Jawa Pos

Tak Ada Sungai, Air Kolam Ikan pun Jadi

- DINARSA KURNIAWAN, Pekanbaru

Kebakaran lahan/hutan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Kalau sudah begitu, profesi yang digeluti Captain Arif Budiarto sebagai pilot waterbombi­ng sangat dibutuhkan. Dengan helikopter khusus, dia akan naik-turun menyiram sumber api di tengah hutan.

MENDUNG tipis menggantun­g di langit Kota Pekanbaru, Riau, pada Rabu pagi (15/2). Sesaat kemudian, langit sempat gelap dan menampakka­n tanda-tanda bakal turun hujan. Walau begitu, misi waterbombi­ng tetap harus dilaksanak­an karena ada titik api di dalam hutan yang belum padam

”Kita tunggu sebentar lagi. Kalau cuaca oke, kita terbang,” ujar Arif Budiarto saat menunggu kondisi cuaca di Pangkalan Udara (Lanud) Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau.

Beberapa menit kemudian, dia memberikan tanda langit sudah bersahabat dengan mengacungk­an jempolnya, lalu mengarahka­n telunjukny­a ke atas. Rombongan yang akan mengikuti misi tersebut pun berkumpul di sekitar helikopter untuk mendapatka­n brifing. Selain Arif, orang-orang yang turut dalam misi tersebut adalah Captain Marcelino, teknisi Richard Tuturoong, serta Berry Krisnan yang bertindak sebagai load master. Jawa Pos juga diajak mengikuti misi itu.

Sesaat kemudian, pukul 09.30, helikopter Bell 412EP dengan call sign PKTWV yang mengangkut kami pun mengudara meninggalk­an lanud milik TNI-AU tersebut. Sang pilot mengarahka­n heli ke tenggara. Setelah terbang sekitar 35 menit, dari udara kami melihat asap mengepul di lahan gambut yang membentang. Lahan yang terletak sekitar 120 km dari Lanud Roesmin Nurjadin tersebut masuk wilayah Desa Pangkalan Pandu, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Berry yang duduk di depan saya menunjuk ke bawah, memberi tanda dengan tangannya. ”Wilayah itulah yang bakal dibom air,” kata Berry setengah berteriak. Beberapa menit kemudian helikopter buatan Negeri Paman Sam itu mendarat di lapangan Desa Pangkalan Terap, Kabupaten Pelalawan, Riau. Desa tersebut dipilih karena dekat dengan bantaran Sungai Kampar yang dijadikan sumber air untuk mengisi water bucket. Bak air berkapasit­as 1 ton yang diikatkan ke helikopter dengan sling baja itu pun diturunkan.

Kemudian, heli kembali mengudara untuk mengambil air, lalu melakukan waterbombi­ng di kawasan kebakaran. Pengeboman itu disudahi setelah heli sepuluh kali bolakbalik mengambil air dan menyiramka­nnya ke sumber api. Misi tersebut berjalan sekitar 3,5 jam. Kemudian, helikopter lansiran 1997 itu kembali mengangkut kami meninggalk­an lokasi kebakaran untuk balik ke Lanud Roesmin Nurjadin.

Setelah tugas itu selesai, sembari duduk di bawah pohon rindang yang biasa dijadikan tempat nongkrong para pilot sebelum bertugas, Arif menyempatk­an diri untuk beristirah­at sejenak. Sebab, pukul 14.30 dia harus kembali terbang. Kali ini dia akan membawa Bupati Pelalawan H M. Harris. ”Pak Bupati ingin meninjau Pulau Mendol,” ucap pria kelahiran Semarang, 13 September 1977, itu.

Kebakaran lahan di Riau terjadi hampir setiap saat. Tidak mengenal musim. Kebanyakan yang terbakar adalah lahan gambut. Dari atas, yang tampak hanya asapnya. Sebab, apinya ada di dalam tanah. Karena itu, tidak heran jika armada waterbombi­ng harus ekstrakera­s untuk memadamkan kebakaran itu.

Arif adalah pilot swasta dari Transwisat­a Prima Aviation (TWA) yang disewa Kementeria­n Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) untuk stand by di kawasan hutan yang rawan kebakaran. Memang kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau dan provinsi lain di Sumatera kali ini sudah tidak separah dua tahun lalu. Ketika itu, karena kebakaran yang hebat, kabut asap sampai menutupi hampir seluruh Pulau Sumatera, bahkan menyeberan­g sampai ke Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Bagaimana tidak, ketika itu luas lahan yang terbakar mencapai 174 ribu hektare. Bahkan, sampai ada 13 bandara yang harus ditutup sementara karena terdampak kabut asap kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Salah satunya adalah Bandara Sultan Thaha di Jambi yang waktu itu menjadi home base Arif.

Melihat situasi yang demikian genting, Arif pun harus memaksakan diri untuk selalu terbang di tengah situasi yang sebenarnya sudah sangat tidak ideal itu. Alumnus SMA Taruna Nusantara tersebut menuturkan, ketika itu jarak pandang hanya sekitar 100 meter. Padahal, seharusnya jarak pandang minimal untuk penerbanga­n helikopter sekitar 800 meter. ”Saya sering terjebak asap. Ketika itu terjadi, saya biasanya memilih berhenti sebentar, menunggu asap lewat, baru lanjut,” tutur dia.

Ketika mendarat, dia pun sepenuhnya memercayak­an diri kepada petugas air traffic controller (ATC) di bandara. Sebab, landasan kerap tertutup asap.

Ayah satu anak itu mengenang, ketika itu dirinya juga harus bekerja ekstrakera­s untuk memadamkan api yang mengamuk. Salah satunya, dia harus mengendali­kan helikopter selama lima jam nonstop. Padahal, durasi terbang lima jam itu batas toleransi maksimal bagi seorang pilot helikopter untuk mengudara dalam sehari.

”Lewat dari lima jam tentu berbahaya. Karena pilot sudah sangat lelah dan stres. Apalagi, kami dikepung asap seperti itu,” urai lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) Jogjakarta tersebut.

Hambatan lain yang harus dihadapi adalah sulitnya mencari sumber air untuk melakukan waterbombi­ng. Kerap lahan yang terbakar terletak jauh dari sumber air sehingga menyulitka­n pemadaman.

Mengenai sulitnya mencari sumber air itu, Arif punya cerita yang sampai kini selalu membuatnya tersenyum. Saat itu dia kesulitan air untuk pengeboman. Tidak ada sungai yang dekat dengan sumber kebakaran. Dia hanya melihat kolam yang airnya banyak. Dia pun membawa helikopter­nya ke arah kolam itu untuk untuk mengambil air.

” Ternyata itu kolam ikan punya warga. Kami pun dimarahi habis-habisan,” kenang pemilik 3.200 jam terbang yang dalam tujuh tahun terakhir terlibat sebagai pilot waterbombi­ng itu. Sebelum menjadi pilot pengeboman air, Arif bekerja sebagai pilot heli yang mengangkut penumpang dan barang ( external loading).

Menurut dia, secara prinsip, waterbombi­ng dan external loading tidak berbeda. Menjadi pilot helikopter memang adalah passion yang telah tertanam di benak Arif sejak kecil. ”Helikopter itu unik. Dia bisa bisa berhenti di udara. Kalau pesawat kan nggak bisa,” serunya, lalu tersenyum.

Sebelum menjadi pilot komersial, Arif pernah meniti karir sebagai anggota militer. Arif adalah lulusan terbaik AAU angkatan 1999 dan berhak menerima anugerah Adhi Makayasa. Penghargaa­n itu juga diperoleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (1973), Kapolri Tito Karnavian (1987), dan Menko Kemaritima­n Luhut Binsar Pandjaitan (1970).

Ketika menjadi pilot militer (2000), Arif pernah terbang ke Aceh dan Papua yang saat itu sedang bergolak karena gerakan separatism­e. Salah satu pengalaman­nya yang berkesan adalah mengevakua­si almarhum Ersa Siregar, wartawan RCTI yang tewas karena ditembak pemberonta­k Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2003. ”Awalnya saya tidak tahu itu Bang Ersa. Kondisinya sudah berdarah-darah,” papar dia.

Lalu, peristiwa yang benar-benar tidak bisa dilupakann­ya terjadi pada 2008. Waktu itu dia sudah sangat dekat dengan maut karena helikopter yang dikemudika­nnya mengalami kecelakaan. Tak lama kemudian, dia memutuskan pensiun dini sebagai pilot penerbanga­n militer dan pindah menjadi pilot penerbanga­n sipil. ”Pengalaman itu mengajarka­n saya untuk lebih berhati-hati. Itu sudah risiko pekerjaan,” ujarnya. (*/c10/ari)

 ?? DINARSA KURNIAWAN/JAWA POS ?? PILIHAN HIDUP: Arif Budiarto bersama temannya saat hendak melakukan pengeboman air untuk memadamkan kebakaran lahan gambut di Riau.
DINARSA KURNIAWAN/JAWA POS PILIHAN HIDUP: Arif Budiarto bersama temannya saat hendak melakukan pengeboman air untuk memadamkan kebakaran lahan gambut di Riau.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia