SPESIALIS KEJAYAAN INSTAN
LONDON – Sir Matt Busby dan Sir Alex Ferguson adalah dua pelatih legenda di Manchester United. Namun, keduanya baru dapat memberikan trofi pertama setelah lebih dari tiga musim mengawali rezimnya di klub berjuluk Setan Merah tersebut. Bersama Jose Mourinho, fans tak perlu menunggu selama itu. Mourinho tak membutuhkan waktu lama untuk mengoleksi trofi. Dia merupakan spesialis urusan meraih kejayaan instan. Setelah pada awal musim mempersembahkan trofi Community Shield, kini dia membawa United ke final Piala Liga (EFL Cup) melawan Southampton di Wembley malam nanti
’’Saya tidak sabar memenanginya,’’ jelas Mourinho kepada
Dia memiliki modal 100 persen dalam final Piala Liga. Tiga kali final, tiga kali pula Chelsea dibawanya menjadi juara di turnamen kelas ketiga di Inggris itu. Lagi pula, United juga mempunyai rekor bagus setiap kali memainkan final-final domestiknya di Wembley.
Sejak 2009, United tiga kali memainkan laga final di Wembley. Dua di Piala Liga dan sekali di Piala FA. Plus, United selalu sempurna dalam tiga laga di Wembley dalam sepuluh bulan terakhir. Mulai semifinal dan final Piala FA musim lalu hingga Community Shield pada Agustus lalu.
’’Saya ingin menang. Saya ingin bermain. Saya ingin tantangan. Saya senang bermain di final dan laga yang besar. Saya ingin merasakan tanggung jawab yang besar. Itu saja,’’ kata asal Portugal itu. Semudah itukah jalan yang ditempuh pelatih 54 tahun tersebut menuju legenda di United? Lupakan keunggulan
United atas Southampton dalam sepuluh laga terakhir di semua ajang. Dari sepuluh laga, 60 persen menang. Ingat, Soton –sebutan Southampton– itu adalah pembu- nuh raksasa selama bertarung di EFL Cup. Pada babak kelima, Arsenal menjadi korban 0-2. Lalu, di semifinal, Liverpool dua kali dipermalukan dengan agregat gol 2-0.
Dari tiga laga melawan raksasa itu, kesamaannya, Soton bisa menang tanpa kebobolan satu gol pun. ’’Sungguh ini laju yang fenomenal. Sebagai sebuah tim, mereka sangat fenomenal,’’ ungkap Mourinho. Nah, pertanyaannya, apakah United menjadi raksasa ketiga yang dipecundangi Soton?
Belajar dari beberapa laga terakhir Steven Davis dkk, ada celah di pertahanan mereka. Terutama komunikasi antara dua bek tengahnya, Maya Yoshida dan Jack Stephens. Lima gol terakhir yang menerobos gawang Fraser Forster terjadi karena kelengahan keduanya. Contohnya, saat tumbang 1-3 oleh West Ham (4/2).
Andy Carroll menjebol gawang Fortser dengan memanfaatkan
yang melewati Yoshida-Stephens. Celah itu bisa dimanfaatkan Zlatan Ibrahimovic yang sering mencetak gol pada laga final turnamen domestik. Di Paris Saint-Germain (PSG), empat gol dicetak Ibra dari dua laga final. Coupe de la Ligue 2015 dan Coupe de France 2016.
Mourinho hanya kehilangan Henrikh Mkhitaryan yang cedera
saat United menjalani kedua 32 Besar Europa League kontra Saint- Etienne (23/2). Minus Mikhi, sapaan akrab nya, peran sebagai nomor sepuluh bakal menjadi milik Paul Pogba. Kebiasaan Pogba mengirimkan yang bisa diharapkan menjadi awal tiap gol ke gawang Soton. Kekuatan Soton pada era Claude Puel ini terletak pada gaya bermainnya yang mengandalkan Musim ini, rata-rata mereka mencatatkan persentase penguasaan bola di angka 37 persen. Gol per laganya saja hanya 1,1. Oriol Romeu yang menjadi benteng sebelum Pogba atau Ibra mencoba mengirim bola Romeu jadi gelandang berpengaruh di dalam formasi 4-2-3-1 atau 4-3-3-nya Puel. Perannya seperti Claude Makelele. Capaian intersepnya musim ini menyamai Virgil van Dijk dengan 54 kali. United harus waspada terhadap motivasi Soton. Sebab, ini adalah kans mereka untuk menyudahi periode 41 tahun tanpa trofi apa pun sejak Piala FA 1976. Saat itu, klub yang dipecundanginya adalah United. ’’Itu memang sudah lama terjadi, 1976. Alangkah indahnya jika kami mengulangi kembali hasil bagus itu,’’ ujar Puel dalam nya di Staplewood Campus, Southampton (24/2). (ren/c23/ham)
PERTENGAHAN pekan lalu menjadi momen paling membahagiakan bagi Chiara Biasi. Kebahagiaan pertama didapat karena kekasihnya, Simone Zaza, mencetak gol keduanya di Valencia. Tepatnya ketika Valencia mengalahkan Real Madrid 2-1 di Mestalla Kamis dini hari lalu WIB (23/2).
Kebahagiaan kedua muncul setelah Biasi merilis otobiografinya berjudul pada Rabu pagi waktu Milan (22/2). ’’Buku ini akhirnya terwujud setelah bertahuntahun terhenti dan ditunda. Ini kali pertama saya sedikit terbuka,’’ tulisnya dalam caption di akun nya, @chiarabiasi.
Dilansir perempuan berusia 27 tahun itu bercerita tentang masa lalunya yang sulit. Terutama saat menderita
di usia muda, 20 tahun. ’’Selama 12 bulan, saya hanya hidup dengan kortison. Penyakit ini sudah membuat rumit hidupku. Begitu pun sekolahku. Berat badanku sampai turun 10 kilogram dan depresi,’’ tuturnya saat diwawancarai majalah
Selama sakit itulah, Biasi rajin menulis dan dapat ide menjadi bloger. Dari situ, dia dapat menuangkannya menjadi sebuah otobiografi setebal 160 halaman tersebut.
Dalam otobiografi tersebut, Biasi mengungkapkan semua rahasia dalam hidupnya itu secara alfabetis. (ren/c19/ham)