Memotret Sepak Bola Indonesia dengan Frame Jenaka
Sejumlah catatan negatif, mulai pencurian umur, kasus doping pemain, pengaturan skor, sepak bola gajah, hingga kerusuhan antarsuporter, membuat pandangan terhadap sepak bola tanah air kian buruk. Tapi, Antony Sutton punya pandangan berbeda.
RUANGAN kecil di lantai 2 sebuah rumah di kawasan Alam Sutera, Serpong, Tangerang, itu terlihat sederhana. Satu teropong bintang ber warna putih ditopang tripod yang memandang langit tampak menjadi satu-satunya barang mewah di rumah di Jalan Sutera Flamboyan tersebut.
Ada beberapa lukisan serta foto keluarga berbingkai tergeletak begitu saja di atas lantai. Itu membuat ruangan yang memiliki dua pintu di sisi barat dan selatan tersebut jauh dari kesan rapi. Di sudut ruangan ada sebuah meja kotak dengan laptop kecil ukuran 11 inci di atasnya
Di situlah Antony Sutton bekerja. Pria asal Inggris itu awal Maret mendatang merilis buku tentang sepak bola Indonesia. Judulnya Sepakbola: The Indonesian Way of Life. ”Di ruangan ini awal dari kemauan besar itu bermula,” kata Sutton kepada Jawa Pos. Dibutuhkan sebelas anak tangga untuk sampai ke ruangan tersebut.
Tiga tahun lalu, enam bulan penuh ayah satu anak itu hampir setiap hari berada di ruangan tersebut untuk mencurahkan semua ide dan pengalaman tentang sepak bola nasional. Lantunan lagu Rolling Stones serta segelas orange juice adalah cara dia melawan penat.
Alasan Sutton hanya sederhana ketika memutuskan untuk menjadikan ruangan kecil itu sebagai tempat kerja. Sirkulasi udara yang bagus serta jauh dari keramaian aktivitas keluarga membuat dia merasa sangat nyaman. ”Bagi saya, menulis itu pekerjaan mulia. Karena bisa menginspirasi banyak orang. Apalagi tentang sepak bola,” tuturnya.
Tapi, untuk menjaring ide menulis, Sutton lebih suka keramaian. Tribun penonton di stadion adalah salah satu tempat favorit yang sering dia datangi. Namun, bila tidak ada pertandingan, ayah Dominic Sutton, 7, tersebut akan pergi ke pub atau pusat hiburan di Jakarta. ”Apa yang harus saya tuliskan akan muncul saat berada di tengah suporter,” cerita dia.
Suami May, 43, perempuan berdarah BetawiPadang, itu mengaku sudah lama jatuh cinta pada sepak bola, jauh sebelum mengenal Indonesia. Yaitu saat usianya baru delapan tahun. Ayahnya yang seorang perwira militer aktif memiliki kebiasaan berada di atas tribun menyoraki tim kebanggaannya, Watford. Itu menjadi pintu gerbang Sutton untuk gandrung dunia bola. Tapi, meski samasama suka bola dan berada di atas tribun, Sutton ternyata jatuh cinta pada Arsenal, bukan Watford.
Bahkan, sejak dia masih di bangku sekolah dasar, majalah, koran, serta buku-buku tentang perkembangan Arsenal sudah menjadi bacaan wajib setiap pulang sekolah. Saat ini, di antara total koleksi 700 judul buku yang dia miliki, sebagian besar bercerita tentang perjalanan dan masa kejayaan The Gunners –julukan Arsenal– atau para legenda yang pernah ada di dalamnya.
Selain Arsenal, rata-rata koleksi buku yang dimiliki Sutton beraroma politik dan sejarah perjuangan sejumlah tokoh hebat dunia. Buku tentang Nelson Mandela, Soekarno, sampai Barack Obama tersusun rapi di lemari buku di rumahnya. Sutton menyebutkan, kesukaannya membaca kisah para tokoh dari luar Inggris tersebut tidak lepas dari pengalaman hidupnya yang lebih banyak dihabiskan di perantauan.
Memang, anak ketiga di antara empat ber- saudara itu lahir di Tripoli, Libya, pada 1965, ketika ayahnya bertugas sebagai penjaga perdamaian di sana. Namun, saat dia berusia dua tahun, keluarganya pindah ke Belgia. Kemudian ke Jerman sebelum kembali ke Inggris. Setelah masa remaja, Sutton memutuskan tinggal di Australia bersama salah seorang saudara.
Pengalamannya tentang budaya dan kehidupan negara lain semakin kaya setelah lelaki yang berprofesi pengajar itu mendapat tugas di Thailand, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Kazakhstan, serta Kuwait. ”Jadi, kalau saya bilang Indonesia adalah negara yang terbaik, jangan diragukan lagi. Karena saya sudah pernah tinggal di banyak negara,” tegas dia.
Nah, kecintaannya pada sepak bola yang sudah tumbuh dari kecil itu kembali subur setelah tinggal di Indonesia sejak 2002. Stadion yang selalu penuh sesak suporter setiap Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, atau PSS Sleman bertanding menjadi magnet utama yang membuat dia larut dalam sepak bola tanah air.
Perkelahian antarsuporter hingga penyerangan terhadap wasit adalah sederet fakta kelam sepak bola tanah air yang dia saksikan sepanjang tinggal di Indonesia. Bahkan, tragedi sepak bola gajah dengan lima gol bunuh diri di Divisi Utama 2014 ikut menambah catatan merah.
Pahit memang. Tapi, Sutton hanya menjadikannya bumbu yang mendewasakan sepak bola tanah air. Sebab, menurut dia, masih ada hal positif dari sepak bola nasional yang bisa menginspirasi banyak orang. ”Sepak bola adalah olahraga yang menggembirakan. Dan saya melihat sepak bola Indonesia memiliki budaya yang berbeda,” jelasnya.
Sutton lebih suka melihat klub-klub sepak bola dari sisi positif, bahkan yang kecil sekalipun. Misalnya saat dia menggambarkan dua tim asal Jawa Barat, Persikab Kabupaten Bandung dan Pelita Bandung Raya (PBR), yang harus berjuang untuk survive di bawah bayang-bayang dominasi Persib Bandung. Dia tidak segan mengomparasikannya dengan klub-klub kecil di Inggris.
Persikab atau PBR, tak ada yang benarbenar membenci mereka. Persis seperti Fulham, Brentford, atau Orient di London. Klub-klub yang menjadi bayangan para raksasa. Tantangan mereka hanyalah bisa punya pendukung dalam jumlah yang signifikan dan semuanya akan datang ke stadion atau menyaksikan mereka di televisi saat Persib tidak bermain.
Sutton mencoba membandingkan apa yang terjadi di Inggris dengan pengalaman yang dia saksikan dari sepak bola Indonesia. Dalam urusan kerusuhan suporter, misalnya, dia mencoba memunculkan kembali memorinya soal kerusuhan suporter Manchester United (MU) saat klub tersebut terdegradasi ke Divisi II pada 1974. ”Hampir setiap minggu saya melihat kekacauan yang ditimbulkan pendukung MU,” kenang dia.
Sutton menjelaskan, para pendukung fanatik skuad berjuluk Setan Merah itu menghancurkan apa saja yang bisa ditemukan di sepanjang jalan kota sebagai bentuk eksistensi mereka. Besar di lingkungan sepak bola yang fanatik membuat Sutton juga tumbuh menjadi suporter dengan jam terbang perkelahian yang tinggi. Doyan bertarung dalam perkelahian jalanan membuat matanya tinggal satu, sebelah kanan. Bola mata sebelah kirinya sudah tak sempurna.
Terkait dengan sepak bola tanah air, Sutton tidak sepakat dengan label anarkis dan vandalis yang disematkan kepada Bonek, julukan suporter Persebaya Surabaya, selama ini. Sebab, bagi dia Bonek adalah cermin kelompok militan yang rela melakukan apa saja untuk mempertahankan eksistensi Persebaya.
Karena menilai perjuangan dan keberhasilan Bonek mengembalikan eksistensi Persebaya itu bisa menjadi role model baru bagi suporter tanah air, Sutton pun memberikan satu bab khusus dengan judul May the Green Force Be With You bagi pendukung Green Force –julukan Persebaya– dalam buku karya pertamanya setebal 268 halaman itu. Dalam bab tersebut, Sutton menyejajarkan perjuangan Bonek melawan kebijakan PSSI dalam mengembalikan eksistensi Persebaya itu dengan perlawanan arek-arek Suroboyo saat mengusir tentara Inggris dalam perang 10 November 1945. Sebuah bukti bahwa orang-orang Surabaya tak pernah tunduk, apalagi takluk.
Sutton memaparkan, Inggris yang begitu superior saja berhasil dilawan dan arek-arek Suroboyo memenangi pertarungan tersebut meski hanya bermodal bambu runcing. Rupanya, gen perlawanan itu terus mengalir deras hingga ke generasi saat ini. ”Bonek tidak membiarkan klub kesayangan mereka dirampas atau sengaja dihilangkan jejak sejarahnya begitu saja,” kata Sutton.
Dengan fanatisme Bonek dan totalitas mereka kepada klub, Sutton menilai itu sebagai aset sangat berharga bagi nama besar tim di kemudian hari. Semangat rela mati dalam mendukung tim sudah pasti akan membuat Persebaya kembali disegani dalam pentas sepak bola nasional.
Andibachtiar Yusuf, sutradara dan penulis sepak bola kultural yang menjadi penerjemah buku tersebut dari bahasa Inggris ke Indonesia, mengatakan bahwa Sutton adalah salah seorang warga negara asing yang unik. ”Dia juga punya naluri bagus dalam melihat sepak bola Indonesia dari frame yang berbeda,” ucapnya.
Tulisan Sutton yang dinamis serta menceritakan tragisnya sepak bola Indonesia dengan bahasa yang sedikit jenaka membuat Yusuf ikut bersemangat menerjemahkan setiap kalimat dari buku tersebut. (*/c9/oki)