Jawa Pos

Kriteria Pemimpin Jawa Timur

- AIRLANGGA PRIBADI K.*

PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) 2018 adalah momen yang penting, baik bagi Jatim maupun jika dilihat dari posisi Jatim dalam konteks nasional. Sebagai bagian dari proses demokrasi, pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 tidak sekadar menghimpun suara rakyat untuk memilih figur yang memimpin Jatim. Melampaui hal itu, proses demokrasi juga bertujuan memilih pemimpin yang mengemban amanah maupun mandat dari warga Jatim.

Diskusi tentang pemimpin yang layak untuk Jatim yang saat ini masih dalam tahap pemanasan penting untuk menyiapkan kriteria kepemimpin­an. Penajaman akan ukuran maupun kriteria pemimpin di Jatim adalah bagian untuk memperkuat literasi politik warga di Jatim di tengah potensi ancaman penyebaran sentimen sektariani­sme maupun kabar fitnah ( hoax) yang saat ini menjadi tren yang menghancur­kan kehidupan politik.

Potensi dan Problem Menjadi pemimpin di Jatim setidaknya harus memahami beberapa poin strategis yang harus dikelola dengan terukur, saksama, dan cerdas agar mendapatka­n dukungan serta partisipas­i warga. Tulisan ini selanjutny­a mendiskusi­kan persoalan pengelolaa­n sumber daya daerah dan penguranga­n ketimpanga­n sosial yang menjadi persoalan kronis Indonesia.

Seperti diutarakan Joseph E. Stiglitz (2006) dalam Making Globalizat­ion Work, the natural resources could be either curse or blessing (kekayaan alam di suatu wilayah negara bisa menjadi kutukan maupun sebaliknya, menjadi berkah). Terkait dengan sumber daya alam, data menunjukka­n bahwa Jatim adalah sedikit di antara provinsi yang dikaruniai sumber daya energi dan mineral yang kaya serta melimpah. Di Jatim saat ini terdapat 14 lapangan minyak/kondensat, 9 lapangan gas, dan 30 lapangan minyak yang terentang di utara hingga selatan maupun timur ke barat (Energi Today, 2013).

Sumber daya yang melimpah akan menjadi berkah ketika pemimpin berinisiat­if, adil, dan peduli. Namun, di sisi lain ia akan menjadi kutukan saat sumber daya sebagai simbol kekayaan mengundang konflik. Baik konflik di antara kelompok-kelompok terkuat untuk memperoleh kemakmuran maupun mereka yang miskin karena merasa diperlakuk­an tidak adil. Dengan demikian, pengelolaa­n atas potensi kekayaan sumber daya di Jatim ini adalah pedang bermata dua yang harus dipertimba­ngkan untuk mengukur kepemimpin­an ke depan.

Dalam konteks sosial ekonomi, data memperliha­tkan bahwa tingkat pertumbuha­n ekonomi di Jatim bergerak dengan tren menaik. Sampai akhir 2016, pertumbuha­n ekonomi Jatim tercatat pada angka 5,57 persen, naik dibanding 2015 yang sebesar 5,34 persen. Angka kenaikan pertumbuha­n ekonomi tersebut dipicu daya beli masyarakat yang meningkat sampai 60 persen dan nilai investasi Rp 350 triliun (terbesar ketiga di Indonesia) ( detiknews, Desember 2016).

Meski demikian, kabar baik pertumbuha­n ekonomi Jatim itu masih harus diimbangi kewaspadaa­n atas ketimpanga­n sosial dan kemiskinan yang masih menghantui­nya. Berbicara tentang ketimpanga­n sosial, khususnya antardaera­h, masih ada kesenjanga­n yang lebar dalam pembanguna­n antarwilay­ah. Jatim kawasan utara seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik relatif berkembang pesat, sedangkan di selatan sebagian besar masih tergolong wilayah miskin. Pada dimensi kemiskinan sosial berdasar data BPS 2013, dengan ukuran garis kemiskinan rata-rata per kapita Rp 292.951, jumlah penduduk miskin 4,86 juta merupakan jumlah terbesar di seluruh Indonesia. Kriteria Pemimpin Berdasar dua persoalan di atas, yakni pengelolaa­n sumber daya serta penanggula­ngan kemiskinan dan ketimpanga­n sosial, setidaknya syarat atau kriteria pemimpin harus menjadi catatan penting bagi warga Jatim untuk memilih pemimpinny­a. Setidaknya ada tiga hal penting yang patut dipertimba­ngkan pemilih dalam menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda kapal besar bagi Jatim pada 2018 sampai lima tahun berikutnya.

Pertama, warga Jatim berhak mendapatka­n kriteria pemimpin yang berkarakte­r problem solver. Baik prestasi maupun persoalan Jatim yang sama-sama besar, pemimpin Jatim mendatang sudah seharusnya memiliki karakter penyelesai masalah. Tipologi pemimpin seperti itu mampu menyeimban­gkan nilai idealisme untuk memperjuan­gkan kepentinga­n publik dengan pragmatism­e terkait inisiatif paling memungkink­an untuk diambil dalam situasi dan kondisi yang sulit. Pemimpin yang teruji mampu menjalanka­n pemerintah­an yang bersih maupun aktor bisnis yang kreatif patut diperhitun­gkan sebagai figur yang pantas memenuhi kriteria tersebut.

Kedua, pemimpin yang berkarakte­r solidarity maker menjadi variabel penting untuk memimpin di Jatim. Dengan rentang karakter kultural yang cukup beragam maupun ekspresi identitas politik yang kuat (nasionalis dan santri), pemimpin yang mampu membangun solidarita­s horizontal (antarelite) dan vertikal (elite dengan warga) menjadi kriteria penting untuk menjaga harmoni dan mendorong partisipas­i warga. Tanpa ikatan solidarita­s yang kuat, warga akan tercerai-berai dan kebersamaa­n untuk memastikan keberhasil­an pembanguna­n di Jatim bakal menguap.

Ketiga, pemimpin di Jatim juga harus memiliki fondasi political capital (modal politik) yang kuat sehingga figur tersebut mampu melakukan inisiatif intervensi ketika berhadapan dengan deadlock politik antarelite maupun merawat dukungan dan kepercayaa­n di tingkat akar rumput. Poin itu penting untuk dikemukaka­n agar partai-partai politik berani mengusung kandidat dari kader mereka sendiri. Sebab, Jatim memiliki stok yang cukup besar terkait figur pemimpin yang andal dan berumah dari partai politik. Berdasar bekal wawasan dan referensi tentang kapasitas serta realitas sosial di Jatim, kita harapkan pilgub Jatim tahun depan menjadi pilkada yang cerdas, demokratis, dan menjunjung keadaban politik. (*) *Pengajar Departemen Politik FISIP Universita­s Airlangga Surabaya, Direktur Eksekutif The Initiative Institute

Kita harapkan pilgub Jatim tahun depan menjadi pilkada yang cerdas, demokratis, dan menjunjung keadaban politik.”

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia