Bidik Perempuan Muda dengan Kanvas
Indonesia adalah negara yang kaya dengan ragam kain tradisional. Misalnya, batik, songket, maupun tenun. Kekayaan itu menjadi inspirasi Maulina untuk mengembangkan tas kulit dengan motif batik.
SEBELUM terjun menjadi produsen tas kulit bernuansa etnik, Maulina menjual tas impor selama empat tahun. Karena itu, dia cukup menguasai teknik pembuatan tas kulit yang berkualitas. Pada 2010, Maulina memutuskan membuat sendiri tas kulit dengan grafir bermotif etnik. Selain sebagai identitas, motifmotif etnik itu digunakan untuk mencegah tas terlihat polos. Kainkain batik koleksi sang ibu menjadi inspirasi awal motif di tas-tas kulit yang dia beri label Kalyana. ’’Sampai sekarang, saya gunakan motif parang, kawung, dan grompol khas SoloJogja,’’ katanya.
Meski menggunakan motif etnik, Maulina tidak selalu memanfaatkan kain sebagai pelapis tas produksinya. Jika ingin tekstur yang lemas, Maulina akan memakai lateks. Bila dia ingin tas terlihat kaku, digunakan lapisan ganda atau kulit sintetis.
Selain tas etnik, Maulina tetap memproduksi tas kulit polos. Alasannya, dia ingin tas Kalyana bisa dipakai semua kalangan yang mendambakan penampilan elegan, modern, klasik, dan simpel, tetapi tetap bernuansa etnik. Selain itu, ada sejumlah konsumennya yang tidak terlalu menyukai tas yang sangat etnik. ’’Mereka bingung memakainya,’’ ujar Lina, sapaan akrabnya.
Proses produksi tas etnik juga lebih lama kalau dibandingkan dengan tas kulit polos. Proses meng- grafir dan mewarnai tas membutuhkan waktu dua hari. ’’Kami grafir dengan melukai bagian kulit terluar. Bagian di dalamnya kami warnai pakai tangan. Tunggu sampai kering, lalu besoknya kami ulangi lagi untuk pewarnaan,’’ terang ibu satu anak tersebut.
Pengerjaan satu tas bisa memakan waktu 4–5 hari. Produksi tas saat ini dikerjakan 25 orang di bagian produksi. ’’Banyak kerjaan tangannya seperti melipat bagian-bagian tertentu agar rapi. Jika hanya mengandalkan mesin, tidak bisa serapi pekerjaan tangan,’’ ungkap lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga tersebut.
Saat ini penjualan tas motif batik hanya menyumbang sekitar 10 persen. Pesanan tas batik biasanya datang dari pelanggan custom. ’’Ada yang membuat baju batik, lalu kainnya sisa dan minta dibuatkan tas menggunakan sisa kain tersebut,’’ jelas anak ketiga di antara empat bersaudara tersebut.
Pemilihan bahan kulit yang berkualitas dan pembuatan tas yang memakan waktu membuat banderol Kalyana cukup tinggi. Satu tas kulit batik Kalyana dibanderol Rp 1,5 juta–Rp 2 juta per piece. Tidak heran, pembeli Kalyana berasal dari kalangan mapan dengan usia lebih dari 30 tahun.
Untuk memperluas pasar ke usia yang lebih muda, Maulina baru saja memproduksi tas etnik berbahan kanvas. Harganya lebih bersahabat, berkisar Rp 800 ribu per ’’Responsnya sangat bagus. Untuk tas kanvas, kami ingin menyasar konsumen yang lebih muda, sekitar usia 25 tahun,’’ tutur penyuka
tersebut. Kalyana awalnya membidik pasar ekspor. Sekitar 90 persen koleksi Kalyana diekspor. Namun, tahun lalu Maulina juga mulai menggarap pasar domestik. Porsi penjualan domestik pun membesar menjadi 50 persen.
Kini pasar tas KW tidak sebesar dulu lantaran mulai banyak orang Indonesia yang sadar menggunakan produk dalam negeri. Mayoritas pembeli masih didominasi Jakarta. ’’Surabaya justru sedikit karena masih branded oriented. Untuk pasar Surabaya, kami masih harus edukasi pasar. Pendekatannya lebih personal dan kami menyasar komunitas,’’ jelas Marketing Director Kalyana Etty Soraya.
Selain memasarkan produknya secara online, Kalyana mulai merambah pasar offline melalui beberapa department store. (vir/c14/noe)