tidak bisa meninggalk­an Rizqo. Di rumah sakit, mereka hidup seadanya. Tidur beralas kasur tipis. Anak keempat, Rafeef Muhammad Ibkar, kakak Rizqo, pun harus diboyong ke Surabaya. Bocah yang baru sekolah taman kanak-kanak tersebut ikut tinggal di rumah sakit. ’’Memang tidak bisa ditinggal,’’ kata Edy saat menemui Jawa Pos Selasa (21/2).

Edy maupun Sururum harus bergantian menunggui. Hidup di rumah sakit dan menunggui kerabat yang sakit bukan hal yang mudah. Tentu fisik dan psikis mudah lelah. Mereka berdua harus saling menopang. ’’Kaki istri saya sampai bengkak. Mungkin kelelahan menunggu,’’ jelasnya.

Sementara itu, di PICU Rizqo belum sadar. Matanya memang terbuka, tetapi penglihata­nnya kosong. Ada alat bantu napas yang menempel di lehernya. Di dadanya, terdapat kabel-kabel yang terhubung dengan dua monitor. Satu untuk melihat detak jantung, satu lagi untuk memantau napas.

Untuk makan, Rizqo harus dibantu sonde atau slang yang langsung menghubung­kan lambung. Saraf menelan Rizqo melemah akibat penyakitny­a. Orang tuanya harus telaten menyuapi anaknya. Makanan yang diberikan pun masih cair. Caranya, diberikan dengan bantuan spuit (suntikan tanpa jarum).

Bocah kelahiran 3 Januari 2014 itu tampak lebih gemuk. Rizqo sebenarnya dikenal Jawa Pos pada Agustus 2016. Salah satu keluarga pasien OI sempat mengirimka­n foto Rizqo yang sedang dirawat di ICU Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr Soetomo. Dari foto tersebut, tubuh Rizqo terlihat kecil. Beberapa tulangnya yang sempat patah pun tampak bengkok. Berbeda dengan sekarang, badannya lebih gempal. Apalagi, dia hanya mengenakan popok. Lipatan tubuhnya makin terlihat.

Empat bulan lalu, kenang Edy, trakeostom­i (lubang di leher) Rizqo sempat terganggu. Akibatnya, dia susah bernapas. Waktu itu dia sudah berada di ruang perawatan Nakula di irna anak. Kejadian tersebut membuat otaknya terganggu. ’’Akhirnya, ada saraf Rizqo yang rusak. Itulah yang mengakibat­kannya tidak merespons sampai hari ini,’’ ungkap pria 33 tahun tersebut.

Dokter sempat memvonis Rizqo tidak hidup lama. Hanya beberapa minggu setelah kejadian tersebut. Edy maupun Sururum sempat down. Namun, mereka ingat betul kata bijak dalam agama, ’’ Tidaklah Tuhan memberikan ujian, kecuali makhluk tersebut mampu melalui’’. Keduanya kemudian memasrahka­n kepada Yang Punya Hidup. Mereka pun terus berdoa dan menempuh jalan medis.

Lebih dari dua tahun dirawat di RSUD dr Soetomo, Rizqo memang tidak selalu berada di ICU. Beberapa kali dia dirawat di ruang perawatan biasa. Pernah suatu kali Rizqo bisa bernapas dengan spontan. Artinya, dia tidak memerlukan alat untuk membantuny­a bernapas. Namun, beberapa waktu kemudian dia harus kembali membutuhka­n alat bantu napas.

Edy dan Sururum yakin yang dilakukann­ya akan mendapatka­n balasan. ’’Sebagai tabungan untuk di akhirat,’’ ucapnya. Edy kembali teringat ketika masih tinggal di Jambi. Beberapa bulan sejak lahir, Rizqo sering mengalami gangguan pernapasan. Waktu itu Rizqo diduga mengalami pneumonia atau peradangan paru. Beberapa minggu anaknya dirawat di rumah sakit di Jambi. Tim dokter menyaranka­n untuk dirujuk. Pilihan terdekat adalah Jakarta. ’’Saya juga cari di internet dan ternyata lebih sreg di Surabaya,’’ terangnya.

Pada Juli 2014, persiapan medis untuk merujuk sudah siap. Ada masalah yang mengganjal, yakni mengenai transporta­si menuju Surabaya. Beberapa maskapai penerbanga­n menolak. Alasannya, kondisi kesehatan Rizqo tidak stabil. Rizqo yang waktu itu berusia enam bulan harus menggunaka­n tabung oksigen. Akhirnya, Sriwijaya Air bisa membantu. ’’Itu pun harus ada surat perjanjian kalau ada kejadian gawat darurat,’’ cerita Edy.

Pihak maskapai penerbanga­n juga memberikan syarat untuk memakai oksigen khusus. Khawatir jika oksigen biasa meledak ketika pesawat terbang. Edy menyetujui. Dia memasrahka­n semua. Yang terpenting adalah usahanya agar si anak kembali sehat.

Sesampai di Bandara Juanda, Edy diantarkan petugas ke RSUD dr Soetomo. Instalasi gawat darurat (IGD) adalah tujuan mereka. Setiba di IGD, dokter yang melihat kondisi Rizqo sempat menyepelek­an. Memang, waktu itu dia tampak sehat. Tidak terlihat seperti orang sakit.

Hingga akhirnya, Rizqo mengalami kejang. Tubuhnya kaku dan membiru. Petugas medis lantas membawanya ke ruang resusitasi IGD. Tujuannya, memberikan perawatan intensif. Sehari berada di ruang resusitasi IGD, Rizqo dipindahka­n ke ICU GBPT. Sebelumnya, tim medis melakukan operasi untuk membuat trakeostom­i. Rizqo harus dibantu alat bantu napas atau ventilator.

Rizqo tidak sebentar berada di ICU. Hingga lima bulan di ruang perawatan intensif tersebut, penyakitny­a baru ketahuan. Dokter memvonis bocah itu menderita OI. Terbukti, tulang Rizqo mudah patah. Dadanya pun cekung. Dia harus dibantu ventilator.

Untuk kesadarann­ya, saat berada di ICU GBPT, Rizqo bisa merespons. Bahkan, dia mudah akrab dengan petugas medis. ’’Kalau ada dokter, ya dokternya dipanggil,’’ ujar Edy. Bocah tersebut disenangi petugas medis di ICU.

Sururum dan Edy biasanya menunggu di ruang tunggu pasien di belakang GBPT. Mereka berbagi tempat dengan keluarga pasien lainnya. Berjubel. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, keluarga saling membantu. Sebelumnya, Edy pernah mencoba menjadi pedagang ayam goreng tepung. Namun, usaha itu hanya bertahan beberapa minggu. Dia tidak tega dengan kondisi istri yang harus sendirian menjaga Rizqo.

Edy maupun Sarurum memasrahka­n semuanya kepada Sang Pencipta. Mereka meyakini bahwa ujian akan bisa dilalui bersama-sama. Sebagai orang tua, mereka berupaya sebaik-baiknya. Bekerja sama dengan petugas medis dan memanjatka­n doa kepada Tuhan adalah hal yang tidak pernah absen mereka lakukan.

Jika mulut ingin mengeluh, yang mereka keluarkan adalah kalimat zikir. Jika hati merasa lelah, mereka bakal menyandar kepada Allah. (Ferlynda/c14/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia