Ziarah Terakhir Piet Cruijen
SURABAYA – Suara lonceng menjadi komando bagi 27 peziarah asal Belanda untuk melangkah. Mereka berbaris dua saf sebelum berjalan menuju Monumen Karel Doorman. Bangunan berwarna cokelat pudar itu dibuat untuk memperingati peristiwa pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942 silam. Tak terasa, sudah 75 tahun peringatan itu dilakukan.
Kemarin Piet Cruijen datang bersama empat putranya. Mereka adalah Hans Cruijen, Humphrey Cruijen, William Cruijen, dan Dennis Cruijen
Mereka ingin mendatangi tempat peristirahatan Hendrikus Hubertus Cruijen, kakek empat bersaudara tersebut. Di antara keempatnya, hanya Humphrey yang pernah diajak sang ayah untuk berziarah.
Dennis, putra terakhir yang kini berusia 46 tahun, tidak pernah mengenal kakeknya. Dia terharu. Bukan karena melihat makam kakeknya untuk kali pertama, tapi karena melihat ayahnya memaksakan diri untuk bisa berdiri tegak saat menaburkan melati di makam kakeknya. Dia harus menopang sebagian berat badannya di tongkat kayunya.
Berdiri memang menjadi pekerjaan yang sulit bagi Piet. Sebab, hampir setiap hari waktunya dihabiskan di kursi roda. ’’Ada perasaan luar biasa bisa melihat ayah berziarah ke makam kakek untuk kali terakhir,’’ ungkap pria yang tinggal di Rotterdam itu.
Ya, ziarah terakhir. Sebab, usia Piet kini sudah 93 tahun. Dia ingin mengajak seluruh anaknya melakukan ziarah bersama-sama. Dengan kekuatan fisiknya yang semakin lemah, perjalanan ziarah dari Rotterdam–Surabaya sejauh 11.883 km bukan perkara mudah. Setelah keinginan itu terwujud, Piet memutuskan perjalanan ziarah tersebut menjadi yang terakhir baginya.
Empat anak itu benar-benar berbakti. Mereka mengangkat kursi roda ayahnya bersamasama karena banyak anak tangga di jalan setapak makam. Mereka juga membawa makanan khas Indonesia saat ayahnya sudah sampai di pendapa makam.
Tersisa lemper dan kroket dalam loyang plastik berwana hitam. Piet sempat melirik gulungan ketan di daung pisang, tapi dia akhirnya memilih kroket. Makanan-makanan itu diharapkan bisa mengingatkan ayahnya yang pernah tinggal di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. ’’Ayah dulu makan ini,’’ kata Dennis yang membawa nampan.
Karena tumbuh di Indonesia, Piet mahir berbahasa Indonesia. Ayahnya yang gugur di medan perang meninggalkannya saat masih berusia 20 tahun. Sayang, dia tidak tahu persis bagaimana ayahnya gugur dalam pertempuran. Saat itu dia menjadi pekerja tambang di Jepang.
’’ Enggak bisa ngomong aku,’’ ucap Piet saat ditanya mengenai perasaannya setelah melakukan ziarah terakhir tersebut. Bibirnya bergetar. Air mata mulai membasahi kelopak matanya. Tangannya menggenggam erat tongkat kayunya.
Meski tidak bisa menceritakan perasaannya, dia merasa puas sudah mengajak seluruh putranya mengunjungi Surabaya. Tujuh tahun silam, mereka sekeluarga datang untuk berlibur di Indonesia untuk merayakan ulang tahun pernikahan ke-60. Sayang, istri Piet, Maria Neyzen, telah meninggalkannya dua tahun lalu. ’’Saat itu tidak mampir ke Surabaya. Hanya berlibur ke beberapa kota di Indonesia,’’ tuturnya.
Piet dan empat anaknya bakal berkeliling di Surabaya. Mereka punya waktu sepekan sebelum kembali ke Negeri Kincir Angin, kampung halaman mereka.
Peringatan kali ini dihadiri Duta Besar (Dubes) Kerajaan Belanda untuk Indonesia Rob Swartbol. Upacara dilakukan secara khidmat di bawah tenda yang dihiasi kain merah, putih, dan biru. Rob mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia karena sudah menjaga makam korban perang. ’’Kami bangga memiliki makam yang indah ini di Indonesia,’’ ujarnya.
Terdapat lebih dari 5.000 korban yang dimakamkan di sana. Kebanyakan hanya nama. Sebab, jenazah korban perang sudah terkubur di Laut Jawa. Bagi dia, makam dan monumen itu menjadi pengingat bagi kedua bangsa.
’’Secara pribadi, tempat ini jadi pengingat seharusnya kita tidak berkonflik dan berperang. Tempat ini juga bukan tentang masa lalu, tapi bagaimana menjalani masa depan,’’ jelasnya setelah mengikuti upacara peringatan.
Dia juga menyinggung kapal perang yang hilang di Laut Jawa. Diduga, kapal tersebut telah dicuri. Saat ini pihaknya bekerja sama dengan Indonesia mencari tahu bagaimana hal tersebut bisa terjadi. ’’Ini juga menjadi pelajaran agar kapal-kapal lainnya tidak diganggu,’’ tegas pria yang berkantor di Jakarta itu.
Kapal tersebut diketahui hilang saat wartawan televisi Belanda membuat film dokumenter mengenai perang di Laut Jawa tahun lalu. Saat melakukan penyelaman, kapal itu sudah lenyap. Hanya tersisa lubang yang menopang kapal selama puluhan tahun. Hingga kini kabar hilangnya kapal tersebut masih menjadi misteri. (sal/c5/dos)