Harus Mulai dari Mana?
Selama ini, tutur Fitria, penggunaan internet di sekolah hanya difokuskan pada bagaimana siswa bisa membuat referensi dengan tepat. Artinya, siswa diberi beberapa rujukan apa saja yang bisa dikutip dalam tugas tertentu. Misalnya, untuk mata pelajaran (mapel) matematika, siswa harus mengutip ahli A, sedangkan mapel geografi boleh mengutip ahli B. ”Ini dilakukan agar tugas siswa memiliki referensi,” jelas alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut.
Untuk membatasi hoax, Fitria mengatakan bahwa sekolah belum melakukannya. Sebab, penyaringan informasi bohong itu bukan tugas sekolah. Para guru, lanjut dia, hanya berfokus pada penggunaan internet sebagai media pembelajaran.
Padahal, di SMAN 9, pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran cukup tinggi. Kondisi itu dibarengi dengan penggunaan teknologi informasi (TI). Yakni, sekitar 95 persen dari total pembelajaran.
Fitri menambahkan, sebelum penerapan Kurikulum 2013 (K-13), penggunaan TI dan pemanfaatannya sebenarnya sudah pernah dilakukan. Tepatnya saat menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. ”Waktu itu ada mapel tersendiri. Yakni, TIK (teknologi, informasi, dan komunikasi, Red),” jelas perempuan 33 tahun tersebut.
Hal senada disampaikan Wakahumas SMAN 5 Gusti Tuti. Hingga kini, sekolah belum menerapkan pembelajaran khusus pada siswa untuk mengantisipasi berita hoax. ”Belum, kalau untuk situs berbau pornografi, sekolah sudah menyediakan tim khusus,” terangnya.
Melalui tim tersebut, setiap aktivitas siswa yang mengarah pada kegiatan berselancar situs pornografi akan terdeteksi. Meski begitu, hingga kini belum ada seorang pun siswa yang ketahuan membuka situs dewasa itu.
Gusti sejatinya mengakui bahwa penyebaran berita hoax tersebut cukup meresahkan. Berita yang tidak memiliki sumber informasi yang jelas itu memang bisa menyebar begitu cepat dan masif. Terutama di media sosial. ”Nah, ini yang menjadi kendala di sekolah. Saat ini hampir seluruh siswa punya akun media sosial. Tak satu, terkadang dua hingga tiga. Ini yang membuat kami juga cukup resah,” terang pengajar akuntansi itu.
Gusti menyampaikan, pembelajaran antisipasi tersebut belum ada karena sekolah belum memiliki mekanisme kurikulum yang tepat. Artinya, untuk membentengi siswa dari pengaruh berita hoax, sekolah harus mulai dari mana.
Untuk itu, perempuan 58 tahun tersebut menambahkan, ke depan kurikulum antisipasi berita hoax memang perlu diterbitkan pemerintah. Dengan diatur dalam kurikulum, pembelajaran di tingkat sekolah akan bisa berjalan lancar. ”Jika kompetensinya sudah dibuat, saya rasa sekolah tidak akan sulit menjalankannya,” jelasnya.
Lain halnya dengan yang disampaikan Waka Kurikulum SMAN 16 Ridwan. Dia merasa jika materi tentang internet dan hoax dimasukkan ke dalam kurikulum, tugas guru dan siswa akan semakin berat. ’’Kemarin sudah ada BNN masuk kurikulum, kalau ada internet lagi, ngelu (pusing),” komentarnya.
Meski internet tengah hangat digempur berita hoax, Ridwan yakin siswanya tidak akan begitu terpengaruh. Usia yang masih tergolong muda membuat mereka tidak terlalu memikirkan masalah politik.
Bila pun ada berita hoax tentang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang biasa disebarkan lewat broadcast (BC), Ridwan menyarankan muridmuridnya untuk bertanya langsung kepada guru. Salah seorang pengajar yang pernah menghadapi pertanyaan seputar hoax dan isu SARA dari muridnya adalah guru mata pelajaran agama Robby Rodhiyana. Dalam kelas, mereka pernah berdiskusi tentang kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. ’’Tapi, itu kan kasus yang jauh di pusat sana. Yang penting, saya tanamkan ke anakanak supaya jangan terjadi di sini,” ujar Robby.
Edukasi internet juga tidak diberlakukan di SMKN 1. Apabila ada siswa yang bertanya tentang informasi hoax, guru langsung menyampaikannya di tengah mata pelajaran. Hari Supriyanto, misalnya. Waka Kurikulum yang juga mengajarkan PPKn itu pernah berdiskusi dengan muridnya terkait kasus penistaan agama. ’’Awalnya belajar tentang ancaman terhadap NKRI, terus ada yang bertanya tentang Ahok,” ungkapnya. Selain di tengah pelajaran, Hari menyampaikan pesan tentang fenomena hoax ketika upacara bendera.
Tidak seperti di lingkungan masyarakat, Hari menyatakan jarang menemukan penyebaran berita hoax di lingkungan sekolah. ’’Kalau hoax pun, isinya tentang orang tua yang dapat kabar anaknya jatuh dari tangga, terus disuruh bayar,” cerita Hari. Sebagai sekolah kejuruan yang memiliki prodi teknologi komunikasi, pembelajaran internet di sekolah tersebut berfokus pada pemrograman.
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur (DPJ) Akh. Muzakki mengatakan, literasi internet memang sudah seharusnya masuk pembe la jaran sekolah. Sebab, mayoritas informasi yang saat ini diperoleh merupakan hasil pencarian di luar sekolah.
Sayangnya, tidak seluruh informasi di internet memiliki kredibilitas tinggi. Banyak informasi yang belum diuji kebenarannya bertebaran bebas. Sementara itu, kritik terhadap informasi tersebut belum banyak dilakukan. ”Kondisi itu, jika tidak diatasi, ke depan bisa menimbulkan masalah cukup serius. Terutama di kalangan pelajar,” jelasnya.
Untuk mengatasi problem itu, lanjut Muzakki, peran guru sangat dibutuhkan dalam menumbuhkan literasi internet. Muzakki mencontohkan, pembiasaan literasi internet bisa dimulai dengan tindakan sederhana. Yakni, melalui tanggung jawab tugas yang diberikan oleh guru.
Selama ini guru telah menyarankan siswa untuk mengambil sumber dari internet. Namun, guru belum pernah mengajarkan studi pustaka secara cermat. Dalam arti, masih banyak sumber yang dikutip siswa memiliki kredibilitas rendah. Untuk itu, guru harus menyusun sebuah metode yang diajarkan kepada siswa mengenai bagaimana mencari informasi yang tepat dan tepercaya.
Selain menyusun metode pencarian sumber, guru harus memberikan ruang kritis untuk siswa terhadap segala informasi. Ruang itu bisa ditumbuhkan melalui diskusi di dalam kelas dan melakukan uji hasil tugas yang ditulis siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. ”Selain bisa kritis, dalam kesempatan ini, ruang kelas akan semakin hidup,” terang guru besar sosiologi pendidikan itu. Kaum Menengah yang Gagap
Sementara itu, pakar komunikasi digital Prof Dra Rachma Ida M.Com PhD mengatakan, akhirakhir ini yang menjadi bahasan hoax sudah merambah dunia politik. Hoax menjadi salah satu alat propaganda para elite politik. Pencitraan, salah satu strategi komunikasi politik yang pernah booming, dihancurkan dengan isu-isu hoax. ’’Ada pergeseran dalam strategi komunikasi politik saat ini,” tuturnya.
Menurut dia, hal itu dipengaruhi latar belakang pembuat isu hoax yang didasarkan pada balas dendam politik. Para penyebar kebencian menyebarkan berita hoax untuk memperbaiki citra mereka. Komunikasi politik tidak lagi dilakukan dengan cara mengangkat citra diri, melainkan bagaimana cara menjatuhkan lawan. ’’Mungkin orang jenuh dengan berita positif yang itu-itu saja sehingga perlu alternatif yang lebih terkesan apa adanya,” urainya.
Mereka adalah orang yang tidak lahir di era internet. Kalangan yang tiba-tiba mendapat paparan internet setelah dia dewasa. ’’Euforia para middle age ini berlebihan ketika mulai mengenal medsos (media sosial, Red), mereka tergagap-gagap,” ujarnya.
Karena sangat besarnya pengaruh internet, Ida mengatakan bahwa mereka sudah sampai pada tahap addiction. Seperti anak kecil, para middle digital migrant itu menganggap media sosial sebagai mainan baru. Dengan begitu, mereka seolah ingin mengeksplorasi semua kemungkinan yang bisa dilakukan di medsos. Termasuk membuat meme dan banner lucu. ’’Awalnya mungkin hanya untuk menggoda teman,” ulasnya.
Hal yang sama menimpa kaum kelas bawah, yang sebelumnya tidak punya akses ke teknologi. Nasibnya sama dengan para middle age. Tergagap-gagap. Berbanding terbalik dengan para digital generation. Mereka tidak membuat, menyebarkan, atau bermain-main dengan hoax. ’’Yang diakses sudah berbeda, mereka lebih dewasa dalam menyikapi teknologi,” terang Ida.
Meski begitu, kata Ida, materi tentang hoax belum perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Menurut dia, lebih baik memberikan literasi kepada mereka yang pemahamannya tentang internet masih kurang. Kalangan yang seharusnya disentuh adalah para middle age dan kelas bawah. Akses ke teknologi harus dibuka. ’’ Selan itu, harus ada kampanye-kampanye untuk mengingatkan mereka,” tandasnya. (Fajrin Marhaendra/Edi Susilo/ Debora Danisa/c7/dos)