Menyikapi Peraturan Baru PSSI
PERATURAN baru ISL (harus memainkan tiga pemain U-23) membuat sebagian tim gusar. Kebiasaan memakai pemain jadi usia 25 tahun ke atas membuat sebagian orang tidak menyukai peraturan itu.
Saya termasuk yang sangat mendukung peraturan yang diterapkan Edy Rahmayadi, ketua umum PSSI yang baru. Alasan saya mendukungnya sangat sederhana: pemain U-23 harus diberi kesempatan bertanding mengingat Indonesia mengikuti dan sangat mementingkan ajang SEA Games yang menerapkan aturan serupa (dalam SEA Games tahun ini, batasan usia pemain bahkan U-22).
Yang terjadi selama ini, banyak pemain timnas U-23 yang berstatus pemain cadangan di klub masing-masing. Sebuah kondisi yang tentu saja tidak kondusif terhadap peraihan prestasi di SEA Games.
Selain itu, saya yakin klub-klub Liga 1 (dulu Indonesia Super League) akan menyadari pentingnya akademi yang berkualitas. Tiba- tiba, dengan adanya peraturan baru tersebut, pemain-pemain muda tidak lagi dipandang sebelah mata. Para pemain berkualitas eks U-19 dan U-21 akan mendapatkan tempat di tim divisi teratas.
Penerapan peraturan baru itu akan sangat menarik untuk diperhatikan. Secara taktis, peraturan tersebut membawa dimensi baru. Di posisi mana pelatih akan menempatkan tiga pemain U-23 itu?
Bagaimana pula perubahan atau pergeseran posisi yang akan terjadi saat pergantian pemain U23? Sehebat apa kualitas pemain U-23 tiaptiap klub? Semua itu sangat menarik untuk diperhatikan bersama pada musim ini.
Peraturan baru di kancah Divisi Utama juga mencuatkan sederet kontroversi. Wacana hanya memperbolehkan lima pemain di atas U-25 menurut saya tidak bagus.
Pemain muda memang harus dibina, bahkan diutamakan. Saya setuju 100 persen dengan nakhoda baru PSSI dalam hal tersebut.
Secara prinsip, betul. Tapi, saya tidak setuju dengan cara merealisasikannya secara teknis. Pedang mengasah pedang. Prinsip itu begitu penting dalam sepak bola.
Artinya, pemain bagus harus diasah pemain bagus. Pemain muda sangat perlu dibina menggunakan jasa pemain-pemain jadi (baik satu-dua pemain asing maupun pemainpemain di atas 25 tahun).
Kualitas latihan maupun pertandingan akan menurun jika regulasi tanpa pemain asing dan hanya lima pemain di atas 25 tahun diterapkan.
Selain itu, gereget kompetisi untuk penonton maupun sponsor akan menurun drastis. Apalagi kalau jumlah kontestan Divisi Utama untuk 2018 dikurangi secara drastis.
Bila degradasi secara besar-besaran (sekitar setengah jumlah klub peserta musim 2017) betul-betul diterapkan, suasana yang mulai kondusif sekarang ini bisa kembali terganggu.
Saya khawatir jual beli pertandingan marak mengingat klub takut terdegradasi dan tidak percaya diri dengan kualitas tim mereka. Selain itu, saya khawatir persaingan yang superketat membuat pemain bermain kasar. Belum lagi vandalisme penonton yang juga rawan muncul mengingat ketatnya persaingan.
Semua itu bisa mencoreng nama ketua umum PSSI yang sedang berjuang membenahi persepakbolaan Indonesia. Sebagai bentuk dukungan kepada beliau, saya menyarankan peraturan untuk Divisi Utama dikaji ulang. Secara konkret, berikut saran saya. Pengurangan jumlah kontestan Divisi Utama dilakukan secara bertahap. Bundesliga juga pernah melakukan pengurangan jumlah klub dalam rentang waktu tiga tahun.
Keterlibatan pemain U-23 diperbanyak. Harus ada lima pemain U-23 yang bermain, misalnya. Selain itu, tidak ada batasan umur lain. Dengan demikian, klub tidak harus merombak tim secara keseluruhan saat berhasil dipromosikan ke ISL mengingat peraturan yang diterapkan hampir sama.
Pemain asing diberi tempat, namun dibatasi 1–2 pemain per klub. Ini penting untuk marketing dan juga penting dari segi transfer ilmu kepada pemain-pemain muda kita.
Semoga tulisan ini bisa dianggap sebagai saran positif oleh PSSI. Let’s go Indonesian football! Jayalah, Garuda! (*)