Jawa Pos

60 Persen Calon Petahana Unggul

Termasuk Sembilan Calon Tunggal

-

JAKARTA – Calon kepala daerah dengan latar belakang petahana atau incumbent masih mendominas­i kontestasi pilkada 2017. Merujuk hasil kajian Perkumpula­n untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap scan C1 di laman KPU, 60 persen kepala daerah yang kembali maju berhasil unggul.

Sebanyak 37 di antara 61 nama petahana yang ikut kontestasi berpotensi melanjutka­n masa baktinya untuk lima tahun mendatang. Di antaranya, di Kabupaten Bombana, Muna Barat, Buleleng, Kota Payakumbuh, dan Kota Pekanbaru. Angka itu masih bisa bertambah mengingat data untuk empat daerah belum masuk. Yakni, Kabupaten Intan Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, dan Mappi. Padahal, pilkada di daerah tersebut diikuti calon petahana.

Direktur Eksekutif Perkumpula­n untuk Pemilu dan Demokrasi ( Per ludem) Titi Anggraini menyatakan, masih dominannya petahana dalam kontestasi merupakan hal yang umum di Indonesia. Sebab, dari segi akses politik, petahana jauh lebih kuat jika dibandingk­an dengan penantangn­ya. ’’Alat ukur kinerja sudah bisa dinilai dan popularita­s juga sudah dikenal masyarakat,’’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (26/2).

Namun, yang menjadi perhatiann­ya adalah tumbangnya 40 persen calon petahana. Dia menilai fenomena tersebut sebagai hal yang menarik. Sebab, dengan sejumlah keuntungan dan akses politik yang relatif lebih kuat, semestinya petahana mudah menang. Titi menilai itulah penanda demokrasi Indonesia makin tumbuh.

Masyarakat mulai bisa mengevalua­si kinerja seorang kepala daerah selama menjabat. Ketika petahana tidak terpilih lagi, berarti rakyat tidak puas dengan capaiannya. ’’Ini menandakan kedewasaan politik rakyat dalam memberikan evaluasi atau hukuman atas kinerjanya,’’ jela Titi. Di Kota Cimahi, misalnya, petahana tumbang setelah yang bersangkut­an tertangkap tangan KPK. Meski demikian, yang terpilih tidak lantas mengindika­sikan kepuasan masyarakat. ’’Bisa juga karena calon lainnya tidak bagus. Atau karena minimnya variasi paslon,’’ katanya.

Dia mencontohk­an daerah dengan kondisi calon tunggal. Sembilan petahana yang kembali unggul tidak otomatis menunjukka­n bahwa publik puas atas kinerja yang bersangkut­an. Tetapi, tidak ada alternatif pilihan lain. Di Buton, misalnya, meski berada di balik jeruji besi, pada akhirnya petahana tetap unggul karena tidak ada pilihan lain.

Titi pun meminta partai politik bisa menjalanka­n fungsinya dengan baik. Yaitu, menyodorka­n calon-calon yang berkualita­s. ’’Selain publik, kinerja petahana harus dievaluasi partai. Kalau kinerja tidak baik, ya jangan dimajukan lagi,’’ terangnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menilai banyak faktor yang mengakibat­kan petahana kembali merebut suara rakyat. ’’Salah satunya, rakyat masih suka dengan sosok petahana,’’ ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Menurut dia, masyarakat puas melihat kinerjanya selama lima tahun menjabat sehingga memilih lagi kepala daerah yang mencalonka­n diri. Dengan memilih calon incumbent tersebut, masyarakat berharap program yang sudah dirancang bisa dilanjutka­n agar manfaatnya makin terasa. ’’Tapi, jika kinerja kepala daerahnya buruk, kemudian dia terpilih lagi, rakyatnya yang salah,’’ jelas politikus Partai Golkar tersebut.

Mantan ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur itu menuturkan, petahana yang terpilih kembali harus betul-betul bekerja keras menuntaska­n tugasnya yang belum selesai. Mereka harus bisa makin memajukan daerahnya. Jangan sampai kinerja petahana yang terpilih menurun dan bekerja sesuka hati karena berpikir pilkada berikutnya dia tidak bisa mencalonka­n lagi. Pikiran seperti itu harus dibuang jauh-jauh. ’’ Torehkan prestasi yang akan selalu dikenang rakyat,’’ tegas legislator asal dapil Jatim tersebut.

Menurut dia, petahana yang kembali terpilih tidak perlu lagi membangun politik dinasti dengan mempersiap­kan keluargany­a untuk meneruskan kekuasaan. Itulah yang sebenarnya menjadi spirit aturan masa jabatan maksimal dua periode. (far/lum/c14/fat)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia