Shock, Ibu kena stroke
Jeruji besi menjadi muara bagi mayoritas pelaku peredaran narkoba. Narapidana bisa jadi merasa kebebasannya dibatasi. Namun, beban berat sesungguhnya dipikul keluarga.
’’NAK, sekarang jam berapa?’’ tanya seorang perempuan paro baya kepada Jawa Pos di depan pintu masuk Lapas Kelas I Surabaya di Porong, Sidoarjo, beberapa waktu lalu. Dia mengajukan pertanyaan tersebut dengan tersenyum. Perempuan itu duduk di kursi roda
Sebut saja namanya Maryam. Badannya terlihat kurus. Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda yang membantunya mendorong kursi roda saat berpindah tempat. ’’Masuk ke dalam tidak boleh membawa handphone, Nak,’’ tuturnya.
Maryam saat itu antre masuk ke lapas. Dia hendak bertemu putra sulungnya yang menjadi narapidana kasus narkoba. Meski berjalan dengan bantuan kursi roda, dia rutin menyempatkan diri menjenguk buah hatinya seminggu sekali dengan diantar keponakannya menggunakan mobil. ’’Anak saya pakai obatobatan,’’ ujarnya lirih.
Dia termenung sejenak setelah mengatakan kasus yang menjerat anaknya. Matanya mendadak berkaca-kaca. Tidak berapa lama, air matanya berurai. Maryam lantas menyeka matanya dengan sapu tangan putih. ’’Garagara kepikiran anak jadi begini,’’ katanya dengan nada suara bergetar saat menceritakan alasannya menggunakan kursi roda.
Maryam mengatakan memiliki riwayat hipertensi atau tekanan darah tinggi. Beberapa hari setelah anaknya tertangkap polisi, tensi darahnya naik drastis. Dia terkena stroke. Maryam pun merasa kedua kakinya sulit digerakkan. ’’Jangan sampai pakai obatobatan ya, Nak,’’ katanya.
Warga Buduran itu merasa mendapat pukulan telak begitu tahu putranya harus dijebloskan ke hotel prodeo. Hal yang pastinya juga dirasakan orang tua mana pun.
Ya, narapidana memang merasakan hidup dalam keterbatasan di balik jeruji besi. Namun, beban terberat bisa jadi sejatinya dirasakan keluarga yang masih tinggal di lingkungan luar.
Di dalam penjara, narapidana bersosialisasi dengan orang-orang yang juga terjerat sebuah perkara. Di lain sisi, keluarga harus menghadapi pandangan masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Meski orang tua belum tentu salah karena sudah berkali-kali mengingatkan. Mereka dicap tidak bisa membina anaknya yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Risiko masuk ke lingkungan peredaran narkoba memang bukan hanya soal hukuman penjara yang sudah menanti. Ada efek lain yang harus dihadapi para pelakunya. Nama baik keluarga sudah pasti tercoreng. Belum lagi kehidupan pribadi yang tidak bisa merasakan kebebasan karena harus menjalani proses hukum.
Pada Kamis (23/2) seorang pemuda juga mendatangi gedung Satreskoba Polresta Sidoarjo seorang diri. Jono (nama samarannya) saat itu masih mengenakan seragam sekolah. Lengkap dengan sebuah tas ransel hitam di punggung. Dua kakinya melangkah ke salah satu ruang penyidikan.
Belakangan diketahui bahwa dia tengah melapor ke penyidik. Meski usianya masih di bawah umur, dia sudah terjerat hukum. Bocah tersebut ditangkap polisi karena terlibat peredaran sabu-sabu (SS). Jono yang berstatus pelajar kelas XII salah satu SMA swasta itu harus menjalani wajib lapor.
Jono mengenal narkoba awal tahun lalu. Suatu malam tempat tinggal Jono didatangi teman-teman mainnya. Di luar dugaan, mereka ternyata tidak sekadar bertamu. ’’Mau pinjam tempat untuk nyabu,’’ tutur anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Dasar sudah akrab, pemuda yang ditinggal meninggal oleh ibu kandungnya tersebut memberikan izin. Jono mengarahkan teman-temannya untuk nyabu di sebuah bangunan milik pamannya yang mau dipakai sebagai tempat kos. Letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Jono lantas mendapat bonus menikmati barang haram itu untuk kali pertama.
Pesta narkoba kembali dilangsungkan sepekan berselang. Jono pun menjadi ketagihan dengan berpesta narkoba seminggu sekali. ’’Belinya patungan,’’ ucapnya.
Harga sepoket SS dipatok Rp 200 ribu. Jono biasanya mengajak seorang temannya untuk urunan. Jadi, dia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 100 ribu. Untuk mewujudkan keinginannya berpesta narkoba, Jono rela menyisihkan uang saku sekolahnya. ’’Uang jajan sehari Rp 10 ribu. Jadinya Rp 70 ribu seminggu,’’ ungkapnya.
Lantas, dari mana uang Rp 30 ribu untuk menutup kekurangan? Jono mengaku meminta uang jajan tambahan kepada kerabatnya. Alasan yang biasa digunakan adalah membeli keperluan sekolah atau pulsa. ’’Minta ke tante atau saudara lain,’’ ucapnya.
Jono memang terbiasa meminta uang untuk keperluan sehari-hari kepada kerabatnya. Sebab, dia berasal dari keluarga dengan kehidupan ekomoni yang tidak terlalu bagus. Sang ayah tidak bekerja setahun belakangan karena menderita penyakit skoliasis (pembengkokan tulang belakang). Ibunya sudah meninggal saat Jono masih kecil. Kakak kandungnya pun tidak memiliki pekerjaan tetap.
Warga Sedati itu mengatakan tidak pernah memikirkan imbas jangka panjang menggunakan narkoba. Saat teman sebayanya fokus belajar untuk persiapan ujian nasional (unas), Jono justru harus menghadapi proses hukum.
Dia menyatakan sangat menyesal. Jono berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya menggunakan narkoba. ’’Bapak hanya bisa menangis saat saya ditangkap di rumah. Bicaranya sulit sejak menderita sakit,’’ tuturnya pelan.
Kini dia hanya bisa berharap proses hukum yang dijalani segera berakhir. Setelah tuntas, Jono ingin mencari pekerjaan yang halal untuk membahagiakan bapaknya. ’’Gak ada untungnya memakai narkoba,’’ ungkapnya.
Kasatreskoba Polresta Sidoarjo Kompol Sugeng Purwanto menyatakan, tren perkara narkoba meningkat dari tahun ke tahun. Tersangka yang terlibat dalam perkara tersebut didominasi usia produktif, yakni 20–35 tahun. ’’Faktor lingkungan menjadi penyebab utama,’’ paparnya.
Gara-gara pergaulan yang tidak bagus, lanjut dia, seseorang terjerumus ke dalam jaringan narkoba. Modus para pengedar pun menarik. Mereka menawarkan narkoba secara gratis kepada calon pelanggan. Begitu ada indikasi ketagihan, pengedar itu lantas mematok harga.
Sugeng memaparkan, modus peredaran narkoba kian beragam. Nah, yang marak saat ini adalah menggunakan sistem ranjau. Sebab, cara tersebut dianggap pengedar lebih aman. Mengurangi risiko tertangkap karena barang ditaruh di suatu tempat. ’’Pengedar mempelajari tren agar tidak terdeteksi polisi,’’ ungkapnya.
Meski menjadi kendala tersendiri, polisi tidak akan patah semangat. Menurut dia, upaya utama untuk mempersempit ruang gerak peredaran narkoba adalah memasang jaringan informasi seluas-luasnya. ’’Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha,’’ tuturnya.
Beberapa narkoba jenis baru diketahui sempat masuk Kota Delta. Salah satunya hasil ungkap kasus di kawasan Krian. Saat itu pihaknya menemukan ribuan pil ekstasi varian baru yang ditengarai berasal dari Belanda. ’’Labfor mengaku belum pernah memeriksa,’’ jelasnya.
Narkoba sintetis seperti tembakau super (tesu) gorila yang marak setelah insiden pilot pesawat mabuk di Bandara Juanda pun sempat ditangani. Hanya, saat itu undang-undang (UU) yang melarang penggunaannya belum dibuat. ’’Efeknya lebih keras dari ganja,’’ tegasnya.
Mengenai proses hukum anak di bawah umur, pihaknya mengatakan memang ada perlakuan khusus yang diberikan. UU Perlindungan Anak membuat proses hukum terhadap mereka berbeda dengan pelaku dewasa. ’’Harus mematuhi peraturan,’’ ujar perwira polisi dengan satu melati di pundak tersebut. (edi sudrajat/c15/dio)