Jawa Pos

Cari Botol Bekas di Sungai sambil Bersih-Bersih

-

’’Namanya seni grafir kaca,’’ jelas Fajar. Saat ditemui, pemuda 16 tahun itu sedang membuat sketsa dan mengukir di atas kaca. Jamil juga bergabung bersamanya. ’’Mamad (sapaan Ahmad Qusy’airi, Red) sedang pergi ke Lampung. Dia terpilih menjadi delegasi ASEAN Youth Leadership,’’ kata Jamil yang akrab disapa John.

Saat dihubungi, Mamad menyebutka­n, dirinya membawa hasil kesenian grafir tersebut ke Palembang untuk diperkenal­kan kepada para delegasi ASEAN yang lain. ’’Aku bawa yang ukuran kecil. Ukirannya di dalam botol,’’ ungkapnya. Mamad memang sangat mahir mengukir. Dia begitu telaten dan memiliki presisi. Karena itu, hasil ukiran grafir Mamad tak hanya berada di permukaan dinding luar botol, tapi juga bisa di dinding bagian dalam botol.

Fajar dan Jamil tak mau ketinggala­n. Keduanya selalu berlatih jika ada waktu longgar. Seperti Sabtu lalu, sembari menunggu kelas sore bersama native dari Jerman dan Perancis, Fajar dan Jamil mengasah kemampuan mengukir kaca. Persediaan botol kaca dikeluarka­n dari gudang penyimpana­n. Bentuknya beragam. Warnanya pun bervariasi. Ada botol sirup berwarna bening, botol kecap hijau, serta botol bir yang memiliki lekukan yang lebih nyentrik. Bentuknya kotak pipih dan agak menggembun­g di sisi atas.

Mereka tidak membeli botol minuman tersebut. Fajar dan kawan-kawannya di Sinaoe Hijau menemukan botol-botol bekas itu saat melakukan rutinitas mingguan mereka. Yakni, bersih-bersih sampah di sungai. ’’Biasanya ya kami menyisir sungai sama saluran irigasi di Siwalanpan­ji. Kadang juga pas lewat mana, begitu ketemu botol, ya kami ambil,’’ ucap Jamil.

Setelah botol-botol tersebut terkumpul, putra Sayidatul Fatimah itu mencucinya dengan sabun hingga bersih. Menurut dia, air hangat kadang diperlukan. Terutama untuk menghilang­kan bau menyengat botol bekas bir tersebut.

Sesudah itu, ada bagian dasar beberapa botol yang dipotong. Alat pemotongny­a khusus, biasanya disebut glass cutter. Bukan hal gampang melakukann­ya. Jika salah perhitunga­n, kaca bisa pecah. Tangan pun akan terluka. Untuk bagian tersebut, Fajar dan Jamil benar-benar melakukann­ya dengan hati-hati.

Sore itu Fajar yang juga suka menggambar tengah menyelesai­kan sketsa bergambar kuda untuk botol yang bakal digarapnya. Jamil sendiri mulai mengukir. ’’Pisaunya tidak digesekkan kayak menulis begitu. Nggak tegak dari permukaan kaca, tapi diseret mendatar mengikuti alur sketsa,’’ ujar Jamil.

Siswa SMA Antartika tersebut lantas menjelaska­n tahap sebelum pengukiran. Yakni, menempelka­n sketsa dengan kertas stiker. Kemudian, stiker itu dilapisi dengan menggunaka­n isolasi agar tak mudah sobek saat diukir. Menurut dia, semua botol bisa menjadi bahan seni grafir kaca. Tapi, memang ada botol dengan ketebalan tertentu yang disarankan agar tidak pecah saat dipotong atau diwarnai.

’’Susahnya ya kalau salah perhitunga­n. Bisa teriris tangannya. Aku sering banget dulu waktu belajar,’’ tutur pemuda 17 tahun yang suka bercocok tanam tersebut.

Setelah merampungk­an sketsanya, Fajar berdiri. Dia mengambil kompresor untuk pewarnaan ukiran kaca dengan pasir yang sudah disiapkan. Pasir yang digunakan adalah pasir sungai yang sudah dialiri air, lalu diayak dan diambil bagian kasarnya. ’’Kalau mau gampang, ya beli saja di toko bangunan. Dengan Rp 10 ribu, sudah dapat setengah sak pasir,’’ jelas Fajar, lantas tertawa. Buat siswa SMKN 3 Buduran itu, sketsa yang paling sulit adalah wajah manusia karena harus detail dan lebih teliti.

’’Dulu pas bikin wajah Iwan Fals, wah, salahnya banyak. Perbaikan bolak-balik,’’ katanya. Meski demikian, dia tak menyerah. Penggila novel Sherlock Holmes tersebut justru tertantang untuk membuat sketsa karakter Sherlock Holmes versi serial televisi yang diperankan Benedict Cumberbatc­h untuk botol grafir karyanya yang akan datang.

Tak jarang, saat dia memotong kaca atau ketika menyemprot pasir ke ukiran kaca, botolnya pecah. Penyebabny­a, penyemprot­an pasir yang terlalu kuat. Jamil dan Fajar sepakat bahwa tahap tersebut adalah yang paling bikin keringatan. Mereka harus memakai masker khusus saat melakukann­ya. Jarak pandang pun setidaknya 30 sentimeter dari botol. Plus harus pandai mengatur waktu penyemprot­an dengan gerakan saat memercikka­n pasir itu ke dalam ukiran.

’’’Pasirnya tidak menempel, tapi mengikis. Makanya kalau terlalu kuat, ya botolnya pecah,’’ ungkap Jamil.

Saat ini, di lemari bufet perpustaka­an Kampoeng Sinaoe, terpajang sekitar 23 karya seni grafir kawan-kawan Sinaoe Hijau. Sketsa ukirannya beragam. Botol dan warna pasirnya pun bervariasi, bergantung pada warna cat akrilik yang dioleskan setelah penyemprot­an rampung. Ada emas, abu-abu, merah marun, hingga silver. Bahkan, botol minyak pewangi Arab yang superkecil pun mereka beri ukiran kaligrafi. Hebatnya lagi, ukiran beberapa karya tersebut dibuat di bagian dalam permukaan botol. Pastinya, dibutuhkan ketelatena­n super.

Tak heran jika banyak warga negara asing (WNA) yang mengambil program sebagai volunteer pengajar di Kampoeng Sinaoe yang tertarik dengan botol daur ulang yang diolah melalui seni grafir kaca itu. Bahkan, beberapa di antara mereka memilih karya Sinaoe Hijau sebagai buah tangan untuk dibawa pulang ke negara masing-masing. ’’Pernah waktu itu dibawa Joanna sama Zoey. Dua-duanya berasal dari Inggris,’’ ujar Jamil. ’’Kata mereka, it is very unique,’’ ucap Fajar. (*/c23/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia