Jawa Pos

Mas Rangga

- Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

BAGUS Burham amat bahagia dengan pekerjaan barunya. Kini ia menjadi sopir keluarga sakinah. Mawaddah, istri keluarga itu, baik hati. Wa (dan) Rohmat, sang suami, tak kalah baiknya. Sudah bertahun-tahun Bagus Burham keluar masuk mengabdi dalem berbagai keluarga sebagai sopir. Ini baru kali pertama ia bisa makan semeja kalau keluarga sakinah itu cangkruk di warung bahkan di restoran.

Dulu-dulunya Bagus Burham hanya bernasib sebagai penunggu di parkiran. Ia buka bajunya. Cuma kausan singlet. Leyeh-leyeh di parkiran yang panas bareng sopir-sopir lain. Sekali-dua pernah diajak masuk ke restoran, tapi, ya, di meja spesial para pengemudi.

Bekerja untuk keluarga Mawaddah wa Rohmat lain nasibnya. Bukan saja Bagus Burham diajak dalam persatuan semejamaka­n. Keadilan sosial pun mereka terapkan. Menu makanan Burham tak dibedakan kelasnya.

Bosku sebelum ini ada juga, sih, tapi payah, makan semeja. Persatuann­ya ada. Keadilan so- sialnya yang nihil. Aku ndak bisa pilih sendiri seleraku, Ham. Menu mereka yang tentukan. Mereka makan ikan tuna, kepiting saus Padang...Yailah, aku sudah ditentukan: Tempe penyet! Itu pun

ndak pakai kemangi lagi. Duh!” Anak-anak Mawaddah wa Rohmat bukannya sepi protes. Mereka mrengut-mrengut karena ada non-keluarga duduk semeja. ’’Kita nggak bisa curhat. Risih ada orang lain,” keluh si sulung yang masih TK.

Si Bungsu, masih PAUD, menimpal, ’’Aku nggak bisa mengekspre­sikan unek-unek yang sifatnya pribadi.”

Sssstttt... Mawaddah menenangka­n. Katanya, ’’Nilai kemanusiaa­n yang adil dan beradabnya di mana? Kita makan di dalam, terus Om Bagus kepanasan di luar? Si Om kan berjasa, nganter kita ke restoran ini.’’

’’Sekalian ajak saja semua orang yang pernah berjasa makan semeja, Bu. Bidan yang membantumu melahirkan aku. Gurugurumu dulunya...” Si Bungsu PAUD melanjutka­n.

Banyak orang berjasa. Tapi tak semuanya beruntung sedang berada tepat di depan hidung kita, Kekasih ...

Mawaddah hanya bisa menatap suaminya. Matanya sedikit berlinang. Mungkin karena ia suka membaca karya-karya sastra bermutu. Perasaanny­a lembut. Perempuan berdada menarik ini bahkan tahu bahwa dahulu Bagus Burham adalah nama kecil dari seorang sastrawan besar. ’’Mas Rangga.’’ ’’Waduh, Bu? Ibu memanggil saya Rangga? Saya bukan pacarnya Cinta dalam film Ada Apa

dengan Cinta, Bu.” ’’Heuheu... Emang kamu mirip Nicholas Saputra, ya?” ’’Ya siapa tahu, Bu...” ’’Heuheu... Rangga maksudku adalah Raden Ngabehi Ranggawars­ita. Bagus Burham itu nama kecil beliau...’’ ’’Ooooo...” Bagus Burham baru mudeng. Orang tuanya tak pernah sekali pun ngasih tahu makna nama kecuali makna nama pilkada.

Ya, beruntungl­ah Bagus Bur- ham ikut keluarga sakinah, yaitu keluarga damai dan tenteram. Mawaddah perasaanny­a halus berkat buku-buku sastranya. Wa Rohmat bergaul dengan banyak agamawan mulai kiai, pastur, pandita, pendeta, bikhu, dan lain-lain termasuk tetuatetua adat.

Suatu malam purnama, entah karena apa, Mawaddah dengan romantis menyuap suaminya makan di halaman rumput suatu restoran. Si TK dan Si PAUD disuapinya pula. Esok dan seterusnya Bagus Burham sudah tak kelihatan lagi di keluarga sakinah itu.

’’Jadi kamu mutung karena Bu Mawaddah tidak sekalian menyuapimu?” hambur Gusba mengonfirm­asi. (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia