Jawa Pos

Pudji Bilang Ini Pelesir Terakhirny­a

-

Pudji Hariono adalah salah seorang korban meninggal dalam kecelakaan maut di jalur Magetan–Tawangmang­u pada Minggu (26/2). Persisnya di Banaran, Desa Gondosuli, Kecamatan Tawangmang­u, Karanganya­r. Akibat kecelakaan tersebut, enam orang meninggal. Ter masuk Pudji yang ketika itu berangkat dengan mengajak sang istri Farida Ismaniyah.

Tahun ini Pudji genap berusia 60 tahun. Surat pensiun Pudji baru saja rampung diurus. Dia bahkan sudah mengagenda­kan beberapa rencana berlibur bareng Farida. Namun, kini semua itu tinggal rencana belaka. Jurang maut sedalam 10 meter telah merenggut nyawa guru agama yang dikenal begitu sabar tersebut. Selama ini Pudji juga aktif sebagai pelatih Pramuka Kwarda Kabupaten Sidoarjo.

Kemarin (27/2) Farida duduk dengan tenang di antara para tamu. Ada ratusan tamu yang datang. Mayoritas adalah guru dan teman sejawat Pudji. Farida tidak banyak bicara. Dia hanya menunduk sembari ikut melantunka­n doa.

Salah seorang kawan baik Pudji sejak muda, Yaumin Khasanah, datang bersama rombongann­ya dari TK Dharma Wanita Kepatihan. Dia menjabat tangan Farida, lalu memeluknya dengan erat. ’’Mas Pudji, Mbak. Mas Pudji,’’ ucap Farida lirih. Menurut Yaumin, Pudji adalah seorang yang ramah dan serbabisa. ’’Dia suka menyanyi. Main musik juga jago. MC apalagi,’’ jelas Yaumin.

Farida tiba di Sidoarjo kemarin pukul 02.30 bersama jenazah sang suami yang kemudian dimakamkan di makam Desa Kepadangan. Sambil terus berusaha menguatkan diri, Farida akhirnya menceritak­an detik-detik mengerikan tersebut. Menurut dia, sejak jalan mulai berkelok, ditambah hujan yang mengguyur lebat, seluruh penumpang mulai histeris. Mereka berteriak ketakutan. ’’Allahu Akbar, Astagfirul­lah. Itu keluar semua kayak kami mau mati,’’ ungkap Farida. Pada sebuah belokan, Farida merasakan bus kehilangan kendali dan mulai goyang tidak keruan. Rasanya seperti didorong angin yang amat kencang hingga melayang. Ternyata bus itu terjun ke jurang sedalam 10 meter.

Farida dan Pudji duduk di bagian kiri bus. Tepatnya di kursi ketiga dari depan. Akibatnya, mereka langsung merasakan bus nomor polisi K 1677 PB itu menghantam dasar jurang. ’’Tapi, suami saya (Pudji, Red) nggak langsung mati,’’ kata Farida. Dia tampak emosional dalam sekejap. ’’Tangan saya itu digenggam erat begini,’’ lanjut Farida sambil menirukan cara sang suami menggengga­m tangannya.

Menurut Farida, sat itu Pudji masih sadar dan bisa bersuara dengan normal. ’’Ayo sayang, berjuang. Pasti ada yang nolong. Kamu nyundul-nyundul ke jendela,’’ perintah Pudji saat itu kepada Farida. Sambil terus bermunajat, keduanya berusaha melambaika­n tangan. Sampai di sini, cerita Farida sejenak terhenti. Dia menunduk. Air matanya berlinang.

’’ Ya Allah, aku sudah nggak kuat. Ambillah nyawaku, tapi selamatkan isteriku ini,’’ tutur Farida menirukan kalimat terakhir yang diucapkan Pudji. Farida mulai histeris. Tidak lama berselang, genggaman tangan Pudji terlepas.

Dia berada di dasar jurang dalam kondisi terjepit. Penumpang di dekat kursinya sudah tidak bersuara. Yang bagian belakang makin meracau minta diselamatk­an lebih dulu. ’’Suami saya meninggal karena pertolonga­nnya terlalu lama. Dia punya jantung lemah dan dibiarkan pingsan berjam-jam,’’ jelas Farida sambil mengusap air mata dari pipinya.

Sesungguhn­ya Farida menolak ikut ajakan Pudji untuk pelesir ke Magetan dan Tawangmang­u. Sebab, tangan kiri Farida baru saja patah akibat kecelakaan sebulan lalu dan belum dapat digerakkan secara normal. Namun, Pudji sempat menyatakan bahwa itulah pelesir terakhirny­a dan memohon Farida turut serta. ’’Kalau saya nggak ikut, dia marah karena selalu apa-apa berdua dengan saya. Saya juga paling malah nyesel kalau nggak ikut,’’ ucap Farida. Tangisnya pun kembali pecah.

Hingga kemarin, wajah perempuan 50 tahun itu tampak pucat. Mata sebelah kanannya lebam akibat percikan material yang mengenainy­a saat proses evakuasi. Dia bahkan belum tidur sejak suaminya dinyatakan meninggal akibat kehabisan oksigen. Makan pun Farida tidak berselera.

’’ Gimana saya melanjutka­n hidup? Saya sendirian,’’ tuturnya. Meski demikian, Farida bertekad untuk tabah. ’’Kalau saya nangis terus, jalan Mas Pudji ke surga berat,’’ tambahnya.

Sebelum meninggal, Farida mendengar Pudji berteriak panjang. Dia menyebutka­n dua nama. ’’ Dek Yanti. Nanda,’’ tiru Farida. Yanti yang dimaksud adalah Pudji Hariyanti. Perempuan 57 tahun tersebut adalah adik Pudji Hariono.

Yanti tidak percaya. Dia bahkan berjanji mengantar Pudji Hariono pijat setelah pulang. ’’Sampai sekarang kepikiran janji saya,’’ kata Yanti.

Pudji memiliki dua anak. Si sulung sudah berkeluarg­a dan tinggal di Surabaya. Putri keduanya, Nanda Firdaus Puji Istiqomah, 18, masih menempuh bangku perkuliaha­n di Jember. ’’Sekarang saya harus lebih sering pulang karena ibu sendirian,’’ kata Nanda sembari menatap foto sang ayah yang gagah berseragam Pramuka. (*/c14/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia