Internal Demokrat Bahas Pemakzulan
Ayah Marinir AS Enggan Temui Trump
WASHINGTON – Komite Nasional Partai Demokrat atau Democratic National Committee (DNC) punya pemimpin baru. Sabtu waktu setempat (25/2), Thomas Edward ” Tom” Perez resmi menggantikan Donna Brazile. Bersamaan dengan itu, isu pemakzulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali berembus.
Impeachment alias pemakzulan presiden menjadi topik panas dalam pertemuan internal Partai Demokrat akhir pekan lalu. Sebelum pemungutan suara, seluruh kandidat ketua DNC berpidato tentang wacana yang ditentang Ketua Kubu Minoritas House of Representatives Nancy Pelosi tersebut. Bagi Pelosi, Trump hanya bisa dimakzulkan jika melanggar konstitusi atau hukum. Sejauh ini, menurut dia, Trump belum melanggar.
Namun, keyakinan Pelosi itu dipatahkan Keith Ellison, politikus Demokrat yang akhir pekan lalu terpilih sebagai wakil ketua DNC. ”Saya rasa, Donald Trump melakukan cukup banyak hal yang secara sah bisa memicu impeachment,” kata Ellison dalam wawancara dengan CNN. Legislator asal Negara Bagian Minnesota itu menyatakan bahwa Demokrat seharusnya mulai membahas pemakzulan.
Jika menurut Pelosi belum ada pelanggaran hukum yang dilakukan Trump, tidak demikian halnya dengan Ellison. ”Di hari pertamanya (sebagai presiden), dia sudah melanggar klausa pendapatan. Konstitusi tegas melarang presiden menerima bayaran atau imbalan dari pihak asing,” terangnya. Dan, sampai pada hari pelantikannya, Trump masih mendapatkan profit dari pihak asing lewat jaringan hotelnya.
Ellison mengatakan, saat hotel Trump menerima tamu asing yang merupakan pejabat negara dan menerima uang pembayaran dari yang bersangkutan, terjadilah pelanggaran konstitusi.
”Sekelompok masyarakat sudah melayangkan gugatan hukum kepadanya terkait pelanggaran tersebut. Itu bukan sekadar tentang Trump, tapi juga tentang integritas presiden,” paparnya.
Negarawan AS James Madison pernah mengatakan bahwa impeachment adalah sebuah kelegaan bagi seorang presiden yang sudah kehilangan kecakapan sebagai pemimpin. Tanpa pemakzulan, presiden seperti itu justru akan mendatangkan masalah bagi rakyatnya. Washington Post menyebut Trump tak lagi bertaji. Orang-orang yang dipilih untuk duduk di pemerintahan pun tidak lagi kompak mendukungnya.
”Gedung Putih gagal memengaruhi FBI. Mereka tidak bisa membuat FBI mengabaikan laporan media seperti yang selama ini dilakukan presiden dan para pejabatnya,” terang Washington Post. Bocornya banyak informasi rahasia, baik yang berbau intelijen maupun tidak, juga menjadi bukti kekacauan pemerintahan Trump. Apalagi, sampai sekarang, pembentukan kabinet belum kunjung usai.
Desakan agar Demokrat segera menggulirkan mosi tidak percaya dan memantik pemakzulan Trump semakin kuat belakangan. Dalam 30 hari pertama masa jabatannya, media mencatat sekitar 80 kesalahan yang dilakukan Trump. Termasuk blunder tentang Swedia dan berbagai komentar ngawur yang dia tuangkan lewat Twitter. Sayang, potensi pelanggaran lain yang lebih kuat tak bisa ditembus.
Polling Public Religion Research Institute menunjukkan bahwa 58 persen Demokrat mendukung pemakzulan Trump. Tapi, secara keseluruhan, baru ada 27 persen masyarakat yang menghendaki impeachment. Angka itu masih lebih kecil jika dibandingkan dengan tuntutan pemakzulan Barack Obama dan George W. Bush pada 2014 dan 2006 yang mencapai 30 persen.
Sementara itu, Bill Owens, ayah personel SEAL Angkatan Laut (AL) yang tewas dalam pertempuran di Yamen pada akhir Januari lalu, menolak bertemu dengan presiden. Putra Owens, Ryan, menjadi korban dalam aksi militer pertama yang diinstruksikan Trump. Ayah Ivanka itu berniat datang melayat saat jasad Ryan tiba di Pangkalan Udara Dover di Washington. Tapi, dia berkeberatan. ”Saya katakan kepada mereka (Gedung Putih) bahwa saya ingin ada sorot kamera (saat serah terima). Dan, hati nurani saya melarang saya bertemu dan berbicara dengan presiden,” katanya. (CNN/usa today/theguardian/ politico/hep/c19/any)