Jawa Pos

Karena Iba pada Penjual Mainan di Pinggir Jalan

Dua pemuda berbakat membangun usahanya bukan berdasar keuntungan. Mereka juga memiliki misi tersendiri dalam menjual produk. Yakni, menggiatka­n masyarakat untuk bangga berbahasa Indonesia.

-

ADIEN Gunarta terlihat sibuk sekali Sabtu siang (25/2) itu. Meskipun hari libur, dia ’’mengurung dirinya’’ di kamar kos yang terletak di kawasan Jojoran. Bukan karena dia tidak mau keluar

Dia hanya sedang mengerjaka­n pesanan yang sudah menumpuk selama seminggu lalu. ’’Lebih baik pesanannya selesai dulu, baru saya keluar dari kamar,” tutur pria 22 tahun itu.

Di mejanya terlihat banyak sekali peralatan. Ada aneka rupa pensil dan spidol. Alat-alat tulis tersebut terkadang dia letakkan serampanga­n. Di sisi kirinya ada sebuah toolbox yang berisi berbagai macam alat tulis. Mulai pensil hingga pena kaligrafi. Alat-alat tulis berjejer apik di dalam toolbox bertingkat itu. Terkadang Adien menggapai toolbox tersebut untuk mencari alat yang dia inginkan. Namun, hal itu hanya dilakukan dalam waktu beberapa detik. Konsentras­inya seakan tidak mau dia lewatkan untuk memperhati­kan yang lain.

Bukan hanya sebuah toolbox yang menemani Adien kala itu. Dia juga ditemani sahabatnya dalam berbisnis maupun dalam keseharian. Namanya Mochammad Fadli. Setiap kali Kacapuri dalam tahap produksi, dia selalu meluangkan waktunya untuk menemani Adien berkarya. ’’ Ya saya bantu sebisanya saja soalnya yang membuat karyanya si Adien sendiri,” ujar pria 21 tahun tersebut. Sesekali dia juga memperhati­kan Adien yang tidak mau diganggu. Handphone pun menjadi pelampiasa­n kebosanann­ya menunggu Adien mengerjaka­n pesanan.

Tidak butuh waktu lama, Adien sudah menyelesai­kan satu talenan. ’’Kalau lagi mood ya bisa selesai lima menitan,” tutur Adien. Pengerjaan talenan tersebut memang bergantung pada suasana hati Adien. Jika dia sedang muram, tentu saja pengerjaan bisa memakan waktu lebih lama. ’’Bahkan, kadang saya geletakkan saja, seharian tidak dikerjakan,” kelakarnya, lantas tertawa.

Karena itu, mereka selalu memberikan batas waktu pengerjaan. Jika pemesan hanya membeli dalam jumlah satuan, mereka memberikan tenggat tiga hingga empat hari. Namun, jika pembeli memesan dalam jumlah besar, mereka membutuhka­n waktu lebih lama pula. Mereka biasanya meminta waktu seminggu.

Beberapa saat kemudian, talenan yang dikerjakan Adien masuk dalam tahap selanjutny­a. Setelah diberi garis tipis dengan menggunaka­n pensil, Adien memang menebalkan garis tersebut dengan spidol kaligrafi. Ketika dalam tahap penebalan, ada beberapa garis pensil yang tersisa. Di situlah Fadli mulai bekerja. Dia merogoh penghapus yang berada di dalam toolbox. Dengan segera dia sapukan penghapus itu untuk menghilang­kan sisa garis bantu tersebut. ’’Tapi, seharusnya ini ditunggu sampai kering dulu. Kalau tidak, nanti spidolnya meluber ke mana-mana,” tuturnya. Biasanya, selain menghapus garis bantu, Fadli bertugas untuk memasarkan talenan yang sudah dibuat Adien.

Media yang mereka pilih dalam usaha itu memang tergolong sangat unik. Yakni, talenan. Papan kayu untuk alas memotong di dapur. Dengan sentuhan seni, papan kayu tersebut disulap menjadi cenderamat­a yang bernilai jual lebih tinggi. Selain itu, mereka mulai merambah media lain. Yakni, entong nasi yang juga terbuat dari kayu.

Pemilihan talenan itu berawal dari kegiatan sosial yang mereka lakukan. Setiap kali melewati salah satu swalayan di sekitar Jalan Arief Rahman Hakim, Adien melihat lelaki tua berjualan mainan. Namun, mainan tersebut tidak pernah terlihat laku. ’’Kasihan, lah,” ujar Adien.

Dia pun berinisiat­if membantu. Adien membeli sembilan talenan ke salah satu pusat grosir di Surabaya. Dengan kemampuann­ya menulis indah, dia pun menghiasi sembilan talenan tersebut dengan tulisantul­isan. Setelah itu, dia memberikan talenan tersebut ke bapak pedagang mainan untuk dijual.

’’Saya mikirnya, kalau dia berjualan talenan, bakal banyak yang lebih tertarik,” ujar pria asal Probolingg­o tersebut. Talenan itu hanya dihargai Rp 5 ribu. Uang tersebut hanya cukup untuk mengganti ongkosnya membeli talenan. Uangnya diberikan sepenuhnya kepada bapak penjual mainan.

Namun, Fadli berpikiran lain. Dia tidak rela talenan tersebut dihargai Rp 5 ribu saja. ’’ Ya iyalah. Seharusnya harganya lebih mahal,” terang Fadli. Karena pedagang mainan juga berkeberat­an menjual talenan tersebut, Adien memberikan tantangan kepada Fadli.

Jika Fadli bisa menjual talenan itu dengan harga sesuai, Adien setuju membuat usaha bareng. ’’Untungnya, semuanya bisa saya jual sekaligus,” ujar Fadli, lantas tertawa. Karena itulah, Kacapuri lahir.

Nama Kacapuri terpilih lantaran sesuai dengan tujuan usaha. Mereka mengambiln­ya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, kacapuri berarti ruang induk sebuah istana. ’’Kami ingin karya ini menghiasi istanaista­na pembeli produk kami,” ujar Fadli. Layaknya ungkapan, rumahmu istanamu.

Biasanya Kacapuri melayani tulisan dengan bahasa Indonesia. Mereka sangat gemar jika harus menggarap pesanan dengan peribahasa di dalamnya. Hal tersebut didasari kecintaan mereka akan budaya Indonesia. Adien juga selalu menyempatk­an diri untuk menulis nama pemesan yang dituju. Dan, nama pada sisi kosong talenan itu ditulis dalam aksara Jawa. ’’Saya hapalin sebelum bikin usaha,” celetuknya, lantas tertawa.

Namun, banyak pemesan yang memilih kata-kata dalam bahasa Inggris. Itu membuat mereka prihatin. ’’Harus ada juga yang melestarik­an hal-hal semacam ini,” ujar Fadli. Karena itu, mereka sering memberikan promosi untuk menggalakk­an minat pembeli agar memilih bahasa Indonesia. Mereka memberikan diskon spesial kepada pembeli. Apalagi untuk mereka yang mau menuliskan peribahasa di dalamnya.

Namun, itu dulu, ketika awal Kacapuri dibentuk. Mereka kini bingung bagaimana harus menggalakk­an minat pembeli untuk memilih bahasa Indonesia. ’’Akhirnya kami mengikuti permintaan pembeli saja,” tambah Fadli.

Sebagian pembeli mengaku tidak mempermasa­lahkan harga. Lebih mahal tidak apa-apa asalkan tulisannya dalam bahasa Inggris. Tapi, Adien dan Fadli tidak menyerah. Mereka akan mengadakan promo lagi. Terutama saat Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Oktober tahun ini.

Dua sahabat itu juga pernah mendukung kesenian asal Gresik yang hampir punah. Yakni, damar kurung, lampion berbentuk kubus dengan berbagai lukisan yang menghiasi badannya. Tradisi itu memang mulai terkikis zaman. Tak banyak lagi orang yang menggunaka­n lampion untuk penerangan.

Adien dan Fadli pun melakukan aksi sosial untuk melestarik­an damar kurung. Mereka menyisihka­n keuntungan selama sebulan untuk menyumbang ke yayasan pelestari kesenian tersebut. ’’Kami juga bikin talenan dengan edisi khusus damar kurung,” jelas Adien. Talenan itu berbentuk kotak dengan bagian yang runcing di atasnya, menyerupai atap rumah panggung. Bentuk tersebut mereka buat sedemikian rupa sehingga menyerupai lampion asal Gresik.

Hingga kini, Kacapuri sudah berdiri selama satu setengah tahun. Bagi para penggiat usaha, waktu tersebut tergolong tidak lama. Namun, dalam jangka waktu itu, Kacapuri sudah melanglang buana. Konsumenny­a juga sangat beragam. Mulai Sabang sampai Merauke, mereka pernah layani. Mereka juga pernah mengirim pesanan hingga ke luar negeri. ’’Paling sering sih pesanan dari negara tetangga,” ujar Fadli. Namun, mereka masih terkendala pengiriman barang. Sebab, biasanya bandara sulit sekali mengirim material yang terbuat dari kayu.

Tentu saja hal tersebut tidak mematahkan semangat mereka. Dengan gigih, mereka berjuang untuk mengembang­kan usaha. Tidak hanya dengan tujuan melestarik­an budaya, mereka juga ingin memiliki kacapuri masingmasi­ng. Tempat yang bisa dihiasi dengan hasil kerja keras dari usaha yang mereka lakukan selama ini. (*/c7/dos)

 ??  ??
 ?? DRIAN BINTANG SURYANTO /JAWA POS ??
DRIAN BINTANG SURYANTO /JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia