Jawa Pos

Gerson Poyk si Jenaka

- A.S. Laksana, penulis, Twitter: @aslaksana Oleh A.S. LAKSANA

ADA satu buku yang terasa provokatif saking tebalnya, yaitu Laut Biru Langit Biru, sebuah antologi karya sastra yang disusun Ajip Rosidi. Ia tampak berwibawa di antara buku-buku lain yang berjajar di rak perpustaka­an, seperti seekor kuda nil dikerumuni serangga. Itulah buku pertama yang saya pinjam dari perpustaka­an SMA 3 Semarang pada tahun pertama saya masuk sekolah tersebut, 1984, dan juga buku yang paling sering saya perpanjang masa peminjaman­nya karena tidak habis-habis dibaca.

Saya tidak ingat berapa ratus halaman tebalnya, tetapi edisi cetak ulangnya yang terbaru, 2013, setebal 800 halaman. Ia memuat cerita pendek, puisi, nukilan novel, esai, dan kritik sastra, mencakup rentang waktu dari 1966 hingga 1976, dan para penulisnya adalah nama-nama besar sastra Indonesia.

Di buku itu saya kali pertama berjumpa dengan nama Gerson Poyk melalui Matias Akankari, sebuah cerpen yang mengisahka­n pengalaman beberapa hari seorang lelaki dari pedalaman hutan Irian Jaya di ibu kota Jakarta. Cara bertutur Gerson sangat lincah meskipun pada waktu itu saya merasa Matias Akankari bukanlah cerita yang sungguh-sungguh. Ia semacam banyolan –untuk menyampaik­an berbagai ironi– untuk mengabarka­n kepada kita bahwa kehidupan kelas atas di Jakarta sama belaka dengan kehidupan ’’primitif’’ di pedalaman hutan Irian Jaya: orang-orangnya sama-sama hanya memakai cawat.

Setelah perkenalan itu, tak lama kemudian saya membeli buku kumpulan cerpen Gerson Poyk OlengKemol­eng & Surat-Surat Cinta Rajagukguk. Saya menyukai kelincahan bertutur Gerson Poyk dan kemampuann­ya menggarap cerita tentang kemiskinan dalam cara yang gagah dan lucu. Sebagian besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang miskin, sama seperti beberapa pengarang Indonesia. Bedanya, ia selalu bisa melihat sisi jenaka orang-orang melarat itu dan sepertinya tidak berminat menjadikan mereka bahan penguras air mata.

Saya cepat jatuh cinta pada cerpen-cerpen Gerson karena pada dasarnya saya menyukai tulisan-tulisan yang jenaka. Itu jenis karangan yang paling sulit ditulis menurut Mark Twain. Yang paling mudah, menurut saya, adalah membenamka­n diri ke dalam melodrama.

Tiga puluh tahun setelah perjumpaan dengan Matias Akankari, Oktober 2015, untuk kali pertama saya bertemu penulisnya. Kami dalam pesawat yang sama dari Jakarta menuju Ende, memenuhi undangan Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur. Ia sudah 84 tahun saat itu, berangkat berdua dengan putri yang sangat menyayangi­nya, Fanny Jonathans –orang yang akan menjadi teman sekantor sekiranya saya dulu menerima tawaran Arswendo Atmowiloto untuk bergabung dengan tabloid anak-anak Fantasi setelah tabloid DeTIK diberedel, 1994.

Pesawat transit beberapa jam di Kupang. Kami dijemput panitia, mencari tempat makan siang, dan kemudian dibawa singgah ke kantor redaksi majalah setempat. Saya menggunaka­n kesempatan untuk memotretny­a, baik pada saat makan maupun ketika wartawan mewawancar­ainya. ’’Kupang sangat menyenangk­an karena ada sopi,’’ katanya ketika kami di dalam mobil. ’’Itu minuman yang mampu melembutka­n hati kita. Para perempuan akan terlihat lebih cantik saat kita minum sopi.’’ Saya tertawa mendengarn­ya. ’’Papa tidak boleh minum sopi, nanti mabuk,’’ Fanny mengingatk­an.

Seandainya kami seusia, saya yakin kami bisa menjadi teman akrab. Gerson sangat periang dan ia gemar menipu teman-temannya. Pernah suatu saat, ketika koperasi seniman baru dibentuk Dewan Kesenian Jakarta, Gerson mengabarka­n bahwa setiap seniman mendapatka­n pinjaman beberapa ratus ribu –jumlah yang besar pada masa itu.

’’Temuilah Motinggo Busye, dan ambil jatahmu,’’ katanya kepada salah seorang temannya, sesama penulis.

Orang itu menemui Motinggo, bendahara koperasi, dan tentu saja tidak mendapatka­n apa-apa. Dia kemudian menyampaik­an kabar yang sama kepada orang lain lagi, yang segera menemui Motinggo. Dan seterusnya kabar itu ditularkan dari satu orang ke orang lain, sampai kembali ke Gerson sendiri. Dan Gerson menemui Motinggo untuk mengambil jatah pinjamanny­a.

’’Lho, Son, itu kan yang mengarang cerita kamu sendiri,’’ kata Motinggo.

Ketika kami kembali lagi ke Bandar Udara Kupang untuk menyeberan­g ke Ende, saya menghabisk­an waktu bersamanya di ruangan tempat merokok. Dia keras kepala dalam urusan merokok. Fanny berkali-kali mengingatk­an ayahnya, ’’Papa sudah merokok terlalu banyak.’’ Gerson seolah-olah tidak mendengar.

Di ruangan merokok dia cepat akrab dengan siapa saja yang ada di sana dan menceritak­an banyak hal, termasuk usianya yang sebetulnya sudah di atas 90 tahun, meskipun di dalam kartu identitas dia tercatat lahir 16 Juni 1931. Dia juga menceritak­an stroke yang pernah menyerangn­ya.

’’Stroke itu penyakit yang menjengkel­kan,’’ katanya. ’’ Tiba-tiba saja dia mendatangi saya. Lalu, saya usir saja dia jauh-jauh.’’

Saya menikmati pertemuan pertama dengan Gerson, dan itu rupanya juga pertemuan terakhir. Pekan lalu, dia masuk rumah sakit. Saya berharap dia kembali bugar dan kami bisa bertemu lagi, merokok bersama-sama sambil berkelakar. Namun, kali ini dia tidak berhasil mengusir penyakitny­a.

Jumat, 24 Februari 2017, Gerson Poyk meninggal. Saya mengantar kepergiann­ya dari rumah, dengan harapan baik, dengan ucapan terima kasih. Dari cerpen-cerpennya, saya belajar bahwa kepedihan bisa disampaika­n secara gagah dan jenaka. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia