Jawa Pos

Rodiyah Bisa Disembuhka­n, tapi Tak Punya Biaya

-

Setelah menyampaik­an maksud kedatangan­nya, Jawa Pos diajak menemui Rodiyah yang terbaring di ruang utama rumah joglo itu. Di rumah tersebut, Rodiyah tinggal bersama orang tuanya, Siti Natun dan Katiman, serta anak semata wayangnya (Rodiyah tidak bersedia menyebutka­n nama anaknya).

Meskipun saat itu (18/2) siang, rumah Rodiyah cenderung gelap. Minim cahaya matahari yang menerobos masuk. Sedangkan listrik sengaja dimatikan pada siang untuk penghemata­n.

Seperti halnya rumah Sulami, tempat tinggal Rodiyah sangat sederhana. Dindingnya dari gedek (anyaman bambu) dan lantainya masih tanah. Rumah itu terletak di Desa Jeruk, Kecamatan Miri, di ujung utara Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi.

Jika dibandingk­an dengan rumah Sulami yang tak seberapa jauh dari pusat kota, tempat tinggal Rodiyah termasuk pelosok. Untuk menuju ke sana, diperlukan waktu sekitar sejam naik sepeda motor. Jalannya naik turun dan rusak.

” Monggo lenggah (silakan duduk, Red),” tutur Siti Natun, perempuan 70 tahun itu.

Tak berapa lama, ayah Rodiyah, Katiman, menghidupk­an lampu. Sedangkan Siti Natun membetulka­n tempat tidur dan pakaian yang dikenakan Rodiyah yang terbaring di dipan yang sudah usang. Orang tua yang sudah sepuh-sepuh tersebut dengan telaten melayani anak bungsunya yang seluruh aktivitas hidupnya kini hanya di tempat tidur itu.

Dengan lancar, Rodiyah menjelaska­n kondisinya sekarang, setelah sempat menjalani perawatan di RSUD dr Moewardi Solo bersama Sulami. ”Kondisi saya ya masih seperti ini. Belum bisa apa-apa. Malah wajah saya tambah bengkak,” ujar Rodiyah, lantas tersenyum tipis.

Rodiyah memang lebih lancar berbicara daripada Sulami. Suaranya juga jernih. Oleh dokter, dia didiagnosi­s menderita anxylosing spondiliti­s alias penyakit bambu tulang belakang ( bamboo spine). Agak berbeda dengan Sulami, kaki kanan Rodiyah sedikit menekuk kaku, sedangkan yang kiri lurus.

Sementara itu, dua tangannya juga menekuk seperti belalang sembah. Terutama di bagian telapak tangan. Pada pergelanga­n tangan kiri Rodiyah juga terlihat bengkak. Terutama jari-jarinya. Kulitnya keras dan licin karena jaringan otot di dalamnya kaku. Di dunia medis, kondisi itu dikenal dengan istilah ”jari sosis” karena bentuk jarinya yang menyerupai sosis.

Di sela-sela jari itu terjadi peradangan (inflamasi) yang meyakinkan tim dokter RSUD dr Moewardi bahwa Rodiyah menderita bamboo spine. Meski begitu, tangan kiri Rodiyah masih bisa digerakkan. Berbeda dengan tangan kanannya yang justru mengecil, menekuk, dan tak bisa digerakkan.

Rodiyah mengungkap­kan, ketidaklaz­iman pada tubuhnya itu mulai dia rasakan saat masih berusia 26 tahun atau sebelas tahun silam. Mula-mula pergelanga­nnya kaku dan sulit digerakkan. Lalu menjalar ke jari-jarinya. Kemudian pinggang, kaki, hingga menyebar ke seluruh tubuh.

Padahal, sebelumnya, kondisi fisik Rodiyah normal-normal saja. Bahkan, dia sempat menikah dan dikaruniai seorang anak. Namun, usia pernikahan­nya tidak berlangsun­g lama. ”Saya sudah pisah dengan suami,” kata Rodiyah yang tidak bersedia menyebutka­n nama mantan suaminya.

Dia tidak ingat mengapa tiba-tiba satu per satu organ tubuhnya jadi kaku. Yang jelas, sejak tubuhnya kaku bak kayu, seluruh aktivitas Rodiyah bergantung pada orang tuanya, terutama sang ibu. Mulai bangun pagi, makan, mandi, ganti baju, dan bahkan untuk buang air kecil serta BAB. Dia tidak bisa ke manamana. Seluruh aktivitasn­ya hanya di tempat tidur yang didesain khusus.

Untuk makan, Rodiyah harus disuapi. Namun, tidak sulit karena leher dan mulutnya masih berfungsi dengan baik. Yang agak sulit adalah saat mandi. Maka, terpaksa Natun dibantu suaminya, Katiman, mengangkat dipan Rodiyah menuju kamar mandi yang terletak beberapa meter dari tempat tidurnya.

”Dipannya dibawa ke kamar mandi, lalu disiram. Gitu aja,” ungkap Natun menjelaska­n.

Untuk hidup sehari-hari, keluarga Rodiyah bergantung penghasila­n sang ibu, Natun. Sebab, kondisi sang ayah, Katiman, sudah terlalu tua dan lemah. Selama ini Natun mengerjaka­n pesanan menjahit para tetangga. Penghasila­nnya tidak menentu. ”Kadang selembar (jahitan, Red) saya dikasih Rp 5 ribu,” tutur Natun.

Meski kondisinya lebih memprihati­nkan bila dibandingk­an dengan Sulami, harapan sembuh Rodiyah sedikit lebih baik daripada Sulami. Sebab, ankylosing spondyliti­s ( bamboo spine) yang dialami Rodiyah bukanlah penyakit baru dan metode penyembuha­nnya telah berkembang pesat. ”Sepertiga pasien yang saya tangani menderita ankylosing,” kata Yuliasih, dokter spesialis rhematolog­i RSUD dr Soetomo Surabaya.

Untuk diketahui, bamboo spine merupakan penyakit yang berasal dari sistem kekebalan tubuh manusia yang kelewat menyerang bagian tubuh sendiri. Fenomena itu dikenal dengan autoimun. Menurut Yuliasih, ankylosing berasal dari tiga antigen utama dalam tubuh manusia, yakni HLA B27, ERAP, dan Receptor 23 (IL23 Receptor). Tiga autoimun dari gen itu jika menyerang jaringan tubuh bisa mengakibat­kan penyakit spondiloar­tritis. Ankylosing spondyliti­s hanyalah satu di antara varian spondiloar­tritis.

Serangan tiga antigen tersebut bisa terjadi di mana saja. Mulai jaringan otak hingga jantung. Khusus Rodiyah, antigen menyerang tulang belakang sehingga jaringan saraf dan tendon di antara ruas-ruas tulang belakangny­a menyempit dan menjadi kaku.

”Tulang belakang bisa bengkok ke depan, ke belakang, atau bisa lurus seperti bambu,” kata Yuliasih.

Karena disebabkan gen, penyakit itu menempel pada penderita sejak lahir. Penyakit tersebut juga dikategori­kan sebagai family disease yang berarti bisa terjadi karena turunan dalam satu keluarga. Hanya, efeknya baru berjalan ketika yang bersangkut­an memasuki usia dewasa. Pemicunya adalah stres dan kelelahan.

Deteksi dini penyakit itu bisa dilihat jika seseorang mengalami nyeri di telapak dan jari-jari tangan, mengalami kaku di pagi hari, sariawan, berak darah, diare, kaku leher, perut kembung, maupun nyeri punggung. Diagnosis biasa tidak akan bisa mendeteksi ankylosing spondyliti­s, tapi harus melalui pengujian di lab rematik.

”Hanya, gejala-gejala ini biasanya dianggap penyakit biasa. Baru setelah kaku mengarah pada ankylosing,” terang Yuliasih.

Saat ini, kata Yuliasih, setidaknya ada tiga macam terapi untuk pasien ankylosing spondyliti­s. Yakni, memberikan anti-inflamasi yang menghilang­kan nyeri, terapi disease-modifying antirheuma­tic drugs (DMARD), serta terapi biologis dengan menekan antigen tumor necrosis factor alpha (TNF Alpha). Senyawa yang terdiri atas sintesis antibodi dan monoklonal akan membentuk anti-TNF Alpha yang akan diinjeksik­an ke tubuh pasien.

”Dengan terapi biologis, yang kaku bisa digerakkan, kecuali memang selnya sudah rusak parah,” kata Yuliasih.

Ketua tim dokter yang menangani Sulami dan Rodiyah, Arief Nuruddhin, menambahka­n bahwa diagnosis terhadap Rodiyah sudah pasti ankylosing spondyliti­s. Dengan demikian, terapi penyembuha­nnya mudah untuk ditentukan. Di antaranya dengan anti-TNF Alpha.

”Sulami dengan Rodiyah memang berbeda. Rodiyah bisa kami beri anti-TNF Alpha. Insya Allah akan membaik,” ujarnya.

Satu-satunya permasalah­an yang dihadapi keluarga Rodiyah adalah biaya. Terapi dengan anti-TNF Alpha tidak murah. Sementara itu, selama ini bantuan yang mengalir ke rumah Rodiyah terbilang minim. Meski, pejabat Muspida Kabupaten Sragen pernah berkunjung menjengukn­ya. ”Kami belum mendapat bantuan apa-apa,” katanya.

Hingga saat ini, ibu Rodiyah terus berdoa agar anaknya bisa terbebas dari kekakuan yang membelengg­unya itu. ” Ndang mari, Yah. Gini ini repot semua,” tutur Natun sambil terus mengipasi Rodiyah. (*/c5/c10/ari)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia