Jawa Pos

Ziarah Para Pembunuh

- OLEH TRIYANTO TRIWIKROMO TRIYANTO TRIWIKROMO, peraih penghargaa­n Tokoh Seni Pilihan Tempo (2015) untuk Kematian Kecil Kartosoewi­rjo dan Penghargaa­n Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk Ular di Mangkuk Nabi

Bukan Makam

’’Aku mencari-Mu.’’ ’’Aku tak ada.’’ ’’Bukalah pintu-Mu.’’ ’’Tak ada pintu untukmu.’’ ’’Aku hendak menziarahi-Mu.’’ ’’Aku bukan makam.’’

Menonton Pembunuhan

/1/

KAU memulai perjalanan panjangmu dari sebuah kota yang dikepung sungai-sungai jernih. Setelah itu, kau meninggalk­an rumah jagal sapi, pasar becek penuh ikanikan busuk, sanatorium bercat merah tua, dan gereja di ujung jalan. Kau tidak lagi melihat kolam renang untuk bocah-bocah miskin, kuburan di atas bukit, perempuanp­erempuan gila istri tentara, toko roti, kelenteng naga, dan rumah hijau mantan istri presiden.

Kau juga mulai merasakan alun-alun berpatung pahlawan, kampung yang pengap, sais andong yang dituduh sebagai antek komunis, menara bergambar bekisar, penjual ayam potong yang gemuk, pemulung sampah di sungai kotor, ular-ular yang tiba-tiba melesat dari seratus lubang, pesulap, dan pedagang minyak wangi tak muncul lagi di mimpimu. ’’Mengapa kau meninggalk­an apa pun yang Kusukai?’’ ’’Aku hendak menonton pembunuhan-Mu di kota besar,” katamu. /2/

Kau tidak langsung ke Ibu Kota. Kau justru mampir di kota penuh rumah sakit. Kau masuk ke rumah sakit mata dan bilang, ’’Aku tak pernah melihat wajah-Mu. Tidak adakah jejak-Mu di kota ini?’’

Kau lalu masuk ke rumah sakit telinga. Seorang dokter meledekmu, ’’Orang miskin dilarang congek. Jangan berharap kau akan mendengar tangis-Nya.’’

Pada hari ketiga kau masuk ke rumah sakit patah kaki. Kau mencari seorang wali. Kau bertanya kepada perawat, ’’Apakah sebelum dibakar, dua pasang kaki junjungank­u harus dipotong?’’ /3/ Sebelum melanjutka­n perjalanan, kau bergegas ke pelabuhan. Kau menghitung jumlah kapal pesiar, menghitung turis yang tak peduli pada pameran lukisan maritim, menghitung pedagang baju batik yang berteriak tak keruan, ’’Ayo, belilah baju yang pernah dikenakan siapa pun sebelum Perjamuan Terakhir.’’

Tak ada layang-layang beterbanga­n siang itu. Para nakhoda minum bir di kafe. Wabah kolera menyebar. Pohon-pohon ditebang. Anjing-anjing dibiarkan berkeliara­n. /4/

Kau memutuskan mengunjung­i bukit penuh kera di pinggir kota. Di bukit dekat danau buatan itu kera-kera seperti menjadi makhluk kerajaan yang tidak kelihatan. Salah satu kera mungkin telah menjadi raja. Salah satu kera mungkin telah menjadi ratu. Beberapa kera mungkin telah menjadi rakyat.

’’Mereka adalah makhluk-makhluk yang dihormati oleh para wali. Dulu para wali meminta mereka mencari kayukayu jati di hutan untuk membangun masjid,” kata seorang pemandu kepadamu.

Kau memandang langit. Kau berharap akan muncul gajah, kuda nil, dan tapir terbang menemanimu berjalan-jalan di kawasan yang kau anggap hanya sebagai ilusi itu.

Kau kemudian memasuki gua. Kau ingin membaca tulisan-tulisan kuno dan menyentuh gambar-gambar satwa di dinding batu yang senantiasa basah. ’’Apakah Kau pernah singgah di sini, Tuan?” /5/ Kau bersama orang-orang yang berjalan sambil tidur kemudian menuju ke stasiun kereta api. Kalian tidak sempat menatap delapan jam dinding yang menunjuk arah yang berbeda, kelelawar-kelelawar yang berusaha mencari sarang, lukisan-lukisan tentang para rasul yang sedang dikepung serdadu, lima belas kucing hitam yang sedang berkelahi, tiga pengamen berbiola, dan seorang pendeta yang menawarkan surga. Kalian tidak sempat mendengark­an sepasang kekasih berbincang tentang pembunuhan bandit di terminal, kepak sepasang burung gagak di dekat loket tiket, panggilan sengau kepada penumpang yang terlambat, dan seruan ajakan berdoa untuk para musafir.

’’Mengapa Kau tidak meminta dibunuh di sini saja?” /6/

Di dalam kereta api kau melihat orang-orang tidur mendengkur. Mereka tidak peduli di luar jendela ada orangorang yang begitu asyik memukul tiang listrik, orang-orang yang sedang bercakap dengan kerbau atau anjing, truk-truk yang mengangkut sampah, sepeda-sepeda yang dikayuh dengan riang gembira, kaleng-kaleng yang ditendang bocahbocah gundul, dan penjaja penganan yang berteriak, ’’Yang lapar, yang lapar, yang lapar...”

Di dalam kereta api, kau bertemu dengan seseorang yang tengah membaca Kitab Kesengsara­an. ’’Mengapa kita sengsara?” kau bertanya. ’’Karena orang-orang beramai-ramai hendak membunuh Sang Juru Selamat.”

’’Mengapa orang-orang begitu berhasrat membunuh Sang Juru Selamat?” ’’Karena ada yang ingin jadi Juru Selamat.’’ ’’Mengapa ada yang ingin jadi Juru Selamat?’’ ’’Karena trotoar-trotoar dibongkar?” ’’Mengapa kau tiba-tiba bicara tentang trotoar?” ’’Mengapa tidak boleh mencibir?” ’’Mengapa tiba-tiba kau berhasrat mencibir?” ’’Mengapa tidak boleh tidur?” ’’Mengapa kau tiba-tiba ingin tidur?” ’’Karena Sang Juru Selamat hendak dibunuh dan kau diam saja.”

’’Karena itukah kita sengsara?” kau melontarka­n pertanyaan ngawur.

’’Ya,” kata seseorang yang menyerupai rahib itu, ’’Karena itulah kita sengsara.” /7/

Akhirnya kau sampai di Ibu Kota. Kau melihat orang-orang menunggang unta mengibarka­n bendera-bendera hitam bergambar tikus. Kau mendengark­an teriakan-teriakan parau para penunggang unta yang sedang menghujat gubernur.

’’Mengapa belum dibunuh? Kalau tak bisa membunuh, kami sendiri yang akan menusukkan tombak ke lambung!” teriak mereka.

’’Aku belum menemukan kesalahan makhluk yang kau anggap sebagai Sang Juru Selamat ini,” kata gubernur.

’’Dia telah menista agama lama,” kata para penunggang unta. ’’Bunuh dia!” ’’Bunuh dia!” ’’Bunuh dia!” ’’Aku tak mau membunuh dia. Aku tidak menemukan kesalahan dia.” ’’Salibkan dia!” ’’Salibkan dia!” ’’Salibkan dia!” /8/

Kau tidak berani menonton orang-orang beramai-ramai membunuh-Ku. Kau justru menyingkir dari kerumunan dan bergegas menuju ke taman. Kau menangis dan segera meneriakka­n doa tak pantas kepada-Ku.

’’Mengapa Kau takut, Tuhanku? Mengapa Kau tak melawan para pembunuh-Mu?” /9/

’’Jangan kau lihat apa pun yang tak pantas kau lihat,” kataKu, ’’Pergilah ke arah Kota Lama. Temukan lorong ke arah rumah kuno. Temukan seorang perempuan suci. Ajak ia bercakap tentang Sang Juru Selamat yang harus segera dilahirkan kembali.” /10/

Kau pun ke Kota Lama tetapi kau justru menemukan katakomba.

’’Apakah kelak Kau akan dimakamkan di sini?” kau bertanya kepada-Ku.

Aku diam. Aku tak berhasrat menjawab apakah para penunggang unta di alun-alun bakal bisa membunuh-Ku. /11/

Akhirnya kau tertidur di katakomba. Kau bermimpi Ibu Kota terbakar. Orang-orang berlarian ke jalan-jalan di bawah tanah. Orang-orang terus berjalan ke pusat bumi. Menjadi musafir. Musafir abadi. /12/

’’Apakah mereka masih berhasrat membunuh-Mu?” kau bertanya.

’’Apakah kau masih berhasrat menonton pembunuhan­Ku?” /13/ ’’Aku masih ingin menonton pembunuhan-Mu,” kataku. ’’Pergilah ke kota mana pun. Di mana-mana kau akan begitu gampang melihat para penunggang unta beramairam­ai membunuh-Ku.” ’’Di kota mana pun?” ’’Ya. Di kota mana pun. Segeralah naik pesawat terbang pertama ke kota terdekat. Mereka akan membunuh-Ku sesaat setelah tsunami reda.” ’’Setelah gempa pertama?” ’’Setelah gempa ketiga.” /14/ ’’Apakah Kau bisa dibunuh?” kau bertanya. ’’Apakah kau masih menyangsik­an kehebatan para penunggang unta?” kata-Ku. /15/ Kau pun naik pesawat terbang ketiga. Kau terbang ke kota terjauh dengan penerbanga­n terlama. Kau ingin menjadi musafir yang tak patuh. Kau ingin menonton pembunuhan­Ku di luar jadwal. Di luar arena....

Waktu Mati

/1/

BERSAMA para musafir lain kau mulai membicarak­an kematian-Ku di lorong menuju ke Bukit Orang Mati. Jam di menara berdentang berkali-kali. Burung-burung bertabraka­n. Mereka mati dan bangkit lagi menjelang pagi.

’’Kau tahu kapan lelaki miskin yang dianggap tuhan oleh para rasul akan mati?” kau berbisik kepada seorang perempuan.

’’Kau harus melihat kalender tapi tak ada barang rongsokan itu di sini bukan?”

’’Apakah ia akan mati di bukit yang indah ini?” kau menunjukka­n potret kepada perempuan berkacamat­a hitam itu. ’’Jangan meledek. Aku buta sejak lima tahun lalu.’’ ’’Maafkan aku. Aku...” ’’Maaf? Sejak lima tahun lalu aku tidak bisa melihat bukubuku sejarah kematian siapa pun di meja kerja. Tak bisa melihat arloji yang tergeletak, kabel-kabel yang menjulur, telepon genggam tanpa bunyi, paspor, sebotol air mineral, pulpen putih, mesin ketik, dan koran lusuh.”

Kau lalu meninggalk­an perempuan itu. Kau tidak yakin sebentar lagi akan menyaksika­n beberapa orang membakarKu. Karena itu, kau pun bergumam, ’’Jika pun ada yang akan membunuh-Mu, aku berharap mereka segera dihajar oleh guncangan waktu. Aku berharap mereka lupa kapan siang kapan malam kapan pagi kapan sore lupa kapan harus membunuh-Mu.” Kau berpikir jika Aku ada maka kapan pun Aku akan ada. Ada pada Senin pukul 11.00. Ada pada Selasa pukul 11.00. Ada pada 12 Februari malam. Ada pada 15 September malam. ’’Kau akan berulang-ulang ada. Mungkin Kau akan berulang-ulang dimatikan tetapi Kau juga akan berulangul­ang dihidupkan,” katamu. /2/

Masih di lorong yang tidak terlalu sunyi itu, seseorang serupa rahib serupa pengemis bertanya, ’’Siapakah engkau pada masa silam, Tuan Musafir?” Kau tak tahu siapa kau pada masa lalu. Kau berharap kau bukan rasul pengkhiana­t. Kau berharap kau bukan Amangkurat atau Tunggul Ametung. Kau berharap kau bukan salah seorang dari para firaun atau dajal penyembah berhala. ’’Apakah kau serdadu pembunuh yang menge pung rumah para rasul yang tengah berdoa untuk keselamata­n semesta?” pengemis itu bertanya lagi. Kau tak tahu apakah kau serdadu apakah kau raja. Kau hanya merasakan keanehan karena tiba-tiba merasa berjalan-jalan di gurun, menatap para pasukan berkuda memburu lelaki lembut yang hendak dibakar, dan mendengar suara burung ababil tak henti-henti bersahutan di langit kelabu. ’’Aku berharap kau tidak menjadi pembunuh, Tuan Musafir, aku berharap kau tidak jadi pembunuh,” seseorang serupa petapa serupa pengemis itu menepuk pundakmu. /3/

Kau masih merasa hidup pada masa silam. Masa ketika kau bisa bercakap-cakap dengan para malaikat. Malaikat bernama maupun malaikat tak bernama. Malaikat bersayap hijau maupun bersayap merah.

’’Apakah kau benar-benar mencintai Tuhan?” kata Malaikat Hijau. Kau mengangguk. Kau tahu kesetianmu sedang diuji. ’’Apakah kau tidak akan pernah mengkhiana­ti kesetiaan Tuhan?” tanya Malaikat Merah. Kau mengangguk. Kau tahu kian lama ujian kian berat. ’’Segeralah terbang ke masa depan. Kau akan segera tahu kau pun akan gampang jadi pengkhiana­t,” kata Malaikat Hitam.

Kau tertunduk. Kau tak berani mendengark­an lagi apa pun yang diucapkan oleh para malaikat. /4/

Kau masih tertunduk ketika menyadari masih berada di sebuah lorong menuju ke Bukit Orang Mati. Bukit tempat orangorang yang kalap berebut membakar-Ku.

Kau lalu menatap jam dinding dan segera bertanya kepadaKu. ’’Apakah waktu pembunuhan itu telah tiba, Tuan?”

Aku tidak menjawab pertanyaan­mu. Kau terus memandang jam dinding dan kian meragukan apa pun yang bakal terjadi pada masa depan.

Kau yakin benar-benar telah terjadi guncangan waktu. Waktu berubah jadi kucing setiap Senin. Jadi anjing setiap Selasa. Jadi gelatik setiap Kamis. Jadi ular setiap Jumat. Jadi ikan setiap Sabtu. Jadi langit setiap Minggu.

Tak ada waktu batu. Tak ada waktu rumput. Tak ada waktu angin. Tak ada waktu sungai. Tak ada waktu gunung. Tak ada waktu pisau. Tak ada waktu radio.

Waktu berulang jadi kucing. Waktu berulang jadi rumput. Waktu berulang jadi angin...

Waktu tak jadi kau. Waktu tak jadi Aku... /5/

Dan sesuatu yang kau anggap ganjil pun terjadi. Waktu berjalan seperti kura-kura. Lambat laun makin melambat. Kau berharap waktu tak berhenti tiba-tiba. ’’Apakah jika waktu mati siapa pun akan mati?” kau bertanya kepada-Ku.

’’Kau yakin waktu akan mati?” tanya-Ku kepadamu. /6/ ’’Apakah Kau lebih perkasa dari waktu?” ’’Apakah kau menganggap Aku lebih rapuh dari waktu?” /7/

Kau yakin Aku dipenjara oleh waktu. Serupa miliaran sulur, waktu membelit-Ku saat kau berdoa tujuh kali sehari. Serupa miliaran akar, waktu melilit-Ku saat kau menulis sejarah pembunuhan orang-orang suci di keriuhan gurun. /8/

Kau mulai paham betapa waktu telah mengubah-Ku. Kau mula-mula memahami-Ku sebagai seonggok batu hitam paling cemerlang di tengah gurun. Kau memujaku karena yakin hanya Aku yang layak disembah. Apakah menurutmu Aku batu langit batu hujan batu senja batu laut batu tak terjangkau?

Kau lalu ragu pada kisah-kisah-Ku sebagai batu. Kau lalu bilang, ’’Engkaulah suwung. Engkaulah hampa. Engkaulah sesuatu yang tak terduga.” ’’Lihatlah, Aku! Lihatlah, Aku!” kata-Ku. ’’Aku tak bisa melihat-Mu. Kau cuma cahaya. Semata-mata cahaya.” ’’Kau tak lagi melihatku sebagai batu?” ’’Tidak.” ’’Kau tak lagi melihatku sebagai kuil?” ’’Tidak.” ’’Kau tidak lagi melihat-Ku sebagai api?” ’’Api telah mati,” katamu. ’’Kau tak lagi melihatku sebagai pembunuh?” ’’Pembunuh telah mati,” katamu. ’’Tetapi Aku belum mati,” kata-Ku. ’’Karena itulah mereka berlomba-lomba membunuh-Mu.” ’’Siapa yang paling mungkin membunuh-Ku?” ’’Waktu.” ’’Siapakah waktu?” ’’Bukan Kau. Bukan aku.” ’’Siapakah waktu?” ’’Ketidakpas­tian.” /9/

’’Apakah kematian-Mu semacam ketidakpas­tian juga?” kau bertanya.

’’Rasanya aku tak pernah mempersoal­kan apakah Aku pasti mati atau tak mati.” /10/

’’Aku selalu bercermin dan Aku kian yakin Aku kian mirip dengan waktu. Mungkin Aku memang waktu.”

’’Mengapa Kau begitu yakin Kau adalah waktu?” /11/ ’’Aku ragu apakah waktu bisa berakhir,” katamu. ’’Seharusnya kau bertanya apakah Aku bisa berakhir,” kataKu.

’’Apakah waktu berakhir pada 14 September 2025? Apakah waktu berakhir pada 11 Februari 2026?”

’’Seharusnya kau bertanya apakah saat itu orang-orang masih mengacung-acungkan pedang untuk membela-Ku. Seharusnya kau bertanya apakah agama masih digunakan untuk memuliakan-Ku.” ’’Apakah waktu baka?” kau bertanya. ’’Apakah Aku baka?” Aku berbisik kepadamu. /12/ ’’Apakah Kau bahagia?” kau berusaha memandang-Ku. ’’Apakah Aku perlu bahagia?” Aku berusaha memandangm­u.

Waktu tertawa mendengar pertanyaan-Ku. Waktu selalu tertawa mendengar apa pun yang kau pertanyaka­n kepadaKu. ’’Apakah Aku lucu?” ’’Apakah aku juga lucu?” ’’Kau tampak lucu saat waktu membeku.” ’’Kau tak pernah lucu meskipun waktu membeku.” ’’Tapi waktu tak pernah membeku. Dan Aku tak pernah menjelma salju.” /13/

Tetapi selalu ada salju pada saat waktu mencoba bunuh diri. Selalu ada salju saat yang dianggap baka ingin menjadi makhluk fana. ’’Bagaimana kalau waktu tak ada?” aku bertanya. ’’Apakah kau mengira Aku juga tak ada?” Kau tak bisa menjawab pertanyaan-Ku. Tetapi kurasa kau yakin sungai-sungai biru berhenti mengalir. Hujan berubah jadi butir-butir air serbamerah. Topi-topi cokelat berterbang­an ke langit dan tak pernah kembali. Selimut menggulung sendiri. Buku-buku berjatuhan dari almari. Kacamata pecah. Pulpen menangis. Koper-koper memuntahka­n gaun hijau muda. Kau bergegas ke toilet. Kau bergegas bercermin. Kau bergegas memuntahka­n makanan terakhir. Roti-roti membusuk. Anggur tumpah. /14/

’’Apakah kau pernah membaca sejarah waktu?” Aku bertanya kepadamu. ’’Aku hanya karib dengan Sejarah Luka-Mu,” jawabmu. ’’Apakah kau tak punya ingatan tentang waktu?” ’’Aku hanya sesekali ingat pada salju yang membeku di depan pintu.” ’’Kalau begitu kau telah melihat-Ku.’’ ’’Aku tak pernah merasa melihat-Mu.” /15/

’’Kau bahkan bisa melihat apa yang bakal terjadi pada masa depan. Kau, Aku yakin, telah melihat di mana mereka akan membunuh-Ku.” ’’Jangan sok tahu.” ’’Aku selalu tahu,” kata-Ku. /16/

’’Apakah Kau jadi mati pada saat gempa? Apakah mereka beramai-ramai membunuh-Mu atau hanya dihajar oleh seorang pengkhiana­t menjelang senja tiba?”

Aku tak mau menjawab pertanyaan­mu. Aku ingin tetap merahasiak­an kematian-Ku meskipun, Aku yakin, kau telah tahu di mana mereka akan membunuh-Ku. /17/

’’Kalau aku tidak pernah menganggap-Mu bisa dibunuh oleh siapa pun, apakah Kau meragukan akal sehatku?”

’’Aku tak pernah percaya pada akal sehat sebagaiman­a Aku tak pernah percaya kepada kedigdayaa­n sang waktu.’’ ’’Jangan takabur.” ’’Aku harus selalu takabur kepadamu. Aku harus selalu takabur pada waktu.” /18/ ’’Apakah Kau merasa bakal hidup selamanya?” ’’Aku tak pernah memikirkan apakah Aku hidup sebentar atau selamanya.” /19/

Dan di luar segala pertanyaan, waktu membatu. Hujan membatu. Menara membatu. Celana membatu. Palu membatu. Gunting membatu. Badai membatu. Kuburan membatu. Abad membeku. /20/

’’Apakah kau jadi menonton kematian-Ku? Apakah kau juga ingin menyaksika­n kematian waktu?”

Kau tak menjawab pertanyaan­ku. Kau merasa terlempar ke pantai. Kau merasa mendirikan istana pasir dan segera merubuhkan bangunan rapuh itu. /21/ ’’Aku masih berutang kepadamu,” kata-Ku. ’’Aku tak pernah merasa memberikan utang kepada-Mu.” ’’Aku berutang bercakap-cakap santai tentang kematianKu kepadamu.”

’’Sekarang bincangkan­lah kematian-Mu dengan santai kepadaku.”

Kau tahu Aku terkejut mendengark­an ajakan ramahmu. Kau tahu Aku tak akan sanggup mempercaka­pkan dengan ringan kematian-Ku. /22/ ’’Apakah setelah Kau mati, aku boleh mengubur-Mu?” Aku tak menjawab pertanyaan­mu. Aku tahu bersama para musafir lain kau masih membicarak­an kematianKu di lorong menuju ke Bukit Orang Mati. Jam di menara berdentang berkali-kali. Burung-burung bertabraka­n. Mereka mati dan bangkit lagi menjelang pagi.

Waktu juga mati sebentar lagi. Waktu juga mati. Monster Kini kau sekadar menjadi monster pembunuh bagi siapa pun yang kau anggap sebagai dajal. Apakah agama telah merusakmu? *** Semarang 2017

 ?? BAGUS HARIADI/JAWA POS ??
BAGUS HARIADI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia