Peraturan Bupati Perlu Direvisi
Regulasi Sekolah Gratis Tak Konsisten
JEMBER – Peraturan bupati (perbup) yang mengatur sekolah gratis di Jember perlu direvisi. Terdapat ketidakkonsistenan antarpasal dalam perbup tersebut. Selain itu, ada muatan perbup yang bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
David K. Susilo, salah seorang pengurus komite SD negeri di Jember, menyatakan bahwa regulasi sekolah gratis di Jember adalah Perbup Nomor 25 Tahun 2016. ’’Salah satu landasan perbup ini adalah UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” terangnya.
Padahal, UU Sisdiknas masih memberikan ruang bagi komite dan sekolah untuk menerima sumbangan. Namun, dalam perbup tersebut, ada larangan bagi wali murid dan komite untuk memberikan sumbangan kepada pihak sekolah. ’’Di perbup, disebutkan larangan sumbangan untuk SD, SMP, SMA negeri dan swasta,” ucap David.
Namun, di pasal selanjutnya, lagi-lagi disebutkan bahwa sasaran pendidikan gratis hanya sekolah negeri. Belum lagi, dalam perbup, disebutkan bahwa muatan sumbangan sumber lainnya ada di dalam daftar sumber penerimaan rencana anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS).
Karena itu, dia mempertanyakan apa yang dimaksud dengan sumber lainnya tersebut. Selain BOS dari pemerintah, sumber lainnya tentu adalah sumbangan wali murid. Menurut David, hal itu sangat aneh. Sebab, dalam satu perbup, ada pasal-pasal yang isinya saling bertentangan. ’’Tegak lurus seharusnya bukan hanya ucapan, tetapi juga bagaimana membuat aturan dengan melihat undangundang tersebut,” kritik David yang juga dosen IKIP PGRI Jember.
Yang lebih aneh, lanjut David, peraturan itu menyebutkan bahwa sumbangan sukarela masih diperbolehkan selama ada kesepakatan di komite sekolah. Sebagai pengurus komite, David berharap tetap mendapat peran untuk memajukan sekolah. Dia dan wali murid lainnya ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya.
Karena itu, David menyarankan agar pendidikan tidak digeneralisasi untuk seluruh siswa. ’’Harusnya ada klaster atau tipe sekolah gratis yang memerlukan sumbangan,” ujarnya. Misalnya, pendidikan gratis dikhususkan siswa yang berasal dari golongan kurang mampu. ’’Atau untuk orang tua dengan pendapatan kurang dari UMK (upah minimum kabupaten, Red). Tapi, yang kaya seharusnya tidak dilarang menyumbang ke sekolah. Apalagi, ada undang-undang yang melindungi,” imbuhnya. (ram/c18/diq)
Di perbup, disebutkan larangan sumbangan untuk SD, SMP, SMA negeri dan swasta.” David K. Susilo, Dosen IKIP PGRI Jember