Kepahitan Perempuan di Dunia Ketiga
Kasus keterlibatan Siti Aisyah dalam pembunuhan Kim Jong-nam, kakak tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, menyisakan kegetiran nasib tenaga kerja Indonesia (TKI). Negara ternyata tidak hadir dalam mengawasi sekaligus melindungi warga negaranya di luar negeri. Para TKI masih hidup dalam bayangbayang ketidakjelasan perlindungan negara. Status Aisyah yang merupakan TKI ilegal makin membuktikan bahwa sistem pengiriman TKI masih amburadul.
Dari pengalaman selama ini, keberadaan TKI ilegal menyulitkan pendataan warga negara Indonesia di luar negeri. Identitas mereka baru muncul setelah terlibat dalam kasus kejahatan yang menyita perhatian publik. Entah kasus terkait tempat bekerjanya atau kasuskasus lintas negara yang didalangi sindikat global. Selain Aisyah yang terjerat kasus intelijen Korea Utara, sudah puluhan TKI ilegal, khususnya pekerja perempuan, yang dijadikan kaki tangan sindikat penyelundupan narkoba. Mereka baru menyadari menjadi korban bujuk rayu bermotif rekayasa kejahatan setelah menjalani proses hukum.
Selain itu, kasus Aisyah menempatkan betapa rentannya perlindungan perempuan yang hidup di negara dunia ketiga. Mereka kerap menjadi korban ketidakadilan sistem perekonomian nasional dan global. Di dalam negeri, tak terhitung berapa banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan domestik di dalam keluarga. Sementara itu, di luar negeri, para TKI perempuan harus membanting tulang untuk menjadi pencari nafkah keluarganya. Itu pun mereka acap kali menjadi korban kejahatan di negara lokasi bekerjanya. Sebut saja Aisyah yang menjadi tulang punggung keluarganya di Serang, Banten. Dia terpaksa mengadu nasib di luar negeri ketika di negaranya (Indonesia) tidak ada lagi ruang untuk beraktivitas secara ekonomi. Dia melakoni profesi apa pun yang dapat menghasilkan uang, termasuk menjadi terapis spa di Malaysia.
Rentannya posisi perempuan di dunia ketiga sangat terkait dengan tingkat pendidikan. Ratarata para korban adalah perempuan dengan pendidikan rendah. Sebut saja lulusan SMP dan SMA. Standar pengalaman akademik ini kurang layak sebagai syarat bekerja di luar negeri, sekalipun di sektor informal.
Ke depan, pemerintah harus makin giat merombak sistem pengiriman TKI. BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) sudah sepatutnya tidak bertindak sebagai pemadam kebakaran dalam menyikapi sebuah kasus yang melibatkan TKI. Mereka harus melakukan terobosan lebih konkret untuk membenahi sistem pengiriman pekerja ke luar negeri. Yang tak kalah penting adalah memasukkan syarat pendidikan minimal sebagai syarat menjadi TKI. Terobosan itu punya target jelas, yakni penghentian pengiriman TKI ilegal sekarang juga!