Agar NKRI Benar-Benar Harga Mati
NKRI ternyata belum harga mati bagi Prof Dr Munawar Ismail SE DEA. ”Masih bisa digoyang,” kata guru besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) itu dalam diskusi terbatas ”Migas untuk Rakyat?” di Kampus FEB UB, Malang (20/2). Akademisi senior itu melihat, salah satu cara menggoyangnya adalah lewat konflik sumber daya alam (SDA), termasuk tambang dan migas.
Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) UB itu melihat terlepasnya Timtim termasuk karena migas (di Celah Timor). Begitu pun musabab perlawanan OPM Papua dan GAM Aceh. Dalam skala lebih kecil, ada kasus konflik tambang emas di Kelian, Mahakam, dan Gunung Pitu, Banyuwangi. Juga, konflik pusat dan daerah dalam bagi hasil. ”Contoh-contoh ini ekskalasi kasus tambang,” ujar Prof Munawar di depan sekitar 50-an peserta.
Akademikus lulusan Prancis itu mengupas makna dasar kepemilikan dan penguasaan sebagai dasar kuat untuk menikmati sesuatu. Mengutip konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat 1–4, ada empat asas di sana, yakni keke- luargaan, SDA dikuasai negara, untuk kemakmuran rakyat, dan kesatuan ekonomi nasional.
”Meski hanya menguasai (tidak memiliki), negara sebagai badan penguasa memiliki kewenangan luas atas SDA,” kata Prof Munawar. Atas dasar itu, pengelolaan SDA, termasuk migas, bisa dikatakan berhasil secara konstitusi apabila tercapai kemakmuran dan kesatuan ekonomi nasional.
Namun, lanjut Munawar, dalam pengelolaan migas justru ada capaian yang tak sejalan. Yakni, ada ketimpangan dan keanehan dalam menikmati energi. Ada konflik horizontal dan ancaman terhadap NKRI. Dan, dalam mengelola migas, Indonesia baru berada di ranking ke-14 menurut Resource Governance Index 2013. ”Timor Leste malah ranking ke-13,” papar pemikir asal Magetan tersebut.
Solusinya? Perlu kembali ke tafsir Pancasila dan konstitusi. Praktisnya, pertama, menyatukan badan usaha pengelola migas. Bisa antara BUMN dan BUMD di bidang migas, atau bahkan menyatukan BUMN, BUMD, dan BUMDes. Logikanya jelas. ”Sebagian besar rakyat tinggal di desa. Dan, desa masih jauh dari pusat-pusat kesejahteraan. Selain itu, pemda tak selamanya berdiri di pihak rakyat saat ada konflik tambang dan tanah,” kata penulis buku Sistem Ekonomi Indonesia Tafsiran Pancasila dan UUD 1945 bersama Prof Erani Yustika dan Dr Dwi Budi Santoso itu.
Bagi Munawar, penyatuan BUMN, BUMD, BUMDes merupakan cerminan asas kekeluargaan. Ini akan menjamin semua keluarga (rakyat) menikmati bagian. ’’Ini bisa jadi jaminan utuhnya NKRI,” kata alumnus HMI tersebut. (www.jpip.or.id)