Bermain-main dengan Kematian Lukisan
Seratus tujuh puluh delapan tahun setelah pelukis terkenal Prancis Paul Delaroche (1797–1856) mengumandangkan ”kematian lukisan” lantaran terlalu cemas dengan perkembangan fotografi, terutama lewat proses daguerreotype yang sukses secara komersial sepanjang 1839–1860, R. Yuki Agriardi (lahir 1984), Wedhar Riyadi (lahir 1980), dan Wisnu Auri (lahir 1981) tampak seperti penggali kubur abad ke-21 yang menemukan tulang belulang kecemasan eksistensial abad ke-19 itu berserakan di benak artistik mereka.
Tak saya tahu seserius apa kecemasan arkais tersebut melanda pikiran tiga perupa yang tinggal dan berkarya di Jogjakarta (Wedhar dan Wisnu) dan Bandung (Yuki) itu, mereka justru berhujah seolah ahli hikmah bertuah dari Eropa sebelum Perang Dunia II, ” When I think about the death of painting, I play.” Hujah itu terpampang sebagai judul pameran lukisan mereka di Ark Galerie, Jalan Suryodiningratan 36 A, Jogjakarta.
Dalam pameran yang berlangsung 17 Januari–26 Februari 2017 itu, Wedhar, alumnus ISI Jogjakarta, memajang tujuh lukisan potret cat minyak dan cat semprot di kanvas. Enam karya itu berjudul Flesh, Eye Candy 1–3, Hairy, dan Uncommon Portrait 1–2. Juga ada satu lukisan berukuran 140 x 200 sentimeter dengan judul Uncommon Portrait 3 yang bertahun 2017.
Sementara itu, Yuki, lulusan University of the Arts London, membawa lima potong lukisan lanskap cat vinil dan akrilik di kanvas. Tiga lukisan yang bertarikh 2015 berjudul A Half Day in The Midst of Quest, Koo Kyli Kooky Kook, dan To Revere a Distant Lifelike). Dua lukisan lain merupakan karya 2016, berjudul Right Space, Wrong Place dan Populated Shrubbery Fragments.
Adapun Wisnu, lulusan ISI Jogjakarta, mengusung empat lembar lukisan alambenda berupa buku berbahan akrilik di kanvas bertitimangsa 2016. Empat lukisan itu berjudul Seri Episode Buku 1–4 dan berukuran 140 x 140 sentimeter.
Selain 16 lukisan tersebut, pameran itu menggelar semacam open studio berisi sepotong lukisan lanskap serta delapan lembar lukisan alam-benda berupa kertas, buku, gunting, kotak perkakas, dan lain-lain. Tanpa keterangan media serta sebuah bet pingpong, dua raket tenis lapangan, dan tiga raket bulu tangkis bercorat-coret cat.
Dengan semua itu, pameran tersebut serupa botol antik berisi anggur yang baru diperas. Alih-alih menampilkan praktik artistik seni lukis kontemporer, pameran itu mengetengahkan amalan strategi estetis seni rupawan modern. Yaitu, gandrung mengontraskan diri dengan masa lalu guna mendaku posisi baru dan berbeda.
Sebagaimana sudah saya kemukakan sebelumnya, ”kematian seni” adalah isu baheula dari abad ke-19 yang tak pernah jadi nyata. Isu itu pernah kembali dibangkitkan oleh sejumlah perupa konseptual di Eropa dan Amerika. Antara lain Daniel Buren dan Barbara Rose dalam pameran-pameran mereka yang berwacana the end of painting (berakhirnya lukisan) pada periode 1960-an serta 1980-an. Sebagai wacana, isu itu kuat dan melengking. Tapi, sebagai kritik, isu tersebut sederhana dan lemah.
Terbukti, lukisan masih hidup hingga abad ke-21 ini, bahkan menjadi primadona di pasar seni rupa kontemporer internasional, terutama melalui lukisan-lukisan Gerhard Richter, Lucian Freud, dan Francis Bacon. Lebih dari itu, para penjaja dan pencinta seni rupa sungguhsungguh menikmati ”kembalinya lukisan modern” dari abad ke-19 dan ke-20, terutama lukisan Paul Cezanne, Pierre Auguste Renoir, Vincent van Gogh, Edvard Munch, Gustav Klimt, Willem De Kooning, Pablo Picasso, dan Jackson Pollock di balai lelang-balai lelang besar seperti Christie’s, Sotheby’s, Beijing Poly International Auction Co, China Guardian Auctions Co, serta Bonhams.
Demikian pula di Indonesia. Apa yang terkenal sebagai booming seni rupa pada akhir 2000-an sesungguhnya adalah ledakan ekonomi seni lukis yang tidak hanya membangkitkan lagi nama-nama maestro seni lukis modern Indonesia seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono, tapi juga meninggikan harkat serta martabat, antara lain, Putu Sutawijaya, Nyoman Masriadi, Handiwirman, Rudi Mantofani, Jumaldi Alfi, dan Yunizar sebagai pelukis pencetak uang besar di dunia seni rupa kontemporer Indonesia.
Dengan itu, saya ingin mengatakan, sejak zaman Raden Saleh hingga masa Handiwirman, seni rupa Indonesia tak pernah mengenal dan mengalami isu ”kematian lukisan” atau ”berakhirnya lukisan”. Karena itulah, judul pameran Wedhar, Wisnu, dan Yuki tersebut terbilang keluar dari konteks. Padahal, konteks itu perlu untuk memahami perkembangan estetik dan pencapaian artistik lukisanlukisan mereka.
Apalagi, sebagaimana tersurat dalam lembar kuratorial, pameran itu berkehendak memantik diskusi gigantik dengan pertanyaanpertanyaan serius. Misalnya, bagaimana kita memberi ”makna” pada salah satu medium paling konvensional seperti lukisan? Apakah lukisan masih dianggap sebagai bagian dari seni kontemporer? Lukisan seperti apa yang kontemporer? Apa yang tidak kontemporer? Apakah perlu membuat perbedaan-perbedaan macam itu?”
Pada hemat saya, lukisan-lukisan Wedhar, Wisnu, dan Yuki dalam pameran ini terlalu lugu untuk ditempatkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pencapaian artistik lukisan-lukisan mereka yang bernuansa surealistik (Wedhar), impresionistik (Wisnu), dan formalistik (Yuki) sangat mungkin menggelikan pelukis-pelukis konvensional berkecakapan teknik tinggi tapi miskin wacana.
Itu sebabnya, kecuali ide yang berkarya yang menjanjikan wacana kekinian tentang penglihatan inderawi, sudut pandang insani, dan eksistensi benda-benda, bentuk serta teknik lukisan-lukisan Wedhar, Wisnu, dan Yuki dalam pameran itu terbilang biasa sehingga belum kuasa melakukan terobosan dan pembaruan dalam khazanah seni lukis tanah air.
Maka, bisa dimengerti jika ada satu–dua pemirsa bermata awas lagi terdidik yang menganggap pameran yang diampu Alia Swastika itu lebih besar dalam hal wacana ketimbang karya. Pantaslah bila pameran tersebut membuka sebuah kesempatan melarikan diri yang memungkinkan naluri bermain-main perupa bertukar tangkap dengan keraguan dan kejanggalan ketika capaian artistiknya tak sepadan dengan canggihnya wacana yang diusung kurator pameran. (*)